AIUEO

AIUEO

AIUEO

Oleh : Nining Kurniati

 

Kisah seperti apa yang kau harapkan dari tulisan ini? Mungkin kau heran dengan pembukaan semacam ini. Mungkin pula ada di antara kalian yang berpikir, bila kujawab, apa kau akan menulis kisah seperti yang kuinginkan. 

Ya, pembaca sekalian, tentu saja jawabannya tidak. Kita berbeda dimensi waktu: jam atau hari atau bulan atau bahkan mungkin tahun. Tapi membuat pembukaan semacam itu, tentu aku ada maksud tertentu. Baiklah, tak perlu berlama-lama, aku segera menuliskannya. Aku takut kalian keburu kesal. Peringatan, bacalah baik-baik dengan saksama sampai habis. Ini bukan karena akulah penulisnya, tapi karena aku khawatir bila tidak begitu, informasi yang kalian dapatkan tidak utuh. Ini bisa berakibat fatal.

Tepat dua puluh delapan hari yang lalu aku mengunjungi Desa Aiueo. Mengenai arti nama desa tersebut, kalian akan memahaminya seiring kalian membaca cerita ini sampai akhir. Cara pelafalannya begini, a-y-u-o. Cukup mudah bagi lidah orang mana pun. 

Aku pergi ke desa itu bersama rombongan tur yang berjumlah sepuluh orang, ditambah dua orang pendamping, yakni laki-laki seusiaku yang saatnya nanti akan berfungsi sebagai pemandu sekaligus penerjemah. Tepat pukul dua belas malam, pesawat khusus kami lepas landas dari bandara setempat. Dan kami tiba pada jam yang sama dua hari kemudian. Ini merupakan perjalanan terlama bagiku. Maklum, aku hanya bepergian berputar-putar di negaraku yang kecil.

Mungkin karena malam hari, tak ada siapa pun selain kami di tempat tersebut. Suasana begitu senyap. Lampu-lampu bandara mati. Kami semua memperhatikan keanehan itu, tapi sebagai jawaban kami hanya saling memandang, lalu abai. Pesawat yang kami tumpangi sudah teronggok. Awaknya berjalan ke gedung di sebelah kiri tanpa menoleh, tanpa mengucap satu kata pun sebagai ungkapan ramah tamah atau etika dasar. Sambil memandangi punggung mereka, kami duduk di koper masing-masing di tengah-tengah landasan ini, menunggu jemputan. Arun sebagai pemandu meminta maaf. Katanya, ini pertama kalinya mereka terlambat.

Aku rasa tidak, dia berbohong. Cara bicaranya terlalu tenang sehingga aku merasa ini sudah berulang kali terjadi. Ditambah tidak adanya aktivitas di bandara, siapa yang akan percaya kalau akan ada yang menunggumu begitu kau tiba di sini? Omong kosong. Sebenarnya, aku orang yang emosinya cukup tenang, tapi berada di tempat asing  dengan segala bumbu harapan di kepala tapi justru melihat kenyataan awal seperti ini, aku ingin meninju si Arun dan temannya itu (aku lupa namanya).

Ketimbang si Arun, temannya itu lebih mengesalkan, dia tidak peduli seolah kami tidak ada, pandangannya selalu saja dilayangkan ke langit. Aku jadi ikut-ikutan melakukan hal yang sama. Apa yang menarik, hanya ada bintang-bintang.

Setelah setengah jam, barulah jemputan datang, semacam gabungan helikopter dan bus. Begitu melihatnya, aku jadi merasa bersalah pada Arun dan temannya itu. Kami semua naik dan muat di dalam dan terbang. Terbang lagi, padahal aku berharap kami naik kendaraan daratan. 

Berada di dalam benda ini sepuluh kali lebih nyaman ketimbang di dalam pesawat, tidak ada suara apa pun, tidak ada perasaan dada seperti terhantam, aku seperti berada di ranjang dan hendak tidur. Ya, mungkin karena ketinggian terbang benda itu cukup rendah, atau entahlah, aku tidak mengerti hukum-hukum fisika.

Kami tiba di sebuah hotel yang gelap seperti di bandara tadi. Lagi, pikirku. Aku ingin mengeluh. Aku terlalu tidak terbiasa dengan keadaan tanpa cahaya lampu yang terang. 

Ketika benda tersebut pergi, Arun membagikan kami kartu-kartu yang merupakan kunci kamar kami. “Silakan!” Dia menunjuk sebuah gerbang berkaca. “Arahkan kartu itu ke lantai dan lantai akan menyala memandu kalian ke kamar masing-masing. Nomor kamar ada di sudut kanan kartu itu.” Lalu keduanya pergi ke gerbang berkaca yang lain.

***

Aku tidur nyenyak malam itu dan baru terbangun pada pukul tujuh. Aku mandi dan beribadah sesuai agamaku. Lalu aku ke luar hendak berjalan-jalan mengamati tempat ini. Dari jendela kamarku, yang terlihat hanyalah sebatang pohon angsana yang tidak berbunga ataupun berbuah. Itu tidak cukup untukku.

Matahari bersinar terang, tergolong mulai menyengat untuk pagi hari. Tapi itu tidak masalah. Aku butuh melihat apa saja yang ada di tempat ini. 

“Mau ke mana?” seseorang bertanya kepadaku. Aku tidak mengenalnya dan tidak bisa tahu apakah pendatang sepertiku atau penduduk setempat.

“Mau jalan-jalan.”

“Tidak boleh.”

“Kenapa?”

“Kau baru datang semalam, ‘kan. Seluruh jadwal kalian sudah diatur. Kau tidak boleh melakukan apa-apa sekehendakmu saat ini. Tenang saja, kau akan diberi hari bebas menentukan mau ke mana saja sendirian, tapi itu di hari terakhir.”

Aku tidak menanggapinya. Aku tidak mengenalnya dan aku tidak punya alasan untuk percaya padanya. Bagaimana kalau dia berbohong? Jadi aku mengangguk kepadanya lalu berbalik hendak melanjutkan jalan-jalanku.

“Telingamu masih berfungsi ‘kan?” Ia mencengkeram tanganku dan menarikku.

“Tentu saja, tapi kau tidak bo—“

“Aku kan sudah bilang tidak boleh keluar sendirian.”

“Aku cuma mau jalan-jalan di sekitar sini. Memangnya kau siapa mengatur-ngaturku?”

Dia kaget seperti melupakan sesuatu. “Maafkan, maafkan aku. Aku Amin, aku temannya Arun dan Mali, yang mendampingi kalian semua kemari.”

Oh, jadi namanya Mali. Aku mengangguk lagi, lebih karena aku merasa tidak dihormati, atau mungkin etika setempat memang begitu. 

“Mari!” 

Ia mengawalku ke ruangan restoran dengan jendela-jendela lebar. Kipas berputar-putar di langit-langit membawa hawa dingin. Seorang anggota rombongan kami sedang duduk dengan secangkir teh dan sepiring roti, di samping jendela dengan kaktus-kaktus mini di langkannya. Begitu melihatku, dia tersenyum kecil dan mengangguk. Rasa tidak sukaku jadi berkurang karena senyuman tersebut. Saat Amin pergi, dia tersenyum sekali lagi. Aku lalu menghampirinya, duduk di hadapannya.

“Kau mengingatkanku pada cucuku,” katanya begitu aku duduk.

“Saat di sekolah dasar dan menjadi murid baru, seorang temanku mengatakan aku mirip temannya. Saat di sekolah tingkat atas, seseorang mengatakan aku mirip sepupunya. Saat di tempat kuliah aku lupa berapa orang yang datang kepadaku dan mengatakan aku mirip temannya di tempat bimbingan belajar dan entah di mana lagi. Aku lelah mendengar kalimat seperti itu.”

“Jadi, apa kau marah padaku?”

“Tidak, aku hanya berpikir mukaku benar-benar pasaran. Apa tehnya enak?”

“Ya, enak sesuai seleraku. Entah seleramu,” katanya dengan tersenyum. Dia periang sekali.

***

Tur kami dimulai pukul sepuluh hari itu. Aku diajak ke rumah-rumah penduduk, ke ladang-ladang mereka, berbaur dengan mereka di dapur dan menyantap makanannya. Persis seperti ketika aku pulang ke salah satu desa orang tuaku. 

Setiap orang didampingi satu pemandu. Laki-laki dengan laki-laki. Perempuan dengan perempuan. Mali yang menjadi pemanduku. Di awal sebelum perjalanan dimulai, dia membacakan daftar yang akan kami kunjungi. Semua kedengarannya unik dan cukup menakjubkan ketika sampai ditempat yang dimaksud, tetapi begitu selesai, selesai sudah, tidak ada kesan apa-apa bagiku setelahnya. Entah kenapa.

Di hari kedua kami menjelajahi kebun raya. Begitu kami turun dari mobil di pintu gerbang, sopir langsung tancap gas. Tinggal kami berdua. Aku menoleh ke Mali dan dia tampak bersemangat. “Ayo!” 

“Berapa luasnya kebun ini?” 

“Sepuluh ribu hektar.” Begitu Mali menyebutnya, aku langsung menoleh memandangnya, yang benar saja.

“Apa kau mau membunuhku?”

Mali kaget. Belum sempat dia menjawab, aku berjalan mendahuluinya. “Berjalanlah di belakangku. Kau tidak perlu memanduku.”

Aku penasaran bagaimana kakek (ah, aku lupa namanya) akan melewati tempat seperti ini. Atau remaja perempuan lima belas tahun itu. Aku ingin pengalaman yang menakjubkan, tapi ini justru pengalaman yang mendongkolkan.

Aku berjalan terus dan terus saja, kanopi-kanopi pohon sesekali menaungi. Tampak di ujung jauh, ada rumpun bunga dengan danau yang cukup lebar kelihatannya. Di sisi yang lain ada bukit-bukit kecil dengan sejenis pohon cemara.

“Jalanmu lambat sekali.”

“Aku sudah menunggu selama 20 menit.”

“Kau pasti tidak menikmatinya.”

“Apa?”

“Semua ini, yang ada di sini,” ia mengelilingkan pandangan. “Kau berjalan menunduk, hanya sesekali menoleh pada batang pohon, daunnya, atau apa yang berbeda pada salah satu pohon, yang kau sandari ini misalnya.”

“Apa semua orang memiliki jadwal yang sama denganku?”

“Tentu saja tidak. Ini tergantung jawaban kalian saat mengisi kuesioner.”

“Aku menulis ingin pengalaman yang menakjubkan.”

“Dan kau menulis menyukai berjalan kaki, menyukai alam, dan masakan.”

“Ya, benar. Tapi tidak begini juga.”

“Ya memang tidak akan semelahkan begini, kau yang dari tadi tidak ingin dipandu. Ngomong-ngomong, di jadwalmu kau akan menelusuri tempat ini selama seminggu.”

“Oh, ya.”

“Jadi masih mau jalan sendiri?”

***

Setelah hari itu, Mali tak pernah lagi membacakan jadwalku. Aku tidak akan bertanya ataupun menyela ataupun membantah. Aku menurut seperti anak kecil yang sudah diberi permen. Dengan begitu, ya, jujur kuakui, semuanya bisa kunikmati. Tidak ada ekspektasi di kepalaku yang akan kujadikan pembanding. Dan selanjutnya tak perlu lagi kuceritakan mengenai kunjungan-kunjungan lainnya. Aku menyukainya dan itu membuat suasana hatiku jadi baik. Di hari terakhir aku memilih tidak ke mana-mana, kecuali ke restoran. Dan seperti di cerita mana pun entah fiksi entah nyata yang selalu ada kebetulan, saat itu kakek anggota rombongan kami duduk dengan secangkir teh dan sepiring roti persis seperti hari pertama kami.

“Jadi, kenapa kau di sini?” Dia bertanya dengan senyuman khasnya.

“Hanya ingin menikmati suasana. Seperti sebutan hari tenang sebelum ujian di masa sekolah. Hari ini hari tenang sebelum pulang.”

“Hahaha, bisa juga, bisa. Kau tahu kenapa nama desa ini Aiueo?”

“Tidak ada artinya kurasa.”

“Hahaha, dari mana kau tahu itu. Apa pemandumu yang mengatakannya?”

“Tidak.”

“Dari sekian banyak orang yang kutanyai, hanya ada sedikit yang menjawab sepertimu. Kau mau tahu kenapa?” Kakek menghirup tehnya. 

“Tidak, aku rasa tidak perlu tahu,” kataku tersenyum lalu menghirup kopi yang baru saja dihidangkan pelayan.

“Hahahaha. Kau lucu sekali. Benar, benar kau tidak perlu tahu itu.”

Ya, pembaca sekalian begitulah mengenai arti desa itu. Pembicaraan dengan kakek tersebut hanya sampai di situ. Selanjutnya kami membicarakan banyak hal yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan desa tersebut. Kini aku meragukan jawabanku hari itu. Tapi di lain waktu aku masih yakin benar. Nah, bagaimana dengan kalian. Jangan ragu menyampaikannya! AYO! (*)

15 Juni 2021

 

Nining Kurniati, Perempuan yang ingin melihat hal-hal indah dan menakjubkan di depan matanya. 

Editor : Devin Elysia Dhywinanda

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply