Agus Tidak Salah

Agus Tidak Salah

Agus Tidak Salah
Oleh : Ning Kurniati

“Kata nenekku kalau langit barat berwarna kuning kemerahan itu artinya sedang terjadi perang dan pembunuhan.”

“Ah, masa iya? Nenekmu itu salah! Kata nenekku kalau langit barat berwarna kuning kemerahan itu artinya setan sedang berkumpul.”

“Eh, itu lebih tidak masuk akal. Untuk apa memangnya setan-setan itu berkumpul.”

“Ya, untuk menggoda manusia. Memangnya apa lagi kerja setan selain itu?”

“Nah, begini saja … setan itu berkumpul dan memengaruhi para manusia untuk berperang sehingga terjadi pembunuhan. Bagaimana?”

“Kalau begitu aku setuju.”

“Bagus. Jadi, ayo kita pulang lebih awal hari ini. Jangan sampai kita digoda juga sama setan. Lalu kita bertengkar, lalu kita berkelahi, lalu aku membunuhmu atau kau yang membunuhku.”

“Dan mereka akan terkikik melihat kita.”

“Dan mereka akan senang karena hal itu.”

“Dan itu artinya mereka sudah menang dari kita.”

Lela dan Agus bergegas kembali ke rumah masing-masing setelah bermain bersama dengan anak lainnya di lapangan samping kantor desa. Lapangan yang setiap harinya didatangi tanpa pernah absen kecuali ketika hujan turun, itu pun bila orangtua masing-masing menjaga ketat pintu rumah. Agaknya itu semua sudah menjadi kenakalan anak-anak di masa kecil, hal yang selalu dianggap menyenangkan dan bukan sebuah kesalahan, tetapi para orangtua tidak pernah berpikir seperti itu.

Orangtua Lela seorang penjual sayur di pasar sedangkan orangtua Agus tidak ada. Bukannya tidak ada, hanya saja Agus tidak pernah melihat mereka. Jadi, kalau ada yang bertanya, siapa orangtuamu? Atau di mana mereka? Biasanya Agus hanya akan mematung lalu manatap si penanya dengan sorot tanya yang sama. Kemudian mereka hanya akan saling berpandangan untuk beberapa saat hingga si penanya menggangguk. Entah sudah mengerti, atau justru melihat Agus sebagai anak yang aneh.

“Kenapa nenekmu tidak pernah memperlihatkan foto-foto orangtuamu? Nenekmu pasti punya.”

“Karena kalau yang lalu-lalu itu sudah harus dilupakan. Tidak perlu lagi diingat-ingat.”

“Jadi, kamu akan melupakan orangtuamu?”

“….”

“Jadi, kamu juga akan melupakanku?”

“Tidak! Aku tidak pernah bilang begitu.”

“Kamu tadi diam. Diam itu berarti iya.”

“Tapi, aku ….”

Saat itu mereka sedang menonton bersama sebuah tayangan film kartun dan Lela serta-merta bangkit, berlari ke luar rumah meninggalkan Agus yang terdiam melongo. Dia marah juga menangis, membayangkan dirinya akan dilupakan. Agus jahat, pikirnya. Baju selutut yang digunakannya berkibas-kibas tertiup angin ketika berlarian pulang, tidak peduli matahari sedang terik-teriknya atau tetangga yang mencoba menghentikan, bertanya ada apa?

Ibunya yang sedang bersantai dengan sang Ayah di teras rumah lantas heran melihat Lela pulang dengan semrawut. Kali ini apa lagi masalahnya? Dengan siapa lagi dia bertengkar? Anak-anak kecil ada-ada saja tingkahnya setiap hari.

Seperti biasa sang Ayah angkat tangan dalam hal membujuk—menenangkan sang putri. Dia selalu tidak mengerti bagaimana menenangkan seorang perempuan yang sedang menangis, tidak ibunya, tidak istrinya, tidak anaknya. Semuanya memilukan terlebih ketika sedu itu semakin menjadi-jadi dan berentetan, seperti membuat hatinya menganga karena ikut terluka.

Di tempat lain Agus tidak mengerti, bagian mana ia membuat kesalahan. Ini gawat! Dia tidak akan ditemani bicara selama berhari-hari. Dan harus pakai cara apa kali ini untuk membuatnya bicara. Dirinya yang terbiasa bermain dengan perempuan pemilik rambut sepinggang itu akan merasa ada yang lain—berbeda. Seperti cemburu, tetapi anak kecil tidak mengenal kata itu, melainkan iri. Jadi, dia akan iri melihat Lela berlarian bersama yang lain. Mungkin Yusuf, Akil, Wali, atau ….

Lela mungkin akan memalingkan muka ketika melihatnya, menganggapnya tidak ada, kemudian lebih memilih anak yang lain, yang punya ayah juga ibu, tidak seperti dirinya. Tetapi, dari semua itu yang paling ditakutkan adalah ketika semua anak menjauhinya. Bisa jadi, Lela akan bercerita ke sana-kemari kalau seorang Agus akan melupakan teman-temannya di masa yang akan datang, karena yang lalu-lalu itu sudah harus dilupakan. Bersamaan dengan itu sekelebat kebencian menghampiri hatinya, pikirannya.

Agus membenci ayah. Agus membenci ibu. Agus tak punya orangtua.

Lela sudah merasa membaik dibandingkan siang tadi. Untuk pertama kalinya dia tidak ke lapangan hari ini meski matahari bersinar terang, dan langit barat belum berwarna kuning kemerahan atau hari ini memang tidak. Waktu yang pas untuk bermain bola, main layangan, atau boy-boyan. Mulutnya manyun. Di sisi lain dia merasa malu untuk bertemu karena mengingat siang tadi menangis di hadapan Agus.

Anak umur sepuluh tahun itu mondar-mandir di dalam rumah, menonton film kartun, tetapi tak sedikit pun dia merasa tertarik atau mau berlama-lama dengan satu aktivitas lainnya. Dia megintip dari jendela rumahnya, memperhatikan apa ada anak-anak yang kebetulan lewat. Lela berniat mengajaknya bermain, siapa pun itu. Namun, ketika kain gorden disibak, anak yang tampak bukanlah teman-temannya yang lain melainkan Agus.

Temannya itu memandang lurus ke rumahnya, tetapi seperti tidak memiliki keberanian untuk mengetuk pintu. Dan itu membuat mulut Lela semakin manyun. Apa? Apa dia mau mempertegas kalau dia akan melupakan aku, semua teman-teman di sini? Lantas dia menutup kembali gorden yang disibaknya kemudian berbalik, tidak acuh.

Agus bingung harus bertindak apa. Dia sudah berpikir untuk minta maaf, meski sebenarnya tidak paham akan kesalahannya dan tidak tahu juga caranya. Bagaimana kalau Lela tidak memaafkan? Dia akan malu bila seperti itu. Jadi, dia memutuskan untuk kembali. Lain kali saja.

Lela termenung, mencoba mengingat-ingat kejadian siang itu. Dia berpikir tentang orangtua Agus, seperti apa rupanya: tinggi atau pendek; gemuk atau kurus; kulitnya kecokelatan atau kuning langsat, atau putih layaknya kulit orang-orang desa. Dia mencoba membayangkan, tetapi tidak bisa. Selalu ada pilihan yang makin membuatnya bingung. Dan, bagaimana Agus bisa melupakan sedang dia tidak pernah melihat mereka, apa lagi mengingat. Apa yang mau diingat?

Agus hanya menurut pada neneknya. Kata orangtua anak kecil harus menurut, tidak boleh membantah. Orang dewasa lebih paham ketimbang mereka. Jadi, tidak salah bila dia menjawab seperti itu, karena memang begitu yang diajarkannya. Dan, dirinya tidak berhak menuduh sedang Agus tidak pernah terang-terangan berkata akan melupakan dirinya. Mungkin setan-setan sedang bekerja pada dirinya atau pada pertemanan mereka, pikir Lela.

Untuk sekali lagi, setan itu sudah menang. Setan itu pasti sedang terkikik dan sebentar lagi akan berpesta pora atas kemenangannya. Tidak, lela tidak akan membiarkan setan-setan itu menang atas dirinya.

Langit kembali melukis dirinya dengan warna kuning kemerahan ketika Lela berlari menyusul Agus yang sudah hilang dari depan rumahnya. Boleh saja setan menang di tempat lain, membuat manusia saling berperang, berdarah-darah dan pembunuhan terjadi tak terkira jumlahnya. Tua-muda, anak-anak, semua bergelimpangan bagai rumput mati yang berserakan. Tetapi, tidak untuk dirinya, Agus dan siapa pun itu yang berada di sekitarnya selama bisa dilerai atau dicegah. (*)

 

Bone, 1 September 2019

Ning Kurniati, perempuan dengan mimpi yang terus bertambah-tambah. Dapat dihubungi melalui link: bit.ly/AkunNing

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

 

Leave a Reply