Air Mata Zahira (Episode 6)
Oleh : Zalfa Jaudah Jahro
Setelah mengunjungi kafe, Zahira menghabiskan waktunya dengan menemani keempat buah hati kembarnya yang sedang aktif bermain. Salah satu di antara mereka sudah mempunyai kedua gigi yang sangat menggemaskan.
Zahira membuatkan makanan untuk anak-anaknya dengan penuh cinta. Satu per satu suapan masuk ke dalam mulut mereka. Sorot mata mereka mampu membuat Zahira merasa tenang. Tidak terlalu sulit baginya untuk merawat empat buah hatinya. Namun, mampukah ia menjawab pertanyaan mereka tentang sosok seorang ayah kelak?
Untuk saat ini, Cafe Cupcake menjadi kian ramai hingga Zahira memutuskan untuk membuka cabang baru di dua kota yang berbeda. Namun, saat ia ingat jika sosok Mas Samudra tidak dapat menemaninya lagi, air mata Zahira mengalir disertai rasa sesak. Mas Samudra selalu menemani hari-harinya, tetapi kini, ia harus sabar dan rela ketika semua tidak lagi sama. Zahira harus berusaha membiasakan diri, melakukan sesuatu tanpa ada si pemilik hati.
“Anak Bunda sayang … kalian harus tumbuh menjadi seorang yang hebat seperti Ayah, ya, Nak. Meski kalian tidak bisa mengingat Ayah, cintanya tidak pernah jauh.”
Zahira tersenyum seraya mengeluarkan suara khas anak kecil. “Iya, Bunda. Kita pasti jadi orang hebat seperti Ayah.”
Di saat salah satu dari mereka tertawa, semua ikut tertawa. Tubuh kecil mereka sangat bersih dan wangi. Mereka mengenakan baju berwarna hijau senada, tampak sangat menggemaskan hingga membuat Zahira mengambil ponsel untuk memotret mereka.
Namun, tiba-tiba ada pesan masuk dari Tian.
[Ra, jangan lupa besok kita kumpul, ya.]
[Iya, palingan aku bawa si kecil. Kasihan bibi kalau aku ninggalin semuanya.]
[Oke.]
Entah berkumpul untuk membahas apa, semoga saja dapat membuat Zahira menerima kepergian Mas Samudra, meski dirinya tentu tidak akan langsung begitu saja melupakan sosok yang sangat dicinta.
Tepat pada siang hari, Tian dan Figo datang untuk menjemput Zahira dan salah satu anak kembarnya. Tiga di antaranya tidak Zahira bawa. Zahira sengaja membawa salah satu putrinya agar tidak merasa bosan saat nanti mereka berkumpul.
“Ututu, cantik banget sih, anak kamu, Ra. Gemes banget,” ujar Figo seraya menggendong tubuh mungil Samazha—putri kecil Zahira.
Samazha tersenyum, lesung pipi bocah yang baru saja mempunyai gigi di bagian depan itu membuatnya terlihat sangat cantik. Entah mengapa, wajah Samazhalah yang sangat mirip dengan Zahira dan juga Zahara. Mungkin, memang karena Samazha ialah satu-satunya putri dari keempat buah hati kembar Zahira.
“Waduh, pipi ni bocah mirip kamu, Ra.” Tian berucap seraya tersenyum meledek.
“Nggak papa, yang penting cantik,” jawab Zahira, ia langsung membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya.
“Ra, ini anak kamu!” seru Figo heran.
“Gendong aja, tadi katanya gemes.” Figo menghela napas pasrah. Mereka segera ikut memasuki mobil.
Sebenarnya, Zahira tidak tahu ke mana Tian dan Figo akan membawanya pergi. Yang pasti, Zahira tetap merasa aman jika bersama mereka. Sejak dulu, Tian dan Figo tidak pernah berubah. Mereka selalu mendukung dan menemani Zahira.
“Liat deh, Fig, laki itu mirip kamu kalau belum mandi,” ujar Zahira seraya tertawa lepas
“Elah, enak aja! Mana ada orang yang nggak waras itu seganteng aku.” Figo membalas. Jemarinya mengelus perlahan pucuk kepala Samazha.
Seketika rasa sakit kembali menghampiri, Zahira membayangkan jika lelaki yang mengelus putri kecilnya itu ialah Mas Samudra. Zahira merindu, rindu akan obrolan dan sikap manis Mas Samudra. Namun, dunia tidak lagi berpihak kepadanya. Kebahagiaan itu seketika berlalu dengan sangat cepat.
“Loh, loh! Zahira, Ini anak kamu kayaknya anak kamu ngantuk, deh. Mukanya lesu banget kayak masa lalu si Tian.”
“Enak aja!” sergah Tian dengan sangat cepat.
“Tidurin aja, Fig. Sekalian tepuk-tepuk pahanya.”
“Sekalian gue goyang-goyang gini, ya, biar pas gede dia jago goyang dum—”
“Enak aja!” Sekarang, Zahira yang menyergah ucapan aneh dari Figo.
Suasana menjadi hening ketika Figo menidurkan Samazha. Setelah putri kecil Zahira dapat tertidur dengan sangat pulas, Tian memberanikan diri untuk membuka suara meski tatapannya tidak beralih dari jalanan. Namun, sebelum Tian membuka suara, ia seperti memberikan suatu isyarat untuk Figo.
“Ehem … gini, Ra. Kamu udah nerima—”
“Telpon dari Aldean?” tanya Zahira dengan cepat.
Seketika Tian menginjak rem, membuat laju mobil mendadak terhenti. Tangis Samazha pecah seketika, semua karena ulah Tian yang menghentikan mobil dengan tiba-tiba. Segera Zahira beralih menggendong putri kecilnya.
“Kamu bisa bawa mobl nggak, sih, Tian? Ini anak aku sampe bangun dan nangis, ‘kan. Ah!”
“Maaf, Ra. Aku kaget dengar pertanyaan dari kamu.” Tian merasa tidak enak.
“Emang bener, ‘kan? Aldean nelpon aku.”
“Wah, gawat nih, nekat banget itu laki,” bisik Tian yang dibalas anggukan oleh Figo.
“Kalian nyembunyiin sesuatu dari aku?” tanya Zahira sedikit kesal. “Katanya, nggak ada rahasia di antara kita. Kalian udah nggak asik.”
“Eh, eng … bukan gitu, Ra.”
“Kalian tega nyembunyiin sesuatu,” ujar Zahira merajuk.
“Nggak, Ra.”
“Ngomong-ngomong, Aldean bilang apa aja di telpon?” tanya Figo mulai penasaran.
“Enggak banyak, sih. Dia cuman ngucapin belasungkawa atas lelaki yang sangat amat aku cinta.”
Tian terkekeh geli. “Ya nggak gitu juga kali, Ra.”
“Ih, ya gitu, dong! Aku kan emang cinta banget sama Mas Samudra. Apanya yang salah coba?”
“Enggak, Ra, Nggak ada,” balas Tian mengalah.
Perjalanan kembali terasa sangat menyenangkan diiringi dengan percakapan hangat antara Zahira dan kedua sahabatnya. Figo menyalakan lagu dangdut yang selalu ia putar ketika mereka bersama dulu—saat masih SMA.
Hingga akhinya, mereka sampai di salah satu kafe yang dulu selalu mereka kunjungi. Setiap pulang sekolah, Zahira selalu memesan green tea latte beserta kentang goreng yang sangat enak.
“Yuk! Gue udah kangen liat Zahira lari-lari sambil teriak pesen green tea latte lagi kayak dulu.”
“Enak aja! Sekarang udah nggak bisa kali, kamu nggak liat anak aku yang cantik jelita ini lagi tidur pules?”
“Yee, lagian suruh siapa kamu bawa anak?”
Zahira tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Tian. Ia justru dengan cepat berjalan masuk ke dalam kafe tersebut.
“Masih suka green tea latte?” tanya Figo seraya menunjuk daftar menu.
“Masih. Aku pesen dua cup green tea latte.” Figo dan Tian seketika saling menatap.
“Serius?”
“Ya seriuslah. Udah lama nggak ke sini, kangen juga.”
Figo mengangguk. Ia segera menuliskan semua daftar pesanan. Namun, tidak berselang lama kemudian, tiba-tiba ….
“Aldean ….” Zahira berucap pelan ketika melihat sosok lelaki berjalan mendekat. Ia tersenyum seraya bersalaman dengan Tian dan Figo.
“Ayo, duduk Al,” ujar Tian seraya tersenyum ramah.
Ada apa ini?
Apa yang sebenarnya Tian dan Figo rencanakan?
Kepingan rasa itu tidak pernah lagi memenuhi relung hati Zahira. Cinta yang seutuhnya hanya berhak diberikan untuk Mas Samudra seorang. Sementara Aldean? Namanya telah terkubur dengan sangat dalam, ia tidak pernah lagi Zahira anggap keberadaannya.
“Nggak papa gabung?” tanya Aldean lembut.
Jika dulu, suara Aldean terdengar sangat terbeda, saat ini semua tidak ada artinya. Jika Tuhan memberikan Zahira rencana yang sebenarnya sama sekali tidak pernah ia bayangkan sebelumnya tentang dirinya dengan Aldean, Zahira telah memantapkan hati untuk selalu mengingat dan merasakan kehadiran Mas Samudra.
Bagaimana tidak?
Mas Samudra berbeda. Tidak akan ada satu lelaki pun yang mampu menggantikan sikap manis yang selalu ia lakukan untuk Zahira.
“Duduk aja, Al,” jawab Zahira perlahan. Ia terus menunduk, tidak mampu menatap lurus lelaki yang kini duduk di hadapannya.
“Mau pesan apa, Al? Biar sekalian,” kata Figo memecahkan suasana yang sangat terasa tidak nyaman.
“Orange juice boleh.”
Semua diam setelah pelayan pergi meninggalkan tempat. Semua membisu, tidak saling menatap dan merasa bingung dengan situasi yang saat ini tengah mereka alami. Hingga akhirnya, suara tangis Samazha berhasil memecah keheningan tersebut. Zahira segera menenangkan putrinya dengan penuh perhatian.
“Anak keberapa, Ra?” tanya Aldean seraya memperhatikan Zahira yang terus membujuk putri kecilnya untuk segera berhenti menangis.
“Anak bungsu,” jawab Zahira tanpa mengalihkan pandangan.
“Boleh aku gendong?” Pertanyaan dari Aldean membuat Zahira merasa sangat gugup dan tidak nyaman.
Zahira mengalihkan Samazha pada Aldean. Sementara itu, Tian dan Figo tetap diam, sesekali mereka saling bertukar pandangan, seolah memberikan suatu isyarat yang entah Zahira tidak tahu maknanya.
Suara tangis Samazha seketika berhenti ketika Aldean mengusap kepala putri kecil itu seraya mengajaknya berbicara. Zahira begitu merasakan bahwa suatu hal yang ada pada Mas Samudra juga sangat melekat pada diri Aldean. Kristal bening di pelupuk matanya tidak dapat ia tahan untuk tidak tumpah begitu saja. Air mata Zahira menetes, ia merasa sangat rindu dengan Mas Samudra. Ia melihat kasih sayang yang Mas Samudra berikan untuk Kanth, Ethan, dan Zahara itu, semua ada pada diri Aldean.
Namun, rasa yang Zahira miliki tetaplah hanya untuk Mas Samudra. Tidak dapat dipungkiri bahwa cinta itu tidak benar-benar ikut mati bersamaan dengan berhentinya napas lelaki yang telah lama mendampingnya. Mas Samudra berbeda, ketulusannya mampu membuat Zahira jatuh dengan sangat dalam pada relung hatinya.
“Kayaknya, kamu udah cocok punya anak, Al,” ujar Tian memecahkan keheningan.
Perkataan Tian membuaatku berpikir, apa maksudnya? Mana mungkin Aldean belum memiliki anak, sementara Zahira pun telah memiliki tujuh buah hati yang sangat menggemaskan.
“Belum saatnya. Aku masih nunggu waktu yang tepat,” jawab Aldean seraya memainkan ujung lengan Samazha.
“Sampai kapan? Kita udah punya anak loh, sementara kamu? Menikah pun belum.”
Zahira terperanga kaget mendengar ucapan Figo. Yang benar saja? Seorang Aldean melum menikah?
“Atau jangan-jangan, kamu masih—”
“Mengagumi wanita yang sama.” Aldean menatap kedua bola mata Zahira dengan sangat dalam.
Zahira segera mengalihkan pandangannya. Tidak mungkin dapat secepat itu ia melupakan Mas Samudra. Baginya, Aldean hanya angin lewat yang tidak mempunyai kesan khusus. Zahira akan tetap pada pendiriannya meski semua orang mempunyai pemikiran yang berbeda. Zahira mengerti, Tuhan pasti mempunyai rencana besar yang begitu berarti. Namun, jika rencana tersebut membuat pertahanan hatinya goyah, akankah ia tetap bertahan? (*)
Bersambung …
Zalfa Jaudah Jahro lahir di Karawang, 03 Oktober 2003. Si penyuka awan dan sosok yang selalu menjadi inspirasinya. Jika ingin menghubunginya dapat mengirim pesan melalui zalfajaudah03@gmail.com atau Facebook Zalfa Jaudah J.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata