Air Mata Andini
Oleh: Niluh
“Andini, Tuhan tidak bisa menolongmu di pengadilan. Dia tidak akan datang lantas membelamu meski hanya Dia saksi satu-satunya atas kejadian malam itu. Jadi tinggalkan saja Alkitab dan doa-doamu. Semuanya sia-sia belaka. Hanya kamu yang bisa menolong dirimu sendiri.” Itulah sebait kata-kata yang diucapkan Bima kala datang menjengukku di sel.
Aku kembali merenungi kata-kata Bima. Apa betul Tuhan tidak sanggup menolongku? Apa Tuhan hanya sebuah ilusi yang tercipta dari imajinasiku? Aku mulai meragukan keberadaan-Nya karena sampai hari ini, Dia tidak datang melepaskan aku dari jerat hukum yang menanti: sebuah hukuman mati yang dijatuhi hakim dan jaksa biadab yang mulutnya sudah disumpal segepok uang oleh dia, si tukang membalikkan keadaan.
Tanggal 3 Maret 1983
Malam itu, aku dan Kakak baru saja menyelesaikan makan malam kami yang sedikit terlambat karena hari ini Kakak lembur–membuat laporan akhir tahun memang sungguh menyita waktunya seminggu ini. Aku sebagai adik mencoba memahaminya dengan belajar mandiri, tidak merengek manja.
Sudah empat tahun ini aku dan Kakak hidup berdua saja semenjak Ibu dan Ayah meninggal karena kecelakaan mobil.
Kakak seorang akuntan di sebuah perusahaan kontraktor yang cukup terpandang–dari berita yang aku dengar pemiliknya seorang pejabat.
“Dik, Kakak mungkin mulai besok akan lembur terus karena rapat-rapat yang harus Kakak lakukan. Jadi kamu sendiri dulu, ya, di rumah. Kalau nanti ada apa-apa kamu bisa telepon Kakak,” pesan Kakak saat kami sedang membersihkan meja makan.
Aku hanya diam dan mencoba mengerti tentang kesibukannya, meski hatiku sedikit tidak tenang, merasa ada sesuatu yang sedang Kakak sembunyikan.
Setelah selesai makan Kakak izin untuk ke kamar lebih dulu, katanya untuk menyelesaikan sedikit pekerjaannya yang tertunda.
***
24.00, telepon Kakak berbunyi.
“Iya, Pak … nanti akan saya coba. Baik … besok akan saya kerjakan.” Suara Kakak terdengar gelisah.
Aku yang sedang membaca sambil tiduran, mencuri dengar pembicaraan Kakak yang duduk di depanku sambil menatap layar komputer.
Siapa yang tengah malam begini menghubungi Kakak? Sebegitu pentingkah hingga tidak ada hari esok? tanyaku dalam hati.
Keesokan harinya seperti biasa aku sedang menikmati senja dari teras rumah: burung terbang pulang di langit oranye, anak-anak sedang asyik bermain bola di jalanan. Aku duduk termangu seorang diri, tapi sebuah perasaan tidak nyaman diam-diam muncul dalam hati.
Pertanda apakah ini? batinku.
Malam itu Kakak pulang lebih cepat dari biasanya dengan wajah lusuh dan kebingungan, membuatku menahan diri untuk bertanya lebih jauh. Aku pun pergi ke dapur, meninggalkan Kakak yang duduk sendirian di ruang tamu sambil meminum teh yang kubuat.
Tiba-tiba terdengar jeritan suara Kakak dari ruang tengah, aku yang dari tadi di dapur segera keluar. Aku melihat dia, lelaki keji dan biadab itu sedang menggagahi tubuh Kakak. Dengan kekuatannya dia mendekap mulutnya juga.
Dengan kedua tangan aku menutup mulut hingga lelaki itu tidak menyadari kehadiranku yang tepat di belakangnya. Tanpa banyak berpikir aku mengambil sebilah pisau yang berada di atas meja makan dan menusukkannya berkali-kali hingga dia jatuh di atas tubuh Kakak.
Setelah memastikan si biadab itu tidak bergerak, segera aku menggulingkan tubuhnya, dan berusaha membangunkan Kakak, namun tubuhnya telah kaku. Kembali aku berteriak memanggil namanya dengan mengguncang-guncangkan tubuhnya, namun semua percuma.
Hari berikutnya semua terjadi begitu saja: aku digelandang ke kantor polisi, masuk ke sel tahanan, hingga hakim memutuskanku bersalah dan memvonis hukuman mati tanpa mempertimbangkan pembelaan yang aku katakan. Tuhan pun tidak datang membelaku seperti kata Bima, meski ada pengacara namun apa daya ketika uang dapat membeli segalanya.
Aku dibawa ke penjara yang letaknya di sebuah pulau–tempat para pembunuh, teroris, dan penjahat-penjahat bengis yang menunggu hukuman mati.
Aku tidak percaya dengan perjalanan hidup ini, mencoba menyatukan semua puingan-puingan cerita dan merangkainya menjadi satu kisah, namun tetap saja terasa seperti sebuah dongeng.
Aku baru menyadari bahwa uang dapat menyelesaikan segalanya, kebenaran pun dapat diputarbalikkan jika uang sudah berkuasa dan aku yang miskin ini dipaksa menerima takdir yang dibuat manusia.
Mungkin manusia-manusia biadab itu tertawa gembira atas nasibku.
17 Juni 1990
Setelah tujuh tahun aku menjalani hukuman, seseorang yang tidak aku kenal mengunjungiku di penjara, seorang perempuan duduk di depanku, posisi kami dipisahkan sebuah kaca. Dia memberi tanda untuk aku mengangkat gagang telepon.
“Aku senang, kau membunuh suamiku. Dia lelaki keji dan hidung belang,” katanya secara tiba-tiba dan membuat aku sedikit kebingungan.
“Telah berapa kali dia memerkosa karyawannya kemudian membunuhnya diam-diam. Aku pun mendapat balasan dari perbuatannya, ya, sakit kelamin yang sempat aku derita karena kesukaannya menggagahi perempuan-perempuan jalang. Cuman sedikit nasib sial yang menimpa kakakmu. Dia orang yang ingin membuktikan hal itu, lantaran temannya diperkosa dan korupsi yang dilakukan suamiku. Kalau saja kakakmu menutup mulut dan rasa ingin tahunya, mungkin kejadian ini tidak terjadi,” kata perempuan itu dengan sinis.
Otakku mulai berpikir, jadi perempuan ini adalah istri Biadab itu.
“Kasihan kakakmu, inginnya menjebloskan lelaki tua itu ke polisi, justru kini adiknya yang dihukum mati,” ucapnya sambil mengatur posisi duduknya mendekat ke kaca.
“Semua telah aku rencanakan jika kakakmu membuat suamiku masuk penjara dengan tuduhan korupsi dan pemerkosaan, tentu semua harta kami akan disita sebagai barang bukti. Tapi malam itu suamiku mengikuti apa kataku. Dia memerkosa dan membunuh kakakmu. Dan kau yang datang di luar skenario kami, sungguh menyempurnakan semuanya. Meski nama suamiku jelek sedikit, tapi itu tidak apa-apa. Asal hartanya masih aman,” lanjutnya.
Tanganku memukul kaca yang menjadi pemisah kami, ingin rasanya aku mencekik lehernya hingga dia tidak bisa bersuara lagi.
“Bangsat!” jeritku dari seberang sambil menendang kursi dan membuang gagang telepon.
Perempuan itu lantas berdiri dan dengan angkuh berjalan keluar dari ruangan.
“Bangsat!” teriakku lantang.
Sebegini kejamkah dunia? Membuat manusia seperti aku sebagai tumbal dari kekejaman mereka? Sial!
Semenjak mendengar kata-kata Bima yang begitu menyudutkan, tidak pernah aku putus harapan untuk berharap sebuah keajaiban dalam hidup ini. Kali ini aku benar-benar mempertanyakan-Mu, Tuhan.
Harusnya Kau yang membuat skenario manusia dalam hidup ini, namun kenapa manusia itu malah bisa menjadi dalang atas hidup seseorang?
Seorang sipir penjara berusaha menenangkanku dan membawaku ke sel kembali.
Itu adalah pertama dan terakhir kalinya perempuan itu datang. Kini mungkin dia sedang berpesta pora dengan kemenangan dan kebebasan dari suami bejatnya, berbeda dengan nasibku yang menunggu giliran untuk dieksekusi.
“Sudah, jangan menangis, orang-orang seperti kita hanya bisa menerima nasib saja,” kata Mutia, sipir penjara yang cukup dekat denganku, berusaha memberikan dukungannya ketika hatiku penuh perasaan sepi dan tidak paham atas skenario yang sedang Tuhan berikan kepadaku.
30 Juli 1999, seminggu sebelum eksekusi
Meski aku mempertanyakan keberadaan-Nya, tetapi aku tidak perah meninggalkan rintihan dan aduanku pada malam hari. Aku percaya sebuah hukum karma.
Sore itu saat Mutia mendapat tugas jaga, dia datang ke sel sambil membawa koran dan amplop berwarna cokelat.
“Ini, bacalah,” pintanya.
Yang pertama aku ambil adalah amplop berwana cokelat yang isinya membuat jiwaku remuk–eksekusi seminggu lagi. Tanganku gemetar membacanya berulang-ulang.
Kemudian aku membuka koran yang dibawa Mutia, apa yang terpampang pada halaman pertama headline berita itu membuat aku tertawa girang dan melupakan kematian yang tinggal seminggu lagi.
“Istri Seorang Mantan Pejabat Ditemukan Mati Mengenaskan”
Mutia dan aku saling berpandangan dan tersenyum. (*)
Niluh, perempuan Bali yang menyukai anak-anak dan pencinta kopi tanpa gula.
Editor: Fitri Fatimah