Air Mata Zahira (Episode 4)
Oleh : Zalfa Jaudah Jahro
Wanita tegar yang kini terus berusaha bangkit dari keterpurukan itu tidak pernah membenci semesta yang menelan Samudra bersamanya. Semua ialah ujian yang harus dihadapi. Meski terkadang, ia merasa bahwa dirinya tidaklah mampu menjalani kehidupan yang saat ini dijalani. Namun, senyumnya tetap terlontar kala ia sadar, tidak ada yang perlu ia cemaskan ketika Sang Pencipta mengambil kembali apa yang dimilikinya.
Sejatinya cinta memang harus merelakan. Rela ketika Tuhan memberikan takdir yang berbeda dari setiap insan. Tidak semua hal yang ada dalam bayang dapat kita lakukan. Maka, ketika Zahira menyadari bahwa cinta yang ia miliki telah pergi, ia mengubur dalam-dalam semua rencana yang akan ia lakukan bersama Samudra. Zahira menyadari bahwa tidak ada lelaki yang dapat menyentuh hatinya sejak dulu selain Samudra.
“Ra, kok kamu melamun?” tanya Mama memecahkan lamunan Zahira.
Zahira tersentak seketika. Ia sadar bahwa sedari tadi, dirinya hanya terdiam seraya menatap keempat buah hatinya. Zahira merasa sedih, tidak tega kala mengingat kenyataan pahit yang ia hadapi, terutama setiap ia menatap bola mata putra dan putrinya yang masih bayi.
“Hira nggak melamun, Ma … Hira cuman—”
“Kita makan siang sama-sama, yuk. Kanth, Ethan, dan Zahira udah nungguin kamu. Biar keempat bayi kecil ini, Bibi yang jagain.”
“Zahira masih pengen—”
“Kamu nggak kasihan sama anak-anak, Sayang? Kita makan sama-sama, ya.” Suara Mama tertengar lebih tegas.
“Iya, Ma,” ujar Zahira pasrah. Ia mengecup singkat salah satu buah hatinya, kemudian berjalan menuju meja makan.
Saat Zahira melangkah pelan menuju meja makan, betapa terkejutnya ia ketika melihat dua orang lelaki yang tersenyum lebar ke arahnya.
“Tian! Figo!” Zahira berseru senang. Seketika senyumannya mengembang begitu saja.
“Zahira!” Kedua lelaki itu melentangkan tangan dengan sangat lebar.
“Kita bukan anak SMA lagi, kali,” ujar Zahira sebal melihat tingkah aneh kedua sahabatnya.
Mama tersenyum tipis ketika melihat Zahira kembali tersenyum. Memang, tidak ada salahnya ia menghubungi kedua sahabat Zahira sejak masa SMA tersebut. Dari dulu, Zahira sangat dekat dengan Tian dan Figo. Bahkan, hampir setiap hari Zahira dibawa kabur—main—bersama mereka. Mereka juga selalu menjaga Zahira. Bahkan, mereka berdualah yang selalu menggoda Zahira ketika ia bertemu dengan Samudra dulu, saat di sekolah.
“Ayo, duduk. Ternyata anak-anak yang dibilang Mama itu kalian,” ujar Zahira meledek.
“Loh, Mama beneran bilang gitu?”
“Iya, ia ngajak aku makan sama anak-anak.”
“Lagian, sih. Nakal banget kamu, Ra. Disuruh makan aja susah. Nih, makan!” seru Tian seraya mengambil sepiring nasi beserta lauk pauknya.
Dengan cepat, Figo menyenggol perlahan bahu Tian. “Turut berduka cita dulu, pinter!”
“Eh, iya. Maaf-maaf, kebiasaan, nih,” Tian tersenyum kikuk, “turut berduka cita, ya. Maaf, nih. Kita nggak bisa dateng saat pemakaman suami kamu.”
Zahira mengangguk. “Sebenarnya ini sulit banget. Kalian tahu, kan, betapa hancurnya perasaan aku.”
“Nggak perlu kamu ucapin, kita ngerti, kok, Ra. Dari dulu, kita tahu kalau rasa yang kamu punya itu cuman untuk Samudra.”
“Tapi, kalau udah begini … sekuat apa pun aku genggam, Samudra udah pergi. Aku bener-bener ngerasa kehilangan Samudra.”
“Kita tahu, Ra. Kita bisa lihat dari sorot mata kamu. Bukan cuman sekarang, tapi dari dulu. Kamu punya cinta yang begitu kuat. Samudra selalu memiliki arti yang besar buat kamu.”
“Bro, kayanya kita nggak cocok, deh, ngobrol serius kayak gini,” ujar Figo seraya menatap Zahira dan Tian bergantian.
Satu detik saat Tian menyadari, seketika ia tertawa. “Hahaha!”
Dari dulu, mereka bertiga sangatlah receh—tidak pernah serius ketika berbicara, selalu ada candaan yang diselipkan ketika obrolan berlangsung.
“Ih, bisa-bisanya ngajak ngelucu!” geram Zahira seraya menepuk pundak Figo.
Senyum Zahira kembali mengembang dengan sempurna. Ia tidak menyangka jika dirinya kini tengah bersama dengan kedua sahabatnya, karena sudah satu tahun lebih mereka tidak bertemu, hanya saling mengabari di sosial media. Zahira tahu, kesibukan Tian dan Figo dapat dibilang hampir sama dengan kesibukannya. Maka dari itu, untuk bertemu kini rasanya sangatlah sulit.
Namun, pertemuan kali itu mampu membuat Zahira merasa keterpurukannya sedikit berkurang. Tian dan Figo terus menyemangatinya, hingga tidak terasa, air mata Zahira mengalir begitu saja.
“Kamu bisa, Ra. Dari dulu, Zahira yang kita kenal selalu kuat. Kamu bisa menunggu Samudra hingga bertahun-tahun lamanya. Jadi—” Perkataan Figo terpotong cepat.
“Jadi, aku bisa untuk merelakan dia? Nggak semudah itu, Tian. Samudra itu—”
“Bukan gitu, Ra. Sekarang semua nggak lagi sama. Kalau dulu, kamu bisa nunggu Samudra sampai ia jadi milik kamu. Tapi sekarang? Ia nggak akan kembali. Tuhan pasti punya jalan untuk wanita setegar kamu.”
Zahira tersenyum. “Ternyata bener kata kamu, kita emang nggak pantes ngobrol serius.”
Seketika ruangan penuh dengan gelak tawa. Tian dan Figo mampu membuat suasana hati Zahira membaik. Terlebih, sudah lama mereka tidak bertemu. Padahal, sejak masa SMA, mereka selalu bersama. Tidak pernah sehari pun mereka menghabiskan waktu pulang sekolah untuk langsung pulang ke rumah kecuali ada hal yang mendesak.
Bahkan tidak jarang, teman-teman Zahira yang lain menganggap Tian maupun Figo sebagai kekasihnya. Padahal tentu saja tidak, perasaan mereka bertiga tidak pernah berubah. Saling menyayangi, saling memiliki, tetapi dengan status sahabat yang tidak pernah mereka ubah. Terlebih, Tian dan Figo telah memiliki kekasih sejak dulu. Hanya Zahiralah yang tidak memiliki pasangan saat itu. Maka, ketika Tian dan Figo mengetahui perasaan yang dimiliki Zahira, mereka turut serta memberikan doa terbaik hingga akhirnya undangan pernikahan Zahira dan Samudra tiba.
Zahira ingat, ketika ia tiada habis untuk berceloteh tentang Samudra di hadapan Tian dan Figo, mereka pernah mengatakan, “Siapa pun lelaki yang nantinya akan milikin kamu, kita harus tahu. Kamu harus izin biar kita bisa menilai lelaki mana yang cocok untuk kamu, Ra. Kita ini sahabat, semuanya harus dijalani bersama.”
Hingga saat pilihan Zahira jatuh kepada sosok yang mampu mengunci pintu hatinya tersebut, Tian dan Figo segera menunjukkan ibu jari mereka bersamaan. Meski mereka tahu, perjuangan untuk Zahira dan Samudra dapat saling memiliki itu tidaklah mudah. Bahkan, pernah sekali Tian merasa kesal karena Zahira selalu menyebut nama Samudra ketika mereka bertiga tengah berkumpul. Namun, ungkapan rasa kesal itu tentu saja mempunyai maksud tertentu. Tian tidak suka melihat Zahira bersedih. Terutama, ketika Samudra sama sekali tidak menunjukkan bahwa dirinya memiliki rasa untuk Zahira.
“Gimana kalau kita main—”
“Ih, apaan, sih. Kita ini udah tua, Tian. Nggak usah main-main. Kamu nggak inget umur, ya?” balas Figo, kembali memulai canda.
“Iya, lupa. Ternyata kita bukan anak SMA lagi. Padahal dulu, sih, enak. Bisa isengin Zahira sampe ia ngejar-ngejar kita di koridor.”
Zahira segera mencubit pelan pinggang Tian. “Enak aja!”
“Iya, ya. Padahal dulu enak. Kita bisa ledekkin Zahira kalau bajunya basah kuyup kehujanan,” lanjut Figo menimpali.
Zahira tersenyum meledek. “Iya, apalagi waktu aku dorong kalian ke dalam kolam sekolah. Lucu banget, ‘kan?”
Seketika, Tian dan Figo saling bertatapan. Sedetik kemudian, mereka tertawa kencang begitu mengingat kejadian bodoh yang pernah mereka alami semasa sekolah dulu. Namun, semua telah menjadi kenangan. Masa remaja itu sudah berakhir, kini mereka telah memiliki kehidupan yang berbeda.
“Nah, gitu dong senyum, Ra. Kata Mama, kamu selalu ngelamun. Zahira jadi sosok yang berbeda. Kita datang bukan cuman untuk menghibur kamu, tapi kita mau kalau senyum kamu nggak pernah pudar. Kamu harus tetap menjadi Zahira yang kita kenal meski cintamu telah pergi,” ujar Figo seraya tersenyum.
Perkataan Figo mampu memberikan energi bagi Zahira, meski tidak ada lagi yang mampu membuat senyum Zahira mengembang karena tersipu malu. Walaupun begitu, ada banyak orang yang berusaha untuk melihat senyum Zahira lagi.
Bagi Tian dan Figo, Zahira ialah wanita yang sangat kuat. Jika dulu, Zahira selalu menjadi pendengar terbaik bagi mereka, kini sudah saatnya merekalah yang menjadi pendengar bagi Zahira.
Di saat Zahira membutuhkan sandaran atas kepergian lelaki yang sangat ia cinta, Tian dan Figo tetaplah sama seperti dulu. Menjadi sandaran ketika Zahira terluka menahan rindu yang amat besar, terbelenggu perasaannya pada Samudra. Namun kembali lagi, kini Samudra telah pergi, sehingga rindu dan rasa yang membelenggu itu kian bertambah tanpa ada yang dapat Zahira lakukan.
“Om Tian! Om Figo!” Suara Ethan terdengar begitu nyaring ketika melihat kedua sosok yang saat ini sedang berbicara dengan Zahira.
“Ethan! Waduh … jagoan Om.” Tian segera memeluk tubuh Ethan yang semakin membesar.
Sementara itu, Kanth dan Zahara bersalaman dengan Figo terlebih dahulu. Jika Kanth dan Ethan sudah kenal dekat dengan Tian dan Figo, Zahara tidak. Ia terlalu kecil untuk mengingat. Ketika usia Zahara dua tahun, ia memang sangatlah dekat dengan mereka. Namun, setelah lama tidak bertemu, Zahira sama sekali tidak menunjukkan raut wajah apa pun.
“Eh, Ahla. Wah, udah besar ya sekarang.” Zahara mengangguk malu seraya menggenggam jemari Kanth.
“Ahla masih inget sama Om Tian, nggak, Sayang? Om pernah beliin Alha es krim coklat, loh.”
“Ahla lupa, Om,” ujar Zahara pelan. Suara manisnya mampu membuat gelak tawa Tian dan Figo terlontar begitu saja.
“Gemes banget, sih, Nak! Ahla udah sekolah?”
“Udah, Om. Ahla udah bisa gambar awan.”
“Wah, Ahla hebaat!” ujar Tian dan Figo bersamaan.
Pernyataan Tian dan Figo tentang putri kecil Zahira hebat itu memanglah benar. Zahra memang sangat hebat. Zahira selalu melihat sisi yang berbeda dari putri kecilnya. Namun, perkataan kedua sahabatnya mampu membuat rasa haru seketika datang. Zahira kembali merasakan sakit, air matanya berlinang, siap untuk jatuh jika tidak lagi dapat ia tampung.
Zahira ingat, Samudralah yang membuat ketiga anaknya menjadi sosok yang sangat hebat. Seketika Zahira berpikir, ia harus mampu untuk menaklukkan waktu, menjadi sosok yang juga hebat demi keempat bayi kembarnya. Jika bukan Samudra, maka Zahira harus mampu melakukannya. Meski ia sadar, dirinya tidak akan bisa menjadi ibu sekaligus ayah yang hebat. Zahira membutuhkan Samudra, terutama cinta yang sangat besar darinya. Namun, kembali lagi pada garis takdir yang harus ia terima, Samudra telah pergi, menyisakan tangis yang tidak akan pernah terhapus oleh siapa pun.
Air mata Zahira tidak pernah lepas dari bayang Samudra. Lelaki hebat yang selalu menjadi pelindung baginya. Meski Samudra telah pergi, tetapi Zahira tetap meyakini bahwa cinta dan ketulusan Samudra tidak pernah pergi. Zahira selalu merasakan kehadiran sosok yang ia cinta di sekitarnya, meski ia tidak lagi dapat memandang sepasang mata yang mampu membuatnya jatuh cinta. Ia berusaha rela, menahan rasa sakit yang menghantam relung hatinya, menyisakan perih yang tidak dapat orang lain mengerti, terutama jika bayang itu kembali. Zahira kerap merasa bahwa Samudra tidak pernah pergi. Hanya, semesta telah memberikan takdir pahit dan ujian hidup yang harus Zahira hadapi meski terasa perih. (*)
Zalfa Jaudah Jahro, lahir di Karawang pada hari jumat, 03 Oktober 2003. Zalfa sangat menyukai awan, mendung, dan dia. Jika ingin mengetahui tentangnya, bisa melalui email zalfajaudah03@gmail.com atau Facebook Zalfa Jaudah J.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata