Air Mata Zahira (Episode 1)
Oleh : Zalfa Jaudah Jahro
Kepergian sosok lelaki yang selalu ada untuknya memanglah bukan perkara yang mudah untuk diterima. Apalagi, jika sosok tersebut tidak pernah membuat hari menjadi sepi. Namun, kenyataan tetap harus dijalani meski pahit menyerta. Semesta selalu mempunyai cara untuk dapat mengukir senyum meski tidak bisa dimungkiri jika dirinya dapat merenggut sesuatu tanpa sedikit pun memberi firasat.
“Ayah masih hidup!” Tangis seorang putri kecil semakin kencang. Jemari kecilnya mendekap erat sosok yang sudah tidak lagi bernyawa.
“Ayah! Ayah bangun. Ethan nggak mau Ayah pergi ….” Suara tangis lain terdengar begitu memilukan.
Kejadian pahit yang harus diterima oleh seorang putri kecil bernama Zahara, membuat ia merasa bahwa kehidupannya tidak lagi sama. Di usia yang baru saja menginjak lima tahun, Zahara harus menerima kenyataan bahwa sosok lelaki pertama yang mencintainya pergi tanpa memberikan kecupan terakhir.
“Bunda … Ahla mau di sini aja, Ahla nggak mau Ayah sendirian. Nanti Ayah kedinginan, Bunda …,” rengek pilu Zahara.
Tidak ada jawaban atas ucapan yang Zahara lontarkan. Suasana menjadi hening seketika. Bahkan, tidak ada lagi suara yang terdengar, tangis telah habis. Dengan perlahan, Zahira—bundanya—menggendong tubuh kecil Zahara. Ia tidak peduli putrinya meneriaki nama Samudra. Sosok lelaki … yang ia cintai.
“Bunda, jangan! Ahla mau di sini!”
Kanth, Kakak tertua mereka mulai menggandeng Ethan, ia merasa sedikit khawatir jika adik kembarnya itu akan kalap mendengar rayuan Zahara. Memang di antara mereka, hanya Kanth-lah yang memiliki sikap seperti ayahnya. Kanth selalu tenang ketika menyikapi suatu masalah, meski di dalam lubuk hatinya, Kanth pun merasa perih atas hilangnya sosok lelaki yang selalu mengerti keadaannya.
“Kanth … Ethan takut Ayah kesepian …,” ujar Ethan dengan suara yang terdengar sangat parau.
“Ethan harus kuat. Ayah nggak papa, kok. Kita nggak boleh sedih biar Ayah tenang.”
“Tapi, Kanth … Nan—nanti kalau Ethan kangen sama Ayah, gimana?” Kanth menggeleng cepat, pertanyaan itu sama seperti pertanyaan yang ada di dalam lubuk hatinya. Namun, Kanth tidak pernah menyuarakan meski air matanya menetes deras.
Sementara itu, Zahira menatap kosong apa saja yang ada di hadapannya. Pikirannya melayang jauh ke kejadian manis yang selalu ia lakukan bersama Samudra, ayahnya. Namun, kenangan manis itu telah sirna. Tidak akan ada lagi gelak tawa yang akan menghiasi harinya. Tidak ada lagi senyum manja yang selalu merayunya.
Kepergian Samudra terlalu mendadak, tidak sedikit pun memberi firasat yang kuat. Samudra meninggalkan ketujuh anaknya yang masih sangat kecil. Bahkan, bayi kembar mereka baru saja lahir beberapa bulan yang lalu. Tapi, mengapa semesta terlalu cepat mengambil seseorang yang sangat Zahira cinta?
“Bunda, Ahla nggak mau ninggalin Ayah ….” Kini suara Zahara terdengar sangat lemah.
“Ahla kuat, Nak …,” bisik Zahira seraya mengeratkan dekapan pada tubuh kecil putrinya.
“Nanti Ayah kedinginan, Bunda ….”
“Ahla jangan sedih, biarin Ayah tenang, Sayang.” Suara Zahira bergetar hebat. Air matanya menetes kembali, namun tidak ada isak yang terdengar.
Zahira tidak tahu lagi, apa yang akan ia katakan jika ketiga anaknya bertanya perihal sosok yang telah pergi. Diamnya menandakan rasa pedih yang sangat dalam. Apalagi, di malam pertama dirinya harus kehilangan sosok itu, Zahira duduk termenung di sudut kamar. Tawanya hilang, bahkan senyumannya mungkin tidak akan lagi tampak.
Kenangan manis seketika membayanginya, mengisahkan kejadian lama yang selalu memiliki kesan berbeda. Air mata Zahira perlahan menetes kala melihat bingkai foto dirinya bersama sosok yang biasa ia panggil Mas Samudra. Lelaki bertubuh tinggi yang raganya selalu menghangatkannya dari udara malam. Namun, kini semua telah berlalu. Semesta benar-benar membawanya pergi. Sosok lelaki yang menjadi cinta pertamanya itu pergi, meninggalkan lara yang tidak bisa dihindari.
“Hira … makan dulu, yuk.” Lamunan Zahira tidaklah langsung terhenti ketika mendengar suara Ibu yang mengajaknya untuk makan malam.
Langkah kaki Ibu berjalan mendekat, ia duduk di samping putrinya yang sedang menatap kosong apa saja yang ada di hadapannya.
“Nak, ayo makan. Kamu harus kuat, kasihan anak-anak kalau kamu terus terpuruk seperti ini.” Hening masih sama, Zahira tidak mau membuka suara. Hatinya terlalu rapuh untuk malam panjang yang harus ia lewati sendirian.
“Zahira, kepergian Samudra bukan akhir dari segalanya. Suami kamu pasti akan merasa sedih jika di atas sana, ia melihatmu terpuruk, Nak.”
“Hira takut, Bu,” ujar Zahira dengan sangat pelan, tanpa mengalihkan pandangan.
“Apa yang kamu takutkan? Zahira, kamu perempuan yang kuat. Ibu yakin kamu bisa melewati semua ini.”
“Ta—tapi, anak-anak nggak bisa ….”
Ibu menggeleng cepat. “Anak-anak pasti bisa menerimanya kalau kamu bangkit, Nak. Di saat seperti ini, cobalah untuk berdamai dengan keadaan. Anak-anak membutuhkan kamu.”
“Zahira nggak kuat, Bu. Wajah Kanth, Ethan, dan Zahara selalu buat Hira ingat sama Mas Samudra.”
“Samudra tidak akan merasa tenang jika kamu tetap seperti ini, Nak. Ibu tahu jika dia selalu menjadi sosok yang bisa membuatmu bahagia. Tapi ada kalanya semua itu sirna.”
“Kenapa, Mas Samudra harus pergi secepat ini? Bahkan waktu seribu tahun pun belum cukup untuk Hira menghabiskan waktu dengannya.”
“Jangan pernah bertanya mengenai takdir, Nak. Kamu harus merelakan suamimu karena ini semua atas kehendak-Nya.”
“Hira butuh waktu untuk sendiri, Bu.”
“Kamu belum—”
“Hira nggak lapar. Tolong beri Hira waktu untuk merelakan kepergian Mas Samudra.” Ibu mengangguk, ia mengecup singkat kening Zahira dengan penuh cinta.
Zahira berjalan pelan menuju lemari besar miliknya dan juga Samudra. Ia mengambil salah satu kemeja yang selalu Samudra pakai untuk pergi ke kantor. Kemeja tersebut adalah satu-satunya kemeja yang menjadi kesukaan Zahira dengan suaminya. Apalagi ketika Zahira memakaikan dasi berwarna senada dengan kemeja itu.
Tangisnya kembali pecah. Zahira menghirup dalam-dalam wangi kemeja itu. Namun, tidak lagi ada wangi tubuh lelaki yang telah lama menjadi pendamping hidupnya. Jemari Zahira kalap mencari kemeja lain yang tersusun rapi di dalam lemari, berharap dirinya akan menemukan satu kemeja yang masih menyimpan wangi tubuh suaminya.
“Mas … aku nggak sanggup!” teriak Zahira seraya melempar asal kemeja-kemeja yang ada di dalam lemari.
“Aku nggak sanggup kehilangan kamu! Aku nggak sanggup meski kamu pergi hanya satu detik!”
Zahira terus menangis kencang. Sejak jenazah Samudra datang, ia hanya diam, terpaku atas kepergian sosok yang telah lama menjadi pendamping hidupnya. Namun, Zahira perlu menyuarakan rasa sakit yang ada dalam hatinya. Suara tangis pilu yang keluar dari bibirnya menjadi saksi bahwa ia benar-benar merasa hancur atas kepergian sosok yang sangat ia cinta.
“Aku nggak sanggup, Mas! Kenapa kamu pergi secepat ini? Mana janji yang kamu katakan jika kamu nggak akan buat air mata aku jatuh!” Suara parau Zahira terdengar sangat lantang.
Di balik pintu, Ibu dan saudara lainnya berusaha mengintip kejadian dari lubang pintu. Mereka merasa khawatir jika nantinya Zahira akan melalukan suatu hal yang tidak masuk akal. Namun, Zahira hanya terus meraung, meresapi setiap perih yang menyayat hati. Zahira merasa bahwa hidupnya telah berakhir saat detik pertama Samudra pergi.
“Bunda …!” Zahara membuka cepat pintu kamar Zahira meski ibu sudah melarang. Putri kecil itu memeluk erat tubuh Zahira yang sudah tidak lagi berdaya.
“Bunda nggak boleh nangis. Ahla janji nggak akan nakal, Bunda. Ahla nggak akan nangisin ayah lagi, ta—tapi Bunda jangan nangis. Ahla takut ….”
Pelukan Zahara membuat tangis Zahira mulai mereda. Namun jauh di dasar hatinya, Zahira tetap meneriakkan nama Samudra.
“Ayo, Bunda. Bunda harus istirahat. Ahla mau nemenin Bunda tidur.” Zahara menarik tangan Zahira dengan lembut.
Tanpa ada jawab, Zahira menuruti kemauan putri kecilnya. Ia melepaskan beberapa kemeja yang masih ada dalam dekapannya. Zahira berusaha untuk mengatur hela napas yang sedikit tersenggal. Dilihat olehnya, putri kecil yang beberapa tahun ia lahirkan membawa segelas air mineral, kemudian memberikan kepadanya.
“Bunda, minum dulu, ya. Bunda nggak boleh capek.”
Zahira menghela napas berat. Bahkan, sikap putri kecilnya lebih mengerti dan mau menerima keadaan meski saat jenazah itu ada, ia selalu mendekap seraya mengeluarkan tangis yang begitu dalam.
“Tidur, ya, Bunda. Ahla mau di sini, nemenin Bunda aja. Tadi Kak Kanth bilang kalau Ahla harus jagain Bunda. Soalnya Kak Ethan nangis terus, jadi Kak Kanth nggak bisa memenin Bunda.”
Zahara kembali memeluknya. Pelukan yang sama dari jiwa yang berbeda, sangat dapat ia rasakan. Zahira bingung, bagaimana ia harus melanjutkan kehidupannya jika lelaki yang selama ini selalu menemani, kini pergi meninggalkan sejuta mimpi. Padahal, masih banyak angan yang belum tercapai. Bahkan masih ada ribuan kata yang ingin ia ucapkan di setiap pagi.
Malam rasanya terasa sangat panjang. Hingga pagi datang, Zahira tetap saja tidak bisa memejamkan mata. Ia berusaha terlelap di hadapan putrinya. Namun bagaimana mungkin dirinya bisa tidur dengan tenang, jika malam itu ialah malam pertama atas kepergian lelaki yang telah lama menjadi pendamping hidupnya. Meski jiwa tetaplah terbangun, pikiran Zahira tidak pernah berpaling dari kejadian pahit yang baru saja menimpa dirinya.
“Mas, andai semesta memberi waktu untuk kamu berada di sisiku lebih lama, aku sangat menginginkan waktu di mana kita hanya berdua saja. Belum lama kamu pergi, aku menjerit, takut jika nanti tidak bisa melanjutkan kehidupan ini. Namun, Kanth, Ethan, Zahira, dan keempat bayi kita masih membutuhkanku. Aku harus hidup demi mereka, meski tidak dapat kumungkiri bahwa jiwaku ikut mati bersamaan dengan kepergianmu.”
Perlahan Zahira memejamkan kedua bola matanya, ia terus mencoba berdamai dengan rasa sakit yang berkecamuk dalam hati. Namun, kehilangan sosok yang dicinta tidak dapat begitu saja ia lupa. Ditambah hati kecilnya yang terus berbicara, bahwa lelaki itu masih dan akan selalu menjadi miliknya. Zahira terus beranggapan bahwa tidak apa jika semesta merebut paksa sosok yang ia cinta. Sebab Zahira masih memiliki harta berharga yang akan menjadi pelita di kala redup hatinya.
Bersambung ….
Zalfa Jaudah Jahro, lahir di Karawang pada hari Jumat, 03 Oktober 2003. Zalfa sangat menyukai awan, mendung, dan dia. Jika ingin mengetahui tentangnya, bisa melalui email : zalfajaudah03@gmail.com atau Facebook : @Zalfa Jaudah J.
Editor : Tri Wahyu Utami
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata