Agasri Episode 3

Agasri Episode 3

Agasri Episode 3

Novie Purwanti

Hidup memang tak seindah drakor. Setiap permasalahan ada saja jalan keluarnya. Sementara di kehidupan nyata, banyak konflik yang tak kunjung selesai bahkan dibawa sampai mati.

Kebanyakan itu masalah warisan harta. Aku nggak ingin hubungan antar keluarga putus hanya gara-gara harta yang tidak bisa dibawa mati, tapi bisa menyeret ke dalam panasnya api neraka. Di dunia dan di akhirat.

Aku sering melihat akhir orang yang begitu tragis karena di masa jayanya merebut harta yang bukan menjadi haknya. Memang awalnya bahagia, merasa menang bisa mengalahkan ahli waris lainnya. Tetapi harta panas itu dalam sekejap akan hilang dan kembali kepada orang serakah dengan penyakit mematikan.

Contoh terbaru itu tetangga yang berjarak tiga rumah. Wak Lil dulu merebut jatah adik-adiknya, dia diam-diam mengubah sertifikat rumah atas namanya. Adik-adiknya hanya mendapat jatah ala kadarnya dan tidak bisa menggugat akibat dokumen. Sekarang di akhir hidup, kakinya membusuk akibat diabetes. Istrinya stroke berat. Anak-anaknya saling berebut warisan. Rumah itu akan dijual bahkan saat Wak Lil masih bernapas. Entah bagaimana nanti hidup orang tua itu.

Aku tidak mau nasib buruk menimpa keluarga mertuaku. Kasihan embahnya Sani itu, mereka orang-orang yang sepanjang hidupnya bekerja keras untuk mengisi perut. Jangan sampai di akhirat juga menderita.

“Aku harus bagaimana, Mas.”

Tak tahan lagi, aku menelpon Mas Agas sambil terisak. Menceritakan tuntutan Ibu. Air mata biasanya menjadi kelemahan suami, apalagi pengantin baru. Sebenarnya aku ingin menyelesaikan sendiri masalah keluarga mertua ini, tetapi nggak sanggup. Bukankah punya suami berarti ada tempat untuk berbagi susah dan masalah?

“Kita bicarakan itu nanti di rumah, ya, Sri. Aku akan memikirkan solusinya. Sekarang aku mau rapat dulu. Ok, cantik?”

“Iya, Mas.”

Sambungan telepon ditutup. Hatiku sedikit tenang, Mas Agas memang terbaik. Rasa cinta dan kekagumanku semakin dalam. Tak sabar rasanya ingin menimang keturunan darinya.

Aku meraba perut yang terasa lembut, membayangkan ada kehidupan di dalam sana.

***

Rindu dengan suasana rumah sederhana ini. Cat yang dulunya putih sekarang menjadi kusam kecoklatan dan terkelupas sana-sini, menunjukkan lapisan semen yang juga tak mampu bertahan. Waktu kecil dulu, aku suka sekali mengorek dinding itu hingga berbentuk cekungan seperti rumah undur-undur. Kalau ketahuan Emak, sudah pasti ayunan sapu ijuk menerpa betis kurusku.

“Kamu mau merobohkan rumah, Nduk?! Ayo teruskan, tak ceples pakai sapu lo ya. Sudah dibilangin jangan mainan tembok kok nggak kapok-kapok. Kuping itu dipasang kalau Emak menasehati. Iiiih!”

Biasanya sebuah jeweran akan menjauhkanku dari dinding rumah, disertai omelan yang panjangnya lebih dari kereta sepuluh gerbong.

Aku masuk rumah yang tidak pernah terkunci bersama Mas Agas. Dia ngeyel minta diajak mengunjungi rumahku di desa sekalian menjemput Emak dan Bapak. Lelaki itu mendongak melihat genting yang sudah melorot. Kalau hujan datang, tetesan air dari celahnya bisa meramaikan suasana rumah.

Penghuni akan mengamankan barang yang perlu diselamatkan. Biasanya televisi buduk adalah satu-satunya hal yang pertama diingat. Tak ada benda berharga di dalam rumah berlantai semen ini. Yang paling berharga adalah penghuninya, para keluargaku.

Aku menyuruh Mas Agas duduk di kursi kayu. Benda itu berkeriut ketika pantat lelakiku menimpanya. Wajah Mas Agas was-was, dia sepertinya takut terjatuh.

“Tenang saja, Mas. Kayu itu kuat lho.”

“Udah goyang-goyang, Sri. Sebentar lagi ambruk.”

“Masa, sih. Nggak percaya.”

Tidak mungkinlah ambruk, Bapak kan membuatnya sendiri. Pasti masih kuat. Akan kubuktikan pada Mas Agas.

Aku mendekatinya dan mulai duduk. Di pangkuan Mas Agas, kugerakkan tubuhku ke kanan dan ke kiri, merasakan kerasnya otot paha suamiku. Dia langsung memeluk pinggang.

“Kuat kan, Mas.”

“Iya, tapi kamu jangan duduk di sini. Berat, tau.”

Heh? Dia bilang berat? Apa nggak tahu itu kata-kata sensitif bagi seorang wanita. Dia kira aku segede kuda nil apa, kok mengeluh berat.

Tidak!

Aku tetap duduk di pangkuannya, tambah bergerak melonjak-lonjak di atasnya. Diikuti derit kayu yang semakin lama semakin keras.

Siapa yang peduli. Akan kubuktikan kalau tubuhku seringan bulu. Huh! Mas Agas kegelian. Dia memegang pinggangku kencang. Rasakan! Rasakan!

Krak!

Akhirnya kursi kayu yang sudah sepuh itu tak bisa lagi bertahan.  Kaki-kaki penyangganya patah dan membuat kami terjungkal ke belakang. Pegangan Mas Agas terlepas. Bokongku yang aduhai mendarat persis di lehernya. Punggungku menutupi wajah bercambang.

“Hekk!” suara tercekik keluar dari mulut Mas Agas, tapi pelan sekali. Nyaris tak terdengar.

Aku kesulitan berdiri karena masih kaget. Susah sekali menurunkan kaki yang melengkung melewati kepala. Rok bunga-bunga biru sampai tertarik gravitasi, memperlihatkan kakiku yang polos nggak pakai celana legging panjang. Hanya celana dalam motif bunga.

“Mbak Sri? Kalian sedang apa?” Ninit, istri adikku Anto terbelalak. Dia keluar dari kamar sambil menggendong bocah perempuan berumur setahun di pinggang kanan.

Ibu belia itu meletakkan anaknya di lantai, dia segera menggulingkan tubuhku dan susah payah menarik supaya berdiri. Napasku rasanya Senin-Kamis. Putus-putus. Mas Agas sudah duduk selonjoran di lantai kotor, dia terbatuk-batuk memegangi leher. Maafkan aku, Mas. Gak sengaja mencekikmu dengan pantat. Huhu  ….

Sebelum suami marah, aku segera memijit bahunya. Dia paling suka di pijit bagian itu. Namun tanganku disingkirkan.

“Mas,” Aku berkata semerana mungkin, suaraku seperti ayam kejepit kandang. “Maaf.”

“Malu sama adikmu, Sri. Romantisnya di rumah saja,” Mas Agas berbisik, kumis tipisnya menusuk kain jilbabku, menggetarkan gendang telinga.

Aku baru tahu kalau Mas Agas pemalu. Catat, catat! Tapi malunya khusus sama keluarga, coba kalau di luar. Biyuh, diumbar-umbar.

Mas Agas berdiri, membersihkan kotoran yang menempel di celananya dan menyingkirkan kursi yang sudah rusak parah ditimpa bobot kami. Dia pindah duduk di ranjang kayu beralas tikar pojok ruangan. Lebih aman.

“Di mana Emak dan Bapak?”

“Bapak di belakang kasih makan ayam. Emak menjemput orang tua almarhum Mas Bejo. Ayo, Mbak. Bantu aku menyiapkan suguhan.”

“Oh iya, aku bawa camilan dari kota. Tapi masih di mobil. Mas Agas! Tolong bawakan makanan yang ada di mobil, nggih.”

Mas Agas memegangi leher dan pinggangnya, terseok keluar rumah mengambil oleh-oleh yang sudah kusiapkan kemarin.

***

Seluruh keluarga sudah berkumpul. Siap dengan keputusan yang kupikirkan selama dua hari. Sebenarnya atas masukan Mas Agas, sih.

“Maaf sebelumnya, aku memanggil Emak dan Bapak semua di sini. Aku akan menjelaskan supaya tidak ada lagi salah paham, dan semoga keputusan diterima dengan hati lapang.”

Aku memandang orang-orang yang ada di ruangan satu persatu. Mereka menunduk menatap lantai. Termasuk Ibu mertua yang paling vokal menentang. Begitu juga dengan Ninit, Ayu dan anaknya, kenapa juga mereka ikut serta. Padahal nggak ada urusan. Mau menyuruh pergi tapi nggak enak. Ah, biarkan saja.

“Ini tentang warisan almarhum Mas Bejo yang didapat dari asuransi. Dulu keluarga Mas Bejo sudah dapat bagian, tapi digunakan untuk menutup hutangnya waktu operasi usus buntu.” Aku menghela napas, ada denyutan di dalam sana. Nyeri.

“Aku juga sudah tidak punya uang banyak karena sudah kugunakan untuk mendaftarkan Emak dan Bapak umroh. Jadi aku memutuskan untuk menjual rumah itu.”

Semua pandangan tertuju padaku. Emak menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya mulai berkaca-kaca.

“Nduk, tapi itu kan rumahnya Sani,” katanya bergetar. Emakku menatap besannya dengan tajam.

“Tidak apa-apa, Mak. Mungkin itulah keputusan yang paling baik. Sebagian uang hasil penjualan akan kuberikan kepada Bapak dan Ibu mertua untuk mengganti uang penutup hutang biaya rumah sakit Mas Bejo. Jatah Sani akan kuinvestasikan di perusahaan Mas Agus. Nanti akan kuberikan ke dia pada saat yang tepat.”

Aku mengambil tas jinjing berisi uang dan memberikannya kepada Bapak Mertua. Dia menerimanya dengan gemetar, wajahnya menunjukkan penyesalan.

“Terimalah, Pak. Aku minta maaf kalau telah membuat Bapak dan Ibu bersedih.” Kuremas pelan punggung tangan keriput itu. Air bening jatuh di atasnya.

“Terima kasih, Nduk.”

“Inggih, tidak apa-apa. Sekarang sudah tidak ada masalah apa-apa, nggih. Jangan lagi kita bersitegang gara-gara warisan, kasihan Mas Bejo di alam sana … sebaiknya kita mendoakannya supaya padang, terang kuburnya.”

“Siapa yang membeli rumahmu secepat itu, Sri?” tanya ibu mertua menyelidik.

“Mas Agas yang membelinya, dia akan tetap meneruskan usaha penyetan yang akan dikelola oleh Emak dan Bapak. Aku juga akan membuka cabang penyetan di rumah Mas Agas di luar kota. Tapi butuh seseorang yang bisa membantu. Mungkin Emak bisa mencarikan orang yang bisa buat rewangku?” Kuarahkan pandangan pada Emak. Dia memilin ujung bajunya, berpikir.

“Aku mau jadi rewangmu, Mbak Sri!” ucapan itu menarik pehatian, Ayu berdiri sambil mengangkat tangan kanannya.

Aku saling berpandangan dengan Mas Agas. Dia hanya mengendikkan bahu. Keputusan semua ada di tanganku.

***

Pernikahan itu banyak julukannya. Salah satu nama lain favoritku, ikatan suci itu juga disebut saling percaya. Bila jalinan batin kuat, nggak mencurigai pasangan, maka masalah sebesar gunung pun akan menemukan jalannya. Kuncinya hanya satu, kepercayaan. Titik.

Hati-hati bila anugerah itu sudah terkikis, akan menimbulkan percikan curiga yang menodai hati. Lama-lama … duar! Meledak dan jadilah pertengkaran. Aku dari jaman suami pertama dan semoga saja terakhir ini tidak suka bertengkar. Lebih baik mengalah pada baby raksasa yang bernama laki-laki dari pada perang urat syaraf. Bikin stres sendiri. Di mana-mana suami selalu benar. Huh.

Sepenuhnya hati dan jiwa ini mempercayai Mas Agas. Ehem, puitis banget sih. Pesona Ayu yang lugu dan terkesan polos tak akan mampu menggoda suamiku. Apalagi badannya yang nggak jauh-jauh dari Sani, kurus seperti ranting kering. Berbeda denganku, padat berisi dan empuk. Bohay pakai banget.

Tapi waspada juga harus diutamakan. Jangan sampai pernikahan yang baru saja terjadi rusak gara-gara pihak ketiga. Bahasa kerennya sekarang pelakor. Ih, amit-amit.

“Ayu, apa kamu benar-benar serius pingin membantuku?”

Ibu beranak satu itu datang lagi ke rumah Emak malam ini. Siang tadi aku hanya tersenyum, nggak memberikan jawaban apa-apa padanya. Udara malam menembus jaket, menggigit kulit. Dingin!

Ayu memperbaiki posisi duduknya di bangku teras. Dia memandang jalan gelap yang sesekali dilalui motor.

“Inggih Mbak Sri. Aku sudah keluar dari kerja beberapa waktu lalu. Istri bos cemburu padaku.”

Terakhir kuingat, Ayu kerja di sebuah home industry kerupuk tempe. Dia sering berpindah-pindah, sih. Entah karena apa. Selama ini yang momong Adin itu ibu mertua.

“Menjadi seorang ibu tanpa suami itu sangat berat, Mbak. Semua mata memandang curiga. Mereka takut kalau suaminya kugoda,” suara Ayu bergetar. Dia menghapus cairan bening dari sudut matanya. “Aku yakin Mbak Sri bukan orang yang berpikiran picik seperti mereka. Aku hanya ingin mendapatkan uang demi menghidupi Adin ….”

Ayu tak meneruskan kata-katanya. Bahunya berguncang naik turun. Ah, Ayu, aku juga pernah dalam posisimu. Merasa ditelanjangi oleh pandangan para istri yang penuh duri. Tapi sekarang, posisiku juga seperti mereka, hanya berusaha melindungi suami dari bahaya.

“Mbak, maukah kamu dengar ceritaku?” kata gadis yang baru berusia 22 tahun itu menatapku tajam. Ada kilatan yang membuat bergidik, hanya sesaat tapi membuat bulu halus tanganku berdiri.

“Lima tahun lalu, aku diperkosa oleh seseorang yang sangat kupercaya. Aku tak sanggup menyebutkan namanya pada dunia, biarlah itu menjadi rahasia yang akan kubawa sampai mati. Sejak saat itu, perasaanku pada makhluk yang bernama lelaki sudah mati, Mbak.”

 

“Maaf, Ayu … aku nggak ingin mengorek luka hatimu.” Akhirnya aku menepuk punggung sekurus triplek itu.

Kukira dia hamil dengan pacarnya, waktu itu Ayu sedang berhubungan dengan remaja anak juragan tebu desa sebelah. Ayu sering pulang sekolah diantarkan lelaki itu. Aduh, aku lupa namanya. Tapi sampai saat ini, tak ada yang tahu siapa bapak Adin sebenarnya.

“Aku janji sama Mbak Sri, bila diterima bekerja, aku nggak akan dekat-dekat dengan Mas Agas. Tolong percayalah, Mbak.”

Ayu meraih jemariku, ia menggenggamnya erat sekali, “Kasihan Adin, Mbak. Dia butuh biaya untuk sekolah. Aku akan bekerja sangat keras. Terima aku, ya, Mbak. Tolong ….”

Pertahananku jebol, aku teringat Sani. Mereka hanya berselisih enam tahun, tapi nasibnya sungguh jauh berbeda. Hatiku ikut merasakan sakit. Biadab sekali orang yang telah menodai Ayu! Tidak bertanggung jawab! Tak terasa, Aku ikut mengangis bersamanya.

Kupeluk badan ringkih itu. “Iya, tentu saja, Ayu. Kamu boleh bekerja denganku. Tapi setelah semua sudah siap, nanti kuhubungi lagi. Kamu yang sabar, ya. Semoga kelak bisa mendapat suami yang mencintaimu apa adanya.”

Aku mengusap punggung Ayu yang meringkuk di bahu. Sekilas, ekor mataku melihat Mas Agas mengintip dari balik pintu. Wajahnya nampak khawatir.

Takdir memang berbeda pada tiap orang. Kebetulan Ayu mempunyai masa lalu yang kelam. Hidupnya semakin muram karena selalu dicurigai dan dikucilkan. Bukankah dia juga berhak mendapatkan kesempatan dan kepercayaan?

Aku nggak ingin jadi jajaran orang yang mengedepankan suuzon. Semua bisa diatur, ada Mas Agas yang super bijaksana. Aku nggak perlu merisaukan apa-apa. Juga ada Allah yang akan siap dimintai pertolongan bila ternyata ada bencana. Hidup juga harus tolong menolong, benar, kan?

Jangan menjadi egois karena hal yang belum terjadi. Aku percaya bahwa Allah itu sesuai prasangka hamba-Nya.

Bersambung ….

Novie Purwanti, penulis adalah seorang guru taman kanak-kanak yang menyukai dunia literasi. Medsos yang aktif dan bisa dihubungi adalah FB Novie Purwanti.

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita