Air Mata Terakhir Kevin

Air Mata Terakhir Kevin

Air Mata Terakhir Kevin
Oleh: Tirza Inzaaliza

 

“Diam kamu!”

Kevin kecil saat itu bingung, mengapa sosok yang ia panggil Ayah, menarik kasar kedua lengannya. Wajahnya yang basah oleh air mata, dipaksa menatap wajah menakutkan milik sang Ayah. Sepasang bola mata yang memerah, membuat Kevin semakin menunduk dan menangis kencang.

Lalu, sosok malaikat bernama Ibu datang tergopoh. Mengempaskan tangan Ayah dari lengannya. Bilur pucat berbentuk jemari segera berubah warna menjadi merah keunguan. Kevin merasa lengannya sakit sekali, membuatnya tidak bisa berhenti menangis.

“Terus aja belain anak itu! Jadi laki, kok, doyan nangis. Dasar banci!”
Kevin tidak paham sepenuhnya perkataan Ayah, tetapi ia bisa melihat Ibu menutup mulut dengan telapak tangannya.

“Sini, Nak. Jangan menangis lagi, ya? Mana yang sakit?”

Sambil sesenggukan, Kevin menunjukkan kedua lengannya yang sakit. Ketika setetes air mata jatuh di pipi ibunya, Kevin semakin kencang menangis. Kevin takut. Mengapa Ibu menangis?

***

“Apakah lelaki tidak boleh menangis, Bu?” Usia Kevin empat tahun ketika ia melontarkan pertanyaan itu.

“Tentu boleh. Lelaki juga manusia, Nak. Bisa menangis ketika sedih atau juga sakit.” Ibu mengusap wajah Kevin yang lembap karena ia baru saja menangis lagi.
Menangis karena apa, ia tidak ingat sepenuhnya. Yang ia ingat hanya wajah marah dan bentakan Ayah, juga sebuah kosakata yang sering ia dengar jika menangis. Banci.

“Dengar, Kevin. Jangan dengar apa kata Ayah. Kevin tidak seperti itu. Kevin anak lelaki Ibu yang kuat juga perkasa.” Ibu memangku tubuh Kevin yang gempal sambil menciumi pucuk kepalanya. Kevin sangat menyayangi Ibu.

Malam itu Kevin tertawa-tawa gembira bermain bersama Ibu. Ibu pandai bermain lempar tangkap bola. Beliau juga jago bermain lego. Biasanya, setelah selesai menyusun lego, Ibu akan menceritakan sebuah cerita super hero. Malam itu, Ia bercerita tentang Spiderman yang membawa terbang nenek tua yang ingin menyeberang dengan jaring laba-labanya.

“Kenapa neneknya dibawa terbang?” tanya Kevin penasaran. Ibu terkekeh sambil mengacak rambutnya yang tebal.

“Karena orang-orang yang naik kendaraan, enggak ada yang mau mengalah.”
Kevin membulatkan bibir kecilnya.

“Seperti Ayah yang asyik main PS dan enggak mau mengalah, padahal Kevin pingin nonton TV?”
Mendengar pertanyaan Kevin, wajah Ibu terlihat sedih lagi.

Kevin memeluk leher ibunya, lalu berbisik. “Kevin mau jadi Spiderman yang bantuin Ibu kalau Ayah jahat sama Ibu.”

***

Sayup-sayup Kevin terbangun mendengar suara keras Ayah. Dengan kaki kecilnya, ia berjalan menuju kamar ayah dan ibunya. Kamarnya memang sudah dipisah. Kata Ibu, enggak ada Spiderman yang tidur ditemani orang tuanya.

“Jangan terlalu keras dengan Kevin, Yah. Dia masih kecil.” Itu suara Ibu.

“Bagus! Belain aja itu anakmu, biar jadi banci sekalian!” Suara Ayah terdengar semakin nyaring.

“Ayah, jaga ucapanmu! Ucapan orang tua itu doa!” jerit Ibu.

“Berani kamu ngebantah aku!”

Kevin mendengar ibunya menjerit. Didorongnya pintu kamar, lalu masuk memeluk ibunya sambil menangis ketakutan.

“Lihat, tuh, didikan kamu! Dasar banci. Cengeng!”

“Stop!” jerit Ibu.

Kevin melihat dengan matanya bagaimana Ayah tiba-tiba memukul pipi Ibu. Ada cairan merah yang meleleh di sudut bibirnya. Kevin berdiri, lalu memukul-mukul kaki ayahnya sambil menangis. Bukannya berhenti, Ayah mulai menendang dengan kasar hingga Kevin terlempar. Ibu memeluk Kevin yang gemetar, tubuhnya berguncang menerima tendangan dari Ayah.

“Apakah Ayah dan Ibu bertengkar karena aku sering menangis?”
Pertanyaan itu tiba-tiba terlintas di kepala Kevin. Kevin meronta. Meminta Ibu melepaskan pelukannya.

“Ayah, lihat!” Kevin berdiri. Melindungi Ibu yang masih terduduk di belakangnya. Senyum terkembang.

“Kenapa malah senyum, hah?” Ayah mendorong tubuh Kevin. Sekuat tenaga, Kevin menahan air mata yang hampir tumpah. Kembali ia memamerkan senyum manisnya.

“Dasar gila!” Sebuah kosakata asing kembali didengar Kevin. Gila. Ajaibnya, Ayah langsung pergi. Berhenti bersuara keras dan tidak memukul atau menendang Ibu. Sejak itu Kevin berjanji, mulai besok akan selalu tersenyum untuk melindungi Ibu.

***

“Di, anakku umur delapan tahun sekarang. Normal enggak, sih, umur segitu nggak pernah nangis lagi?” Sandra, Ibu Kevin terdengar berbicara di telepon.

“Hemmm, agak aneh, sih, San.” Suara di seberang sambungan telepon adalah milik Didi. Teman lama Sandra yang secara kebetulan bertemu, ketika Sandra berbelanja kebutuhan bulanan di minimarket dekat rumah.

Kebetulan kedua, Didi seorang psikiater yang bertugas di rumah sakit elite di kotanya. Segera dia minta nomor telepon lelaki itu.

“San, anakmu pernah jatuh terus luka agak parah, nggak? Reaksi dia gimana?” Suara Didi mengagetkan Sandra yang sempat melamun sebentar.

“Dia tersenyum, Di. Aneh, nggak? Ketemuan dong, Di. Aku pingin konsultasi soal anakku.” Sandra mendadak cemas. Rasanya, memang beberapa tahun belakangan, ia merasa ada yang tak beres dengan Kevin.

Terdengar jawaban menyanggupi dari Didi. Mereka mengatur janji bertemu di hari Didi senggang. Pelan-pelan Sandra mulai membacakan alamat rumahnya.

***

Pada hari yang telah disepakati, Didi menepati janji bertamu ke rumah Sandra. Di tangannya, ia membawa paper bag bergambar kartun bertuliskan nama sebuah toko mainan anak. Langkahnya tiba-tiba terhenti. Matanya sedikit membelalak melihat pita bergaris kuning dan hitam terpasang di sekeliling rumah.

“Permisi, Pak. Kenapa rumah ini dipasangi garis polisi?” Didi bertanya pada pria paruh baya yang kebetulan lewat.

“Oh, itu. Kemarin ada kejadian pembunuhan. Istri si pemilik rumah membunuh suaminya dengan cara menusukkan pisau ke jantung suaminya. Sadis. Kasihan anaknya yang masih kecil. Sekarang dititipin di panti sosial.”

Didi tercenung. Sandra membunuh suaminya? Bayangan sosok Sandra yang anggun dan lemah lembut memenuhi kepalanya. Tergesa ia melarikan mobilnya menuju kantor polisi tempat Sandra ditahan.

Di sana, dalam balutan seragam berwarna oranye, Sandra melangkah dengan kepala tertunduk.

“Kenapa sampai senekat ini, San?” Pertanyaan Didi membuat Sandra semakin dalam menunduk. Jemarinya saling meremas di atas pangkuannya.

“San, jujur padaku. Benar kamu yang membunuh suamimu? Atau jangan-jangan, Kevin?” lirih suara Didi. Entah kenapa pikiran liar itu terus menghantui kepalanya. Sandra sontak mengangkat wajah dan menatap tajam Didi.

“Benar Kevin?” cecar Didi.

Didi bisa melihat jemari Sandra yang bergetar tiba-tiba meraup tangannya. Wajahnya terlihat tegang. Sandra menoleh ke sekitar. Setelah dirasa cukup aman, ia bersuara. “Jangan katakan ini pada siapa pun, Di. Kumohon. Biar aku yang menanggung hukuman ini.” Didi berdecak marah. Entah marah kepada siapa. Bisa jadi marah kepada dirinya sendiri, yang tak segera menyempatkan waktu mengunjungi Sandra.

“Kevin masih terlalu kecil. Lagi pula, ini salahku karena tak becus mencari lelaki.”

Pelan-pelan, mengalirlah cerita Sandra tentang kekerasan verbal juga fisik yang sering ia atau Kevin terima. Didi memijat pelipisnya yang berdenyut. “Dari mana anak sekecil itu, bisa melakukan adegan yang terbilang sadis?”

Sandra kembali menunduk. “Dari game yang biasa dimainkan oleh suamiku.”

Jemari Didi mengepal erat. Buku-buku jarinya sampai berwarna putih. Kekerasan yang diterima, ditambah rangsangan visual dari game yang sering dimainkan ayah Kevin, benar-benar kolaborasi sempurna yang bisa menghancurkan otak dan mental seorang anak.

“Di, please. Jangan biarkan Kevin terseret. Masa depannya masih sangat panjang. Kalau tidak merepotkan, bolehkah aku minta tolong kepadamu untuk mengunjungi Kevin di panti sosial? Tolong, Di. Aku ingin anakku tumbuh jadi anak normal.”

Didi mengangguk. Dia menggenggam jemari Sandra erat-erat. Mencoba mengalirkan semangat dan kekuatan agar Sandra kuat menjalani hari-hari ke depan.

Didi kembali melajukan kendaraan roda empatnya. Kali ini tujuannya ke sebuah panti sosial tempat Kevin tinggal untuk sementara.

Pada petugas jaga, Didi meminta izin agar bisa bertemu dengan Kevin. Tiba-tiba, seorang pegawai panti masuk lalu berbisik pada petugas jaga.

“Ikut saya, Mas.” Petugas panti menyerahkan kotak P3K kepada Didi. Meskipun bingung, Didi menurut saja membawakan kotak itu.

Ketiganya lalu melangkah menuju taman di belakang panti. Rupanya, ada kehebohan lantaran seorang anak dikeroyok oleh anak-anak lain. Didi meringis, melihat anak yang luka-luka di bagian wajah duduk dengan senyum manis terkembang. Kevin.

“Dasar gila.” Tanpa sengaja Didi mendengar celetukan beberapa anak yang lewat di sampingnya.

“Hei, jagoan!” sapa Didi pada Kevin.

Anak kecil itu mendongak lalu tersenyum. “Cuma Om dan Ibu yang manggil aku jagoan. Ayah dan yang lain menyebutku gila.”

Didi berjongkok. Meraba wajah anak kecil yang terluka itu dengan hati-hati. Pelan-pelan ia membubuhkan salep dan obat merah. Sesekali wajah kecil di depannya meringis menahan perih.

“Kok nggak nangis? Biasanya anak seumuran kamu, pasti nangis kalo dihajar sampai luka begini.”

Kevin menatap wajah asing di depannya. “Karena kalau aku nangis, ada orang yang akan tersakiti.”

Didi menelan ludah. Ia kehabisan kata-kata. Hanya tangannya yang terulur, menarik tubuh kecil di hadapannya ke dalam rengkuhannya.(*)

Bionarasi

Perempuan kelahiran September di tanah Kalimantan ini sudah menyukai membaca sejak kecil. Kemudian dari pembaca, ia mulai bergerak untuk menjadi seorang penulis sejak tahun 2020. Beberapa buku antologi sudah mencatat namanya sebagai kontributor. Bagi yang ingin mengenal lebih dekat dengan penulis, bisa mengunjungi akun media sosial FB Tirza Inzaaliza dan Ig dengan nama yang sama juga.

 

Editor: Erlyna

Sumber gambar: https://pin.it/4OgWHKz

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply