Agasri Episode 8
Oleh: Novie Purwanti
Hari ini Mas Agas pulang cepat. Dia memaksaku untuk periksa kehamilan di rumah sakit. Padahal aku takut pergi ke sana. Melihat dokter memakai jas putih, mengalungkan stetoskop dan membawa suntikan membuatku stres duluan.
“Mas, aku periksa di bidan saja. Nggak mau ke rumah sakit.”
Aku pasrah memandang Mas Agas yang sudah berganti kemeja motif garis lurus. Ia menyemprotkan parfum mahal pada dadanya. Harum lembut menusuk hidung. Aku paling suka aroma ini. Perpaduan kejantanan dan perhatian.
“Ayo berangkat, Sri.” Dia memegang tanganku, menariknya perlahan.
Aku yang masih bermalas-malasan di atas ranjang mulai merajuk.
“Tapi aku masih pakai daster bolong. Nggak mau ganti.”
“Nggak apa-apa. Wajar ibu hamil jorok.”
“Tapi aku belum mandi besar,” ujarku ikut jurusnya Pey.
“Nggak mandi juga sudah cantik.”
“Aku takut ke dokter, Mas … nanti disuntik.”
“Dokter itu pekerjaannya bukan hanya nyuntik, Sri. Kamu ini aneh-aneh aja. Ayo, cepetan.”
Mas Agas mengecup punggung tanganku. Mana mungkin bisa menolak pesona, yang ada aku melingkarkan pelukan ke leher kokohnya. Siap mengeluarkan jurus terakhir yang biasanya manjur.
Aku memejamkan mata, merekahkan bibir mendamba.
Berhasil! Mas Agas mulai terpancing. Ia mendekat, bisa kurasakan napasnya menyapu hidung. Tekanan terasa menyenangkan pada bibirku. Saat aku ingin menyerang, kuncian rapat menghalangi.
Aku membuka mata. Ternyata mulutku dicubit Mas Agas. Huwa!!
“Jangan banyak alasan, kalau kamu nggak mau, akan kupanggilkan ambulans. Lima menit waktumu. Kutunggu di depan,” bisiknya dengan nada mengancam.
Mas Agas keluar dari kamar. Meninggalkan aku yang masih mematung.
Kali ini jurus ‘hiya-hiya’ gagal total.
Gontai aku melepas daster terjelek yang kupunya. Sengaja memakainya supaya nggak jadi periksa. Namun semua sia-sia belaka. Keinginan Mas Agas untuk mengunjungi dokter obgyn begitu mendera. Tak sanggup diri ini membujuknya. Terpaksa, kuikuti saja apa maunya, daripada ditalak tiga.
Hasem!
***
Aku berganti baju dalam tempo sekilat-kilatnya. Hanya membutuhkan waktu kurang dari lima menit. Tinggal ambil gamis dari lemari lalu ‘bluk!’ dipakai langsung bersama daster paling menyedihkan yang kupunya. Hijab juga tinggal ‘plung’ dimasukkan ke dalam kepala. Beres.
Tidak perlu pakai dempul, lipstik segala macam. Cukup olahraga otot muka sebentar di depan cermin supaya lemas dan kelihatan santai. Caranya monyongin bibir maksimal, lalu meringis sampai mentok. Alis naik turun berbarengan. Lakukan sepuluh kali saja, dijamin bisa membuat terlihat dua tahun lebih muda.
“Mas, aku sudah siap!” teriakku gedebukan keluar rumah.
“Ayo segera.”
Mas Agas membukakan pintu mobil. Aku masuk dengan susah payah. Dia sampai membantu mendorong pantat. Hamilku ini membuat tubuh menjadi malas. Malas periksa ke dokter. Huwaa ….
Sekilas aku melihat Ayu dan kedua mantan preman tengah menutup warung. Rupanya barang dagangan sudah habis. Padahal belum jam lima. Nanti sepulang periksa aku mau mengambil setoran hari ini.
Perjalanan terasa cepat, tumben jalan begitu lancar jaya. Ke mana orang-orang pulang kerja yang biasanya memadati? Perbaikan jalan juga tidak ada. Penggalian kabel optik … di mana kalian? Tolonglah recoki mobil Mas Agas supaya tidak jadi ke rumah sakit. Macet datanglaah!
Keinginanku tidak terkabul. Ketika sampai di RS, nomer antrian Mas Agas langsung dipanggil. Ternyata dia sudah mengambil nomornya sebelum pulang. Kami memasuki kamar periksa.
Seorang wanita subur berjas putih tersenyum ramah. Dia mempersilahkan kami duduk. Setelah berbasa-basi sebentar, bertanya hari pertama haid terakhir, dokter berhijab bunga-bunga hijau itu memutuskan USG transvaginal untuk melihat kehamilan.
Aku pasrah saja diulak-alik dokter dan seorang asistennya. Tak kupedulikan daster sobek-sobek yang terlihat ketika proses USG. Layar monitor di sisi kananku terlihat buram.
“Alhamdulillah, ini sudah terlihat kantung bayinya. Meskipun masih kecil, nanti akan saya beri resep vitamin supaya tumbuh sehat janinnya.”
Dokter membereskan alat-alatnya. Aku juga membetulkan gamis. Namun ketika hendak berdiri, Dokter Naila mencegah.
“Ini anak kedua, kan?”
“Iya, betul.”
“Kakaknya umur berapa sekarang?”
“16 tahun, Dok.”
Dokter Naila mengangkat sebelah alisnya.
“Lumayan jauh jaraknya. O iya, Bu, kalau jarak kelahiran kurang dari lima tahun tidak perlu suntik TT lagi. Tapi karena jaraknya sudah lebih dari 15 tahun maka Ibu dianjurkan suntik TT. Untuk mencegah infeksi tetanus.”
Demi mendengar kata suntik, lututku rasanya kemlotak.
“Su—suntik, Dok? Tapi saya takut.”
Dokter Naila tersenyum menenangkan. “Tidak apa-apa, Bu. Lebih sakit melahirkan. Silakan miring, ya.”
Aku menoleh ke Mas Agas yang sejak tadi duduk sambil memerhatikan kami. Pandanganku meminta pertolongan, tapi malah dibalas dengan pelototan. Mas Agas mengangguk mantap. Dua jempol diacungkan padaku.
Pasrah. Aku tidur miring menghadap dokter. Wanita itu berkedip-kedip heran di balik kaca-mata gagang ungunya.
“Jangan hadap saya, Bu. Hadap ke tembok.”
Mas Agas ngikik. Suaranya seperti kuda dapat rumput segar. Menyebalkan. Aku berbalik, miring menghadap tembok.
“Bu, tolong bajunya di singkap dulu. Saya akan menyuntik area pinggul bawah.”
Mulutku benar-benar terkunci sekarang. Mana aku tadi tidak pakai celana legging buat dalaman. Hanya daster yang sudah waktunya menjadi serbet kompor. Memalukan!
Dengan gerakan sepelan keong racun, aku mengangkat ujung gamis beserta daster ke atas. Asisten dokter tidak sabar menunggu. Tangannya cekatan membantu.
Aku memejamkan mata. Terjingkat saat cairan dingin alkohol yang dioleskan menyentuh kulit. Lalu datanglah rasa itu.
Cuss!
Sakit dan ngilu sampai merasuk ke dalam tulang. Cuma sekejap, tapi menusuk hingga relung hati terdalam.
Air mataku menetes. Aku menangis terisak-isak. Nggak ada tenaga untuk bergerak. Takut ngilu itu datang lagi.
“Sudah, Bu,” kata Dokter Naila sambil menepuk punggungku.
“Mas Agaas …,” aku memanggil suamiku dengan penuh kepiluan. Air mata ini nggak mau berhenti.
“Ada apa, Sri?” Mas Agas mendekat, dia membantu merapikan baju.
“Tolong aku ….”
Aku menoleh ke Mas Agas dengan air mata dan ingus yang menodai wajah. Lelakiku itu hanya mengernyit. Ia mengambil sapu tangan yang selalu terselip dalam sakunya. Perlahan, air mataku dihapus.
“Sudah selesai. Ayo, pulang sekarang. Kasihan pasien selanjutnya sudah menunggu.”
Aku mengangguk pelan. Mas Agas membantuku turun dari ranjang. Setelah menerima resep, kami keluar dan antri ke apotek. Kali ini, keberuntungan tak berpihak pada kami. Banyak sekali pasien rawat jalan yang menunggu. Hampir satu jam. Dan posisiku masih tetap sama. Berdiri di samping tempat duduk Mas Agas.
“Sri, duduk sini. Dari tadi kamu berdiri terus.”
“Nggak mau, Mas. Pantatku sakit kalau buat duduk di kursi besi keras gitu.”
“Kalau begitu biar kupangku saja.”
“Nggak mau juga, malu sama pasien.”
“Terus maumu apa, Sri? Kasihan bayinya nanti kecapekan kamu setrap berdiri gitu.”
“Jadi, Mas Agas nggak kasihan sama aku?” Mataku mulai berkaca-kaca.
“Bukan begitu, Sri. Kamu yang kasihan.”
“Sekarang aku sudah jadi gembel, Mas? Sampai harus dikasihani?”
“Lho!” Mas Agas garuk-garuk kepala. Kebingungan. “Kamu marah?”
Aku menggeleng. “Nggak!”
“Marah gitu? Ya deh, kami maunya apa, Sri?”
“Pokoknya, habis ini aku belikan lontong kikil Sepanjang! Dua porsi!”
“Jadi sebenarnya apa maksudmu?”
“Lapar ….”
Mas Agas mencubit hidungku gemes. Dia menarik lengan waktu orang di sampingnya berdiri untuk mengambil obat. Denyutan terasa di pinggul bawah saat menyentuh kursi keras itu.
“Aw! Sakiit.”
“Aduh, maaf.”
Aku menggosok bagian yang nyeri. Uff, ternyata suntik itu menyakitkan. Kata siapa seperti digigit semut? Yang benar, seperti dicapit kepiting.
***
Kami sampai rumah sekitar jam sembilan malam. Kulihat lampu loteng warung masih menyala. Berarti Ayu masih bangun. Sengaja aku tidak mengabari kalau akan ke sana.
“Mas, aku mau ke warung dulu. Ngasih lontong kikil ke Ayu.”
Mas Agas mengangguk pelan. Aku mencari kunci dan membuka pintu warung. Langsung menuju lantai dua. Kamar Ayu dibiarkan terbuka. Aku berjalan tanpa suara melongok ke dalam.
Wanita itu sedang duduk bersila di lantai. Telinganya tersumpal earphone putih. Dia tidak tahu ada manusia datang. Ayu memunggungiku. Tiba-tiba ia mengecup layar ponsel.
“Mmuuah!”
Penasaran, aku masuk sambil berjingkat. Gambar siapa yang dia rindukan? Apakah anaknya?
Mataku hampir copot ketika ponsel sudah terlepas dari bibirnya. Ayu memandangi layar benda pintar itu. Jemarinya mengelus foto.
Foto Mas Agas yang sedang tersenyum sambil menggandeng tanganku.
Mataku melotot, mulut terbuka, iler berceceran membasahi dagu, turun ke dada lalu bermuara ke got. Ish, menjijikkan sekali. Iya, Ayu sangat menjijikkan. Ingin kugaplok kepalanya yang masih manggut-manggut mengikuti irama lagu—biasanya dia suka dangdut koplo, tapi aku masih penasaran dengan apa yang akan dia lakukan selanjutnya.
Bibir bawahku terasa asin. Owalah, kenapa juga aku jadi kanibal, tak terasa menggigit bagian tubuh yang sangat disukai Mas Agas. Bisa bengkak ini, berbahaya. Semua gara-gara Ayu. Apa maksudnya menyimpan fotoku dan Mas Agas.
Mataku meletus sebelah ketika aku berjinjit di belakang Ayu, pingin melihat ekspresi wajah wanita kurang ajar itu. Terlihat! Dia senyum-senyum nggak jelas dan melakukan perbuatan nista.
Mulutnya monyong maksimal. Dia mendekatkan ponsel dan mengecup foto … ku.
Apa! Fotoku! Yang benar saja!
Karena gagal fokus dengan kecupan maut Ayu, keseimbanganku hilang. Aku terhuyung ke depan dan tubuh bohay maksimal ini jatuh menimpa kepala Ayu. Ponsel di tangannya terjatuh. Menghadap ke atas, memperlihatkan foto pasangan bahagia. Basah oleh cairan mulut Ayu.
Ayu segera membantuku berdiri. Dia mengambil hape dan menaruhnya di dalam saku. Wanita itu terkejut, aku bisa melihat tangannya gemetar saat berdiri menempel tembok. Wajahnya menunduk dalam-dalam. Persis seperti Sani yang terpergok melakukan kesalahan.
“Ayu, apa yang kamu lakukan dengan fotoku. Aku melihat semuanya.”
Aku memposisikan diri tepat di depannya. Tak lupa kedua tangan kuletakkan di atas pinggang. Keagungan menguar, menutupi Ayu dengan hawa dingin.
“Aku … aku ….”
“Kamu kenapa!”
“Aku … Anu ….”
“Anunya siapa?”
“Anunya Kang Bejo. Eh, eh bukan. Mbak Sri … maafkan aku.”
Ayu mewek nggak jelas. Mangapnya itu lho, lebar banget sampai amandelnya kelihatan. Air mata meleleh seperti aliran sungai.
Air matanya murni apa palsu, aku tidak bisa menilainya sekarang. Ayu masih sesenggukan sampai lima menit kemudian. Aku menunggunya tenang sambil duduk menyilangkan kaki.
“Sudah tenang, Yu?”
Ayu mengangguk. Pelan sekali.
“Duduk!”
Dia duduk di tepi ranjang. Kami berhadapan. Ayu meremas kedua tangannya hingga memerah.
“Jelaskan padaku apa maksud semua itu. Dari mana kamu dapat fotonya Mas Agas? Apa kamu sudah lupa janjimu sebelum kerja di sini? Kamu berjanji tidak akan mengganggu rumah tanggaku.”
“Aku tidak mengganggu rumah tangga kalian, Mbak. Mana pernah aku menggoda Mas Agas. Mas Agas juga tidak tertarik sama wanita sepertiku. Cintanya hanya untuk Mbak Sri.”
“Kalau bukan Mas Agas, apa kamu mau menggodaku?”
Iseng, sih melontarkan pertanyaan itu. Tapi demi melihat Ayu yang semakin pias, kecurigaanku semakin memuncak.
“Jawab aku, Ayu!”
“Sebenarnya, aku … aku … mengagumi Mbak Sri.”
Hidungku mengembang mendengar jawabannya. Untunglah bukan Mas Agas. Memang aku ini sosok yang mengagumkan.
Aku berdiri, menepuk bahunya.
“Kukira apaan, Yu. Wajar saja bila kamu suka melihat perjuanganku. Kita ini wanita hebat, lho, Yu. Meskipun sudah jadi istri orang kaya harus tetap mempunyai penghasilan sendiri. Biar tidak diremehkan. Apalagi kamu, Yu. Dengan statusmu itu, kamu harus lebih bersemangat.”
Ayu mengangguk-angguk hebat. Aku mengambilkan ponsel dan meletakkan dalam genggamannya.
“Tolong, hapus fotoku dan Mas Agas sekarang, ya. Nggak usah susah-susah mencuri gambarku, aku di sini sebagai mbakmu siap membantu segala kesusahanmu.”
Cepat-cepat dia membuka ponsel dan menghapus foto itu dalam galeri. Ayu menunjukkan padaku.
“Ya sudah, kalau begitu, kamu istirahat dulu.”
“Iya, Mbak Sri. Sekali lagi, maafkan aku.”
Aku hanya menjawab dengan senyuman. Tengkukku terasa merinding ketika membelakangi Ayu. Seakan ada bayangan hitam yang mengawasi. Hii, apakah di loteng ini ada jin penunggunya?
Ataukah Ayu sendirilah jelmaan jin itu? Ah, entahlah. Aku capek, mau tidur nyenyak malam ini. Awas saja kalau Mas Agas mengganggu.
Bersambung ….
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita