Ah Sudahlah
Hari ini pelajaran sejarah, Ibu Guru bercerita tentang pahlawan. Katanya, pahlawan adalah orang yang telah berjasa, berkorban tanpa pamrih untuk bangsa, dan mereka melakukannya tanpa pernah menghitung dan tak pula mengharapkan dihitung—tak peduli apakah namanya akan digoreskan dengan tinta sejarah atau pun tidak.
***
Aku masih mendengar penjelasan guru sejarahku, tetapi lama-lama pandanganku seakan mengabur dan suaranya hanya terdengar sayup-sayup. Hanya kata “pahlawan” saja yang terlanjur menyusup ke alam bawah sadarku.
Pahlawan? Sebenarnya siapa yang dapat disebut sebagai “pahlawan”? Mereka yang telah memperjuangkan negara ini hingga merdeka? Tentu saja. Itu sudah pasti, tak perlu diperdebatkan. Tapi setelah merdeka? Masih adakah yang dapat disebut pahlawan?
Kuketuk-ketukkan kuku telunjukku di atas meja. Aku melanjutkan lamunan—sambil setengah mendengarkan penjelasan guru sejarah—dan melemparkan pandanganku ke luar jendela. Tampak seorang gadis belia pemungut sampah dan ayahnya yang sedang menuangkan satu per satu tong-tong kecil berisi sampah ke dalam gerobak. Gadis itu lebih muda dariku, pipinya merah stroberi oleh sengatan matahari. Sesekali ia mengelap peluh yang mengalir deras di kening dengan tangan kotornya. Aku mengernyit ketika melihat gadis belia itu tak ragu duduk di pembatas gerobak sampah, tak peduli dengan banyaknya lalat yang beterbangan di sana. Mereka lalu beranjak dari sana dan aku masih memperhatikan sampai mereka menghilang dari pandangan.
“Rani!” suara seorang wanita mengejutkanku, refleks aku mengalihkan pandanganku ke arahnya.
“Lihat apa kamu di luar?” tanyanya.
“E—eh. Maaf, Bu. Itu a—ada tukang sampah,” jawabku.
Murid-murid yang lain sontak menertawakanku. Ibu guru menatapku dengan aneh. Entahlah, apakah salah kalau aku berkata jujur? Lucu menurut mereka? Aku merasakan hangat di wajahku, dan kalau sudah begini, pipiku pasti memerah stroberi seperti gadis belia tadi—tetapi ini sudah pasti bukan karena sengatan matahari.
Saat jam dinding tepat menunjuk pukul empat belas, bel panjang berbunyi, menandakan selesainya pembelajaran hari ini. Teriakan “Pulaang” pun seketika meramaikan ruang kelas. Segera kugantungkan tali tas ke punggung dan bergegas ke parkiran motor. Saat itu langit nampak mendung. Oleh karena itu, kulajukan motorku dengan cepat supaya bisa menghindari hujan yang bisa datang kapan saja, tetapi upayaku kalah cepat dengan hujan. Aku memutuskan mencari tempat berteduh demi menghindari mandi-hujan siang itu.
Belum lama berteduh, tiba-tiba kulihat seorang gadis pemungut sampah—yang sempat sedikit mengusik perhatianku di dalam kelas tadi—mendekat. Ia bermaksud berteduh di sebelahku bersama ayahnya. Ia tersenyum padaku, tetapi aku tidak menggubrisnya. Meskipun begitu ia tak nampak tersinggung. Pandangan gadis itu kini tertuju ke arah sebungkus plastik hitam yang menggelinding di tepi jalan setelah dilemparkan seseorang dari dalam avanza hitam. Seketika ia berkata kepada ayahnya.
“Bapak, itu ada sampah.”
Dengan sigap ayah gadis itu langsung memungutnya tanpa memedulikan derasnya hujan saat itu. Kedua bola mataku tak mau berhenti melirik ke arah gadis tadi dan ayahnya. Salah satu tanganku mengambil masker dari dalam tas dan menutup wajahku sambil menghela napas yang berat dan cepat. Entah hujan yang tak kunjung reda ini atau apa yang membuatku kesal.
“Maaf ya, Kak. Bau ya?” tanya gadis itu padaku.
Aku ingin menjawab pertanyaannya itu, tetapi yang terjadi adalah aku diam saja.
Saat hujan mereda, aku bergegas meninggalkan tempat itu tanpa pamit dengan gadis pemungut sampah dan ayahnya yang sepertinya masih ingin menunggu hujan benar-benar berhenti.
Hujan masih rintik-rintik setibaku di rumah. Kuempaskan pantatku di sofa sambil menyantap indomie kuah yang masih hangat. Ibu menghampiriku.
“Hujannya tadi deras sekali ya, Nduk?” tanya Ibu sambil menyerobot indomieku.
Aku diam.
“Untungnya di sini nggak banjir seperti yang di tivi-tivi itu ya, Nduk?” lanjut Ibu.
“Iya, Bu,” jawabku pendek.
Aku mengambil sendok baru, lalu makan bersama-sama dengan Ibu, ditemani butir-butir air yang masih menitik di atap.
***
Semburat sinar menembus kaca jendela kamar dan menyambar wajahku, memaksaku terbangun. Tubuhku masih menggeliat malas di tempat tidur, sementara matahari makin meninggi. Ini hari Minggu. Ketika melihat jam menunjukkan pukul sembilan pagi, aku merasa sedikit menyesal telah tertidur setelah salat subuh tadi. Kutemui Ibu yang sedang sibuk menyiapkan sarapan.
“Ayo sarapan!” seru Ibu.
“Terus nanti temani Ibu ke pasar ya?” ujarnya tanpa menoleh ke arahku.
Aku tak menjawab. Kuambil piring dan segera mengikuti perintah Ibu.
Seusai berbelanja, dengan sabar kutunggu penjaga parkiran mengeluarkan motorku yang terhimpit motor lainnya. Saat itu pandanganku sedang tertuju pada sesosok pemuda yang sedang memungut sampah sayuran. Pikiranku segera teringat pada gadis kecil yang kutemui Senin kemarin, seminggu yang lalu. Entahlah … mengapa gadis belia dan ayahnya itu sering bolak-balik di kepalaku akhir-akhir ini. Pemuda itu menghidupkan motornya yang bergandengan dengan gerobak sampah dan berlalu dari pandanganku. Aku melajukan motor pelan-pelan—sedikit berhati-hati ketika membonceng Ibu—sebab jalanan pagi itu sedang ramai dengan segerombolan siswa yang berbaris di pinggir jalan dan mengibarkan bendera merah-putih. Kabarnya ada pejabat yang hendak melintas.
“Untuk apa mengibarkan bendera segala sih, Bu? Kan mereka hanya sekadar lewat?” tanyaku pada Ibu.
“Ya, untuk menghormati,” jawab Ibu sembari tersenyum tipis.
***
Senin pagi.
Lima menit lagi upacara dimulai, aku baru saja tiba. Kucepatkan langkah menuju lapangan upacara dan di sana tampak teman sekelasku sudah berbaris dengan rapi. Aku bergegas sambil merapikan pakaianku yang sedikit berantakan.
Seperti biasa, pelajaran terakhir hari ini adalah sejarah. Aku teringat lagi dengan gadis belia dan ayahnya yang bekerja sebagai tukang sampah. Kusandarkan punggungku di penyangga kursi kayu, kemudian aku mendengar namaku dipanggil—yang artinya aku harus maju ke depan kelas tanpa tahu sebabnya.
“Pahlawan siapa yang kau kenal? Coba ceritakan tentangnya!?” perintah guru sejarah dengan nada yang agak ditinggikan.
“Hah, apa, Bu?” tanyaku balik.
“Kan Ibu sudah menugaskan pada kalian untuk mencari nama-nama pahlawan yang kalian kenal dan menceritakan tentang perjuangan mereka. Iya ‘kan?”
Aku mengikuti teman-temanku yang menganggukkan kepala, sekalipun masih bingung. Aku berusaha menjawab pertanyaan yang dilontarkan guru dengan harapan, tak dimarahi karena melupakan tugas minggu lalu.
“Tukang sampah,” jawabku mantap.
“Hah?” sambil melototkan matanya, Ibu guru berkata,” Rani, jangan main-main, sekarang Ibu sedang serius.” Mata Ibu Guru menatapku jengkel, dan teman-temanku melihatku dengan aneh.
Aku terus melanjutkan jawabanku.
“Menurutku, tukang sampah juga seorang pahlawan, yang sangat berjasa dalam kehidupan kita. Coba bayangkan jika tidak ada tukang sampah. Apakah kita akan merasa nyaman dengan sampah-sampah yang bertebaran di mana-mana. Apalagi jika mengingat kebiasaan kita yang senang membuang sampah sembarangan? Mereka bekerja setiap hari tanpa memedulikan kesehatannya sendiri. Mereka bekerja tanpa mengharapkan ‘satya lencana’ dan puja-puji. Tujuan mereka cuma satu, supaya kota kita menjadi bersih. Se—“
“Rani,” sela Bu Guru memotong penjelasanku. “Memang itulah tugas mereka. Semua orang punya tugasnya masing-masing, seperti Ibu—”
“Sementara presiden, para pejabat, dan yang lainnya hanya berjuang untuk pamrih gaji yang besar. Sedikit-sedikit demo demi kenaikan gaji, penghargaan, dan sebagainya. Pernahkan kita dengar para tukang sampah demo menuntut gaji dan penghargaan?” protesku. Kupotong penegasan Bu Guru yang nampaknya tak setuju denganku.
“Maafkan saya, Bu. Bukankah Ibu sudah menjelaskan kepada kami tentang ‘pengertian pahlawan’. Bahwa ‘Pahlawan adalah orang yang melakukan sesuatu tanpa pamrih. Tak pernah berpikir apakah perjuangannya akan dikenang dan dicatat di buku sejarah atau tidak. Tak meminta dipublikasikan kebaikannya. Dan yang terpenting, mereka melakukan hal yang bermanfaat untuk orang banyak’,” lanjutku.
Bel panjang berbunyi. Ibu Guru segera mengakhiri kelas hari ini. Aku pun bergegas merapikan semua perlengkapan sekolahku dan bersiap-siap pulang sambil menenteng pikiran dan perasaan yang tadi. Terbayang olehku puluhan tatap-mata dari teman dan guru sejarahku….
Ah, sudahlah.(*)
Aisyah Dias Purbaningrum, lahir di Lubuklinggau, 11 Desember 1999. Hobinya adalah membaca novel, komik (terutama komik Hai, Miiko dan Detektif Conan) dan nonton. Ia bercita-cita menjadi arsitek. Email diasaisyah@gmail.com, Instagram di asyhdias.
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita