Agasri Episode 5
Oleh: Novie Purwanti
Aku sengaja meninggalkan ponsel di kamar. Biar kapok Mas Agas, salah siapa nggak mau menjawab telponku. Rasakan! Kubalas hal yang sama.
Aku baru ke kamar setelah warung tutup. Bersama Ayu yang menawarkan diri mau ngeroki punggungku. Sepertinya aku masuk angin. Perut rasanya penuh udara dan nggak nyaman. Berserdawa juga yang keluar angin bercampur bau mengkudu masak. Busuk menjijikkan. Kuraih gawai dan melihat pesan masuk.
Sri, maaf hari ini aku ada rapat dengan klien. Alhamdulillah dapat proyek pembangunan perumahan. Aku pulang sekitar jam delapan. Kamu mau dibawakan oleh-oleh apa?
Huh! Huh! Entah kenapa muncul lagi rasa sebal itu. Gawai kubanting di kasur tapi kuambil lagi, sayang kalau rusak.
“Mbak Sri, aku sudah bawa uang koin dan minyak angin.” Ayu muncul di balik pintu. Dia tadi mengambil alat tempur kerokan lebih dulu.
“Sini, Yu. Barangkali habis kerokan bisa enteng badanku.”
Aku mengambil sarung dan melilitkannya di dada. Setelah itu kubuka baju serta dalamannya. Aku tengkurap dengan nyaman di atas ranjang.
Ayu mulai mengolesi punggungku dengan minyak, lalu menggerakkan koin maju mundur searah tulang.
“Mbak, merah-merah lho. Benar-benar masuk angin ini. Kupijit sekalian nggak apa-apa, Mbak.”
“Iya, terserah kamu, Yu. O iya, kalau sudah tolong tutup pintu dan pagar. Aku mau langsung tidur.”
“Iya, Mbak.”
Aku memejamkan mata menikmati kerokan. Ayu benar-benar mantap. Dia lalu memijit kaki, betis, paha, bokong, dan seluruh punggung. Tak terasa kantuk menyerang hebat. Sepertinya aku terlelap. Nyenyak sekali.
Aku terjaga sebentar ketika merasa kedinginan. Ah, rupanya sarung sudah melorot entah kemana. Ayu juga tak terlihat. Aku meraih selimut tebal dan bergelung dengan nyaman. Meneruskan lelap. Aah, enak banget.
***
Tidur memang penawar rasa marah. Jengkel yang seharian kemarin menodai hati mendadak hilang tak berbekas. Badanku enteng, segar. Aku mengerjakan pekerjaan rumah sambil berdendang dangdut kesukaan.
“Sini, Sri. Biar aku saja yang ngepel.” Mas Agas merebut tongkat pel. Meletakkannya kembali ke dalam bak. Dia menggandeng tanganku, menuju sofa empuk ruang depan.
“Kamu kemarin kuhubungi nggak jawab. Ada apa?”
“Ngambek aku, Mas.”
“Halah, wis tua mbok nggak usah ngambekan.” Jarinya memencet hidung nggak bangirku, pakai digoyang kanan kiri sampai aku susah bernapas.
“Lepas, ih!” Aku membalas mau mencubit hidung mancung itu ganas. Namun urung, tadi Mas Agas bersin-bersin hebat. Sepertinya, banyak ingus bercokol di dalamnya. Hii ….
Dengan kecepatan cahaya, aku menceritakan hal yang terjadi kemarin. Hanya dalam satu tarikan napas.
Mas Agas membetulkan letak kaca matanya, dia nampak gusar.
“Berani sekali Kodrat itu. Sri, kamu di rumah saja.” Mas Agas beranjak, dia berjalan cepat menuju pintu.
“Mau ke mana, Mas?”
“Mau kasih pelajaran Kodrat.”
“Ikut, ikut.”
Aku mengekor di belakang punggungnya. Penasaran dengan apa yang akan terjadi. Tak pernah kulihat ekspresi keras di wajah teduh Mas Agas. Rupanya belum sepenuhnya mengenal sosok tegap itu. Banyak sifatnya yang membuat aku terkaget-kaget.
Mas Agas menuju gang belakang rumah, setengah berlari berusaha menyamai langkah panjangnya. Kami tiba disebuah rumah dekil bercat biru. Dua orang yang kemarin datang ke warung nampak sedang menikmati kopi dan rokok di teras. Mereka langsung waspada melihat Mas Agas. Lelaki berambut gimbal mendatangi kami sambil berkacak pinggang.
“Mana Kodrat?” tanya Mas Agas dengan suara ditekan.
“Kalau mau bayar uang keamanan di sini saja. Nggak usah mengganggu Cak Kodrat.”
“Kamu pasti orang baru. Cepat panggilkan Kodrat.”
“Iya, memang. Aku dipercaya untuk memberi pelajaran bagi pedagang ngeyel yang nggak mau membayar.”
Aku memposisikan diri di belakang punggung Mas Agas, mencari perlindungan.
“Bilang sama Kodrat. Agas tidak akan mau membayar uang sepeser pun pada preman brengsek seperti kalian!”
Mendengar kata-kata Mas Agas, pria gimbal itu menjadi merah mukanya. Dia mengepalkan tangan dan secepat kilat berlari mengayunkan tinjunya pada suamiku.
Mas Agas refleks bergerak. Dia membungkukkan badannya menghindari pukulan. Mas Agas lupa kalau ada istrinya tepat di belakang. Malang benar. Karena terkejut, badanku menjadi sekaku tiang listrik. Tak bisa digerakkan sedikit pun. Aku hanya melihat ayunan tinju itu sedekat urat nadi, tepat menuju wajah. Tiba-tiba kepalaku terasa luar biasa sakit. Tubuh seakan tak bertulang, lemas. Lalu semua menjadi gelap.
“Sri!!” sayup terdengar suara Mas Agas menjerit.
Aku KO!
***
Entah berapa lama aku semaput, pingsan mendadak akibat kaget tak terperi. Yang kurasa hanya pusing menyerang otak bagian kanan. Mata ini ingin terbuka tetapi nggak bisa. Seolah ada barbel seberat lima kilo bergelantungan di kelopaknya. Atau seperti penyakit belek, sakit mata parah, ketika kotoran mata menjelma menjadi lem besi. Lengket tak terkira. Untunglah fungsi telinga masih sempurna. Meskipun samar, aku bisa mendengar dan mengenali suara yang menyiratkan keprihatinan.
Sepertinya ada beberapa orang yang sedang membicarakanku. Mas Agas, Ayu dan entah siapa lagi. Lelaki. Suaranya serak banjir, nggak enak didengar.
“Bagaimana bisa Mbak Sri terkena pukul seperti ini, Mas. Kasihan pipinya bengkak lebam kayak terong ungu. Pasti sakit sekali itu.” Terasa ada tangan setengah halus setengah kasar menyentuh kulit wajah. Pasti itu tangan Ayu, kalau tangan Mas Agas sangat amat kasar kebanyakan bergaul sama kuli bangunan. Aduh! Kepalaku! Senut-senut.
“Maaf, Mbak … Ageng Gimbal orang baru. Dia nggak ngerti siapa Mas Agas. Aku yang salah tidak mendidiknya dengan baik.” Suara serak banjir itu menyakiti gendang telinga, bahkan radio rusak pun lebih merdu.
“Kamu harus tanggung jawab, Kodrat. Aku sudah berbaik hati menerimamu menempati rumah kontrakan. Tak kusangka kamu menyalahgunakan untuk memeras para pedagang. Setelah ini, kamu dan seluruh anak buahmu silakan angkat kaki. Aku nggak mau melihat kalian lagi di wilayah ini.”
Itu! Itu suara Mas Agas tersayang. Wuaa, sungguh penuh pesona dan kekuatan magis. Dunia pun berguncang karenanya.
“Maaf, Mas. Berilah aku kesempatan sekali lagi. Aku tak akan melupakan jasa Mas Agas yang telah menyelamatkan hidupku saat nyaris bunuh diri setelah menghabisi nyawa perempuan keparat itu.”
“Kalau begitu kenapa kamu melakukan kejahatan lagi, Kodrat! Kalau nggak memandang kamu teman sekolahku dulu, tak akan sudi aku menolong.”
“Tolong sekali ini saja, Mas Agas. Terakhir kali. Aku akan memperbaiki semuanya dan mencari kerja yang halal. Ya, ya, tolong ….”
Suara-suara itu tiba-tiba terdengar semakin menjauh dan menjauh. Padahal aku masih ingin nguping. Apakah aku diberi obat tidur? Entahlah. Aaah, ngantuuk. Bubu syantik dulu.
***
“Alhamdulillah, Sri. Kamu sudah sadar?” Baru saja aku sedikit membuka kelopak mata, Mas Agas memberondong dengan kecupan di ujung jemari. Jarum infus nampak menancap dengan anggun di pungung tangan.
“Di mana aku, Mas?” Mulutku terasa ngilu ketika mengeluarkan aksara.
“Di kamar kita, Sayang.”
Aah! Sayang?! Tumben amat dia memanggil dengan kata-kata itu? Biasanya Sra Sri Sra Sri nggak sopan. Ah, ingin aku lompat kodok saking senangnya. Bos kuli jadi romantis. Uhuk!
“Kukira di rumah sakit, Mas.”
“Nggak, Sayang. Berat menggendongmu. Jadi kupanggil dokter pribadiku ke sini.”
“Memang aku seberat apa, Mas?”
“Nggak jauh beda sama mengangkut tiga karung beras jumbo.”
“Sini telingamu, Mas. Dekatkan padaku.”
Mas Agas menurut saja. “Ada apa, Sri?”
Krauk! Rasakan! Aku menggigit daun telinga itu lumayan keras. Nggak juga, aih. Karena pipiku rasanya bengkak parah. Cenat-cenut merana. Mas Agas terjingkat kaget, dia memegangi kupingnya yang tercetak beberapa gigiku.
“Aw! Sakit, Sri!”
“Lebih sakit hatiku, Mas! Teganya kamu nyamain aku dengan karung beras seberat 75 kilo. Aku nggak segendut itu, yo. Sori!” ucapku sambil mengatupkan gigi menahan denyutan.
Mas Agas terkikik. Dia menggelengkan kepala. Entah apa yang lucu.
“Mas, bawa orang yang menonjokku ke sini. Akan kubuat perhitungan!” Kali ini, senut-senut itu hilang dari peredaran.
“Mau apa, Sri?”
Aku tak menjawab dengan kata. Hanya mata ini yang mendelik maksimal mengalahkan Suzanna. Mas Agas mundur teratur dan berbalik badan menghilang keluar kamar. Aku yakin dia pasti akan menyeret Gimbal tak bermartabat itu ke sini.
Aku duduk dengan susah payah, merapikan jilbab dan mengambil gawai. Mengetik dengan tangan yang tak tertusuk jarum, sebuah pesan terkirim untuk Ayu. Bibirku menyeringai licik, tertarik ke arah kiri. Ya iya, lha wong sebelah kanan benjol parah.
“Awas kamu, ya! Dasar Gimbal.”
***
Mas Agas benar-benar menyeret Gimbal, dalam arti sebenarnya. Kaus hitam lelaki berkumis lebat itu ditarik suamiku. Wajah sangar Gimbal menjadi pucat, dia menunduk dalam. Meletakkan kedua tangan di depan resleting celana. Siap menerima hukuman.
“Maaf, Bu. Sa—saya mengaku salah.”
“Ya, kumaafkan. Tapi ada syaratnya.”
Wajahnya terangkat perlahan disertai senyum mengembang. Memperlihatkan gigi hitam kekuningan akibat mengisap rokok. Bukannya menjadi tampan, dia nampak semakin mengerikan.
Ayu masuk ke kamar sambil membawa pesananku. Satu mangkuk sambal sisa kemarin dan lima potong tahu Jombang goreng. Nampan berisi makanan itu diletakkan di atas meja.
“Aa—apa syaratnya, Bu?”
“Habiskan sambel dan tahu itu sampai licin.”
“Ta—tapi saya nggak doyan pedes.”
Aku menggigit bibir, berekspresi seperti orang mau melahirkan.
“Mas Agas, sebaiknya kita laporkan saja Gimbal ini ke polisi. Biar kapok.”
Mendengar kata-kataku, lelaki berjaket hitam itu segera duduk dan mengambil tahu goreng. Dia mencocol sambal banyak-banyak. Dengan mata terpejam dia memasukkan potongan tahu berbalut sambal ke dalam mulutnya. Setelah mengunyah beberapa saat, bibir hitam itu mangap-mangap kepedesan. Rasakan!
“Habiskan,” sadisku.
Ayu dan Mas Agas mengerutkan kening melihat ekspresi preman itu. Mereka bahkan ikut mendesiskan bibir seperti Gimbal. Sedikit demi sedikit sambal tomat setengah mangkuk berkurang. Peluh menetes dari dahi, pipi, leher, bulu kumis, bahkan bulu hidungnya meneteskan ingus. Kaki berbalut jeans bolong lututnya itu mengentak lantai, bergoyang samba.
“Su—sudah habis, Bu. Hua … hua.” Gimbal menunjukkan mangkuk kosong padaku. Liurnya menetes melihat air minum dalam botol plastik merek kesayangan para Emak. Tapi aku nggak sudi berbagi. Jijik.
“Bagus, maafmu kuterima. Kamu boleh pergi. Yu, antarkan dia.”
“Iya, Mbak.”
Gimbal sontak berlari melesat keluar kamar sambil berteriak ‘air … air’. Rasakanlah kedahsyatan sambel Mak Sri. Pasti setelah ini Gimbal akan ketagihan dan … mencret.
Huh!
Mas Agas masih berdiri memandangiku terpana. Apa dia semakin mencintai istrinya yang pemaaf ini? Tatapan sendu itu, lho. Bikin nggak kuat. Aku menaik-turunkan alis tiga kali, dibalas dengan acungan dua jempol.
“Keren, Sri. Kamu memang emaknya Sani. Hebat. Wuahaha.”
Mas Agas tertawa terbungkuk-bungkuk, memunggungi. Tak berbalik sampai hitungan kesepuluh. Padahal aku sudah menyiapkan ekspresi Suzanna tahap dua. Mendelik sambil memonyongkan bibir sekalian menjulurkan lidah.
Mas Agas nggak mau menoleh padaku. Awas kamu, Mas!
Bersambung ….
Novie Purwanti, penulis adalah seorang guru taman kanak-kanak yang menyukai dunia literasi. Medsos yang aktif dan bisa dihubungi adalah FB Novie Purwanti.
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita