Agasri Episode 6
Oleh: Novie Purwanti
Tokoh utama film memang ajaib. Meskipun terluka berdarah-darah hingga nyawa hampir lepas dari badan, bisa tetap melakukan kegiatan sehari-hari dengan baik. Penyembuhannya super cepat, tinggal diolesi salep lalu cling-cling tak lama kemudian sudah sembuh total.
Sayangnya aku bukan tokoh utama film. Kenyataannya? Pipiku masih bengkak walaupun sudah berusaha mengempiskannya. Mulai dari dikompres air dingin, es batu, diolesi salep anti bengkak sampai disembur air doanya Mas Agas tetap saja masih ungu kebiruan. Yang paling menyiksa ketika waktu mengisi perut tiba, saat cacing di dalam sana minta jatah, aku nggak bisa mengunyah makanan. Rasanya sakit! Sakit! Dipaksa seperti apa pun tetap sakit! Pilihan terakhir dan satu-satunya hanyalah makan bubur organik bayi yang dibeli Mas Agas embuh di mana. Tingal hap! Didorong dengan air dan beres. Bubur masuk ke dalam lambung dengan lancar.
Hasilnya? Dalam waktu tiga hari, berat badanku susut sebanyak dua kilo. Yey, yeey! Padahal selama ini aku nggak pernah berhasil menurunkan berat badan. Mungkin ini yang disebut musibah membawa berkah, biar Mas Agas nggak menyindir lagi tentang berat badan.
***
“Sri, kamu kelihatan kurusan sekarang,” Mas Agas mulai berbicara berat badan. Aku sudah menyiapkan jawaban jitu menyakitkan. “Padahal lebih seksi kalau ada lemak di sini ….” Dia menyentuh perutku yang lumayan kempes.
Aku belum bisa menjawab karena masih mengulum bubur. Mas Agas memaksa menyuapi, padahal dia baru saja pulang kerja. Kok sempat-sempatnya memanaskan bubur dan memaksaku mangap.
“Tenang saja, Mas. Kalau lukaku sudah sembuh, aku akan menggelembungkan badan.”
“Sri, tadi Kodrat minta tolong padaku.”
Mendengar nama itu, membuat emosiku tersulut.
“Apa lagi?”
“Dia susah mendapat kerja karena mantan narapidana. Kodrat minta tolong menjadi juru parkir di warungmu, Sri. Kulihat lumayan ramai waktu beberapa kali pulang siang merawatmu.”
“Kalau pelanggan malah kabur gimana?”
“Percayalah, Sri, rejeki tak akan tertukar. Nggak rugi kok menolong orang. Percayalah.” Mas Agas menatap teduh.
Kalau dia sudah bicara seperti itu pasti dengan pertimbangan yang matang. Suamiku ini memang baik hati.
“Kalau Gimbal bagaimana?”
“Dia hampir mati kehabisan cairan. Mencret parah, Sri.”
“Masa?”
“Iya, karena diare nggak sembuh-sembuh, dia minum obat mencret langsung tiga pil sekaligus. Sekarang dia tak bisa eek. Hukumanmu kejam, Sri.”
“Hah!”
Aku mengerucutkan bibir. Mas Agas kembali menyuapkan bubur sampai habis.
Sebenarnya ketika sakit, aku menyuruh Ayu supaya libur dulu. Tapi dia tidak mau. Ayu sudah pintar menakar bumbu dan memotong bahan pelengkap seperti terong, tahu, tempe dan lalapan. Kalau ayam dan lele sudah bersih dari tempat pemesanan. Tinggal merebus dengan bumbu saja. Wanita malang itu benar-benar bekerja keras. Aku sangat penasaran, siapa orang yang tega berbuat kejam padanya.
“Kalau begitu nggak apa-apa, Mas. Biar Kodrat juga membantu Ayu. Tapi suruh dia ubah penampilan. Kalau Mas belikan seragam khusus pegawai saja, biar kelihatan waw.”
“Oke, Sri. Sekalian Gimbal juga biar bekerja di sana. Aku kasihan padanya. Jadi kamu tinggal jadi mandor saja, mengawasi.”
“Oke, Mas! Ayo, sini.”
Aku merebahkan tubuh tengkurap. Entah kenapa badanku terasa sakit semua, apalagi pinggangku. Seperti kena encok, berdenyut-denyut. Aku curiga keropos tulang.
“Pijitin, Mas,” manjaku sambil berkedip-kedip nggak jelas.
Mas Agas tersenyum, dia segera memijit pinggang. Aku terkikik geli, aduh! Nggak enak rasanya. Kakiku mancal-mancal kegelian sampai mengenai dadanya.
“Udah, udah! Kamu nggak bakat jadi tukang pijit. Enak pijitannya Ayu!”
Dengan ber-yes yes, Mas Agas keluar kamar mengembalikan piring kotor. Sepertinya dia senang sekali tidak jadi memijit. Jangan-jangan itu tadi sengaja nggak di enak-enakin. Ah, dasar.
***
Pagi ini aku terbangun dengan kepala berdenyut. Padahal setelah salat subuh tadi aku kembali tidur. Ah, aneh sekali tubuhku akhir-akhir ini. Lemas, gampang marah dan selera makan hilang entah kemana. Sebungkus nasi campur di atas meja yang dibelikan Mas Agas sebelum berangkat kerja tak membuatku berselera. Aku menyentuh pipi, sudah sembuh dan tidak terasa sakit. Rasanya pernah merasakan seperti ini dulu sekali, ketika hamil Sani.
Hamil?
Apa mungkin aku hamil?
Kupaksa mengingat hari terakhir haid. Ya Allah, sudah lewat lebih dari dua minggu. Kesibukan membuka warung dan terkena bogem mentah membuatku lupa datangnya rembulan merah.
Aku segera mengambil gawai dan mengirim pesan buat Mas Agas.
Mas, nanti sepulang kerja tolong mampir ke apotek, ya. Belikan alat tes kehamilan.
Hanya centang satu. Dia pasti sedang di jalan. Wua … kalau aku hamil pasti Mas Agas senang sekali. Dia akan menjadi seorang ayah yang hebat. Pasti!
Kembali aku memencet sebuah nama di hp.
“Hallo, Ayu. Cepat ke sini. Aku mau minta tolong.”
“Iya, Mbak.”
Aku mematikan ponsel, meletakkannya di bawah bantal. Senyumku mengembang, menyentuh perut, membayangkan ada kehidupan di dalam sana.
Suara ketukan menyadarkan lamunan. Ayu membuka pintu kamar, dia tersenyum dan duduk di sebelahku.
“Bagaimana pekerjaanmu, Yu?”
“Barusan selesai mengupas bawang putih, Mbak.”
“Yu, sepertinya aku hamil!”
Ah, aku tak tahan memendam kebahagiaan ini. Biarlah kubagi dengan Ayu. Dia sudah kuanggap seperti adikku sendiri. Tetapi reaksinya tak seperti yang kubayangkan.
Wajah yang sekarang sedikit berisi itu nampak pucat, matanya menyorotkan kesakitan. Hanya sekejap, lalu seulas senyum yang dipaksakan menghiasi wajah.
“Oh, se—selamat, Mbak.” Ayu memelukku erat.
Dia bahkan membingkai wajahku dan mencium pipiku bertubi-tubi. Bertepatan dengan Mas Agas yang berdiri di depan pintu. Kresek putih dalam genggamannya jatuh di lantai.
“Ayu! Apa yang kau lakukan?”
Ayu terkejut, ia melepaskanku dan beringsut menjauh. Aliran darah seolah hilang dari wajah itu. Aku bingung menatap mereka bergantian. Sebenarnya apa yang terjadi?
“Mas Agas? Ada apa? Kenapa sampai melotot begitu?” Keningku bertaut melihat reaksinya yang berlebihan.
Ayu juga. Wajahnya sampai sepucat kapas. Mas Agas mendekati kami setelah mengambil kreseknya yang terjatuh. Dia menyodorkan padaku. Ayu beringsut, dia tergopoh keluar dari kamar. Ketika sampai pintu, wanita itu menyempatkan diri melirik kami berdua. Wajahnya gelap, tak bisa diartikan.
“Apa ini, Mas?” Aku mengangkat kresek sejajar mata.
“Katanya kamu mau dibelikan test pack?”
Waw! Mas Agas ini benar-benar sesuatu.
“Jadi Mas Agas kembali hanya untuk kasi aku test pack? Aduuh, ada yang nggak sabar menjadi ayah ….” Aku mencubit pipinya gemas. Dia mengaduh kegelian.
“Ayo segera dites, Sri. Aku pingin tahu hasilnya.”
“Biar akurat, tesnya pagi hari, Mas. Setelah bangun tidur.”
“Kenapa harus besok pagi, Sri? Apa sekarang tidak bisa?”
“Aku baru saja pipis, Mas. Belum penuh ini kandung kemihnya.”
Mas Agas memandangku takjub, “Kenapa pipis? Kan, najis itu. Hii.”
Iih, gemes deh sama bayi raksasa ini, “Namanya tes kehamilan itu ya pakai air kencing, Mas. Nanti alatnya dicelupin pipis. Kalau ada dua tanda merah muda, maka Insya Allah aku hamil.”
Mas Agas nyengir kuda. Ia menepuk kepalaku tiga kali. Puk! Puk! Puk!
“Ya sudah, aku mau berangkat lagi. O iya, Sri. Aku nggak suka kamu terlalu dekat dengan Ayu.” Mas Agas menatapku lekat. Mata elangnya menghujam sampai relung hati. Hentakan kasar gumpalan darah itu terdengar sampai radius tiga cm.
Deg!
“Kenapa, Mas? Ayu sudah kuanggap adik sendiri. Sejak dia bayi aku dan almarhum Mas Bejo sering menjaga dan merawatnya. Aku bahkan dulu sering mengganti popoknya, Mas. Aku kasihan sama dia, ditelantarkan orang tuanya.”
Aku membalas tatapan elangnya dengan pandangan singa. Nggak mau kalah.
“Aku nggak suka ada yang menyentuhmu, Sri. Apalagi menciummu.” Mas Agas menundukkan kepalanya. Bibir bawahnya maju jalan.
Aku serasa tersedak test pack, “Apa mungkin Mas Agas cemburu? Sama … Ayu?”
Lelakiku itu hanya mendengus kasar. Ia berdiri lalu berjalan cepat keluar kamar. Wajahnya tadi memerah. Apa mungkin dia malu?
Ah, tak masuk akal. Cemburu pada Ayu? Apa nggak kebalik, tuh. Harusnya aku yang cemburu pada Ayu. Kok jadi Mas Agas? Aneh-aneh aja itu orang. Tapi Mas Agas memang unik, dulu waktu Sani masih bersamaku, dia juga cemburu padanya.
Cemburu itu memang tak pandang bulu. Ia bisa muncul kapan saja, di mana saja dan tak masuk akal. Semakin cinta pada seseorang, maka kadar cemburu akan semakin banyak. Ehem, berarti Mas Agas sangat mencintaiku. Hasiiik ….
Tapi, cemburunya itu bisa meracuniku.
***
Setelah tidur lagi beberapa jam, badan terasa segar. Kasihan Ayu, sudah lama aku tidak membantunya. Dia pasti merasa tidak enak dengan kejadian tadi pagi.
Ayu sibuk melayani beberapa pembeli. Tangannya cekatan menggoreng, membungkus dan menghitung total pembelian makanan. Ah, tidak salah dia bekerja di sini.
“Yu, ayo kubantu.”
“Tidak usah, Mbak. Aku bisa sendiri, kok.”
“Nggak apa-apa, aku sudah sehat.”
Ayu tersenyum manis. Aku segera menggantikannya membungkus pesanan. Sementara Ayu merapikan piring ingko dan teh botol bekas para pelanggan.
“Kodrat dan Gimbal akan bekerja di sini membantumu, Yu. Bagaimana menurutmu?”
Aku membuka percakapan saat warung sudah sepi. Ayu mengangkat sebelah alisnya.
“Terserah Mbak Sri sama Mas Agas saja. Aku senang kalau ada yang membantu, meskipun agak takut dengan kedua preman itu. Ngeri, Mbak.” Ayu memeluk lengannya.
“Nggak apa-apa, Yu. Mereka mau dijinakkan Mas Agas dulu. Aku juga nggak mau para pelanggan lari gara-gara mereka.”
“Iya, Mbak. Betul. Warung ini sekarang sudah ramai. Banyak yang cocok dengan masakan Mbak Sri. Sebaiknya preman itu make over penampilan, Mbak. Jangan boleh pakai hitam-hitam.”
“Huuh. O iya, Yu. Mengenai kejadian tadi pagi ….”
“Maaf, Mbak.” Ayu memotong perkataanku, “aku yang salah. Nggak seharusnya aku mencium Mbak Sri. Tapi aku melakukan itu karena aku senang mendengar Mbak hamil. Nggak ada maksud lain. Apa Mas Agas marah, Mbak?”
Aku menggeleng pelan, kuraih jemari Ayu. Dia menepiskannya. Kuraih lagi, kali ini dengan kedua tangan. Kucekal erat-erat. Ayu meronta tak berdaya.
“Ayu, apa kamu nggak ingat dulu kita sangat dekat? Waktu dapat haid pertama, kamu menangis ketakutan. Siapa yang memasangkan pembalut pada celanamu? Aku, Yu. Aku ….”
Ayu terbahak mengingat kejadian beberapa tahun silam. Gadis kecil berkulit gelap kebanyakan main di sawah, tiba-tiba ke rumahku dengan air mata dan ingus mengalir. Ia mendekap celana pendeknya yang ternoda darah. Ayu kecil menangis ketakutan dalam pelukanku.
“Mbak, ada pelanggan. Aku akan melayaninya dulu.” Lamunanku terjeda.
Ayu melepaskan genggaman tanganku. Ia menganggukkan kepala dan tersenyum pada dua orang laki-laki berjaket hitam yang datang.
Kodrat dan Gimbal!
Ayu menarik kembali senyumnya. Dia berdiri di depanku sambil merentangan tangan. Menjadi pagar betis, melindungiku.
“Mau apa ke sini?” judes Ayu. Kedua orang itu berdiri kaku.
“Kami mau bekerja,” sahut Kodrat pelan. Matanya melirik Gimbal yang tersengal.
Aku memberi isyarat pada Ayu supaya minggir. Dengan keanggunan seorang ratu, aku memperbaiki cara duduk, mengibaskan ujung jilbab dan mengambil garpu. Mengacungkan pada dua orang lelaki sangar itu.
“Kalian boleh bekerja di sini kalau sudah potong rambut, mandi, gosok gigi dan berbau wangi.”
Mereka saling melirik. Kodrat mendorong Gimbal mendekat, “Se—sebenarnya kami lapar, belum makan dari kemarin. Bolehkah minta makan, Mbak Sri?” Suara Gimbal bergetar hebat.
Ah, orang-orang ini. Sungguh tidak tahu malu. Atau mereka sudah tidak punya urat malu?
“Yu, tolong bungkuskan dua. Bayarnya potong gaji kalau kalian sudah bekerja.”
Kodrat kasak-kusuk dengan gimbal. Mulutnya membentuk sebuah kata tanpa suara, ‘pelit’
Memangnya, siapa yang peduli. Wee.
Bersambung ….
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita