Agasri Episode 2
Novie Purwanti
Malam ini aku tak bisa memejamkan mata. Bisa, sih, cuman kedap-kedip nggak jelas. Biasanya jam segini sudah lelap di dalam pelukan mimpi. Padahal mimpi apa juga jarang ingat. Fiuh ….
Mas Agas tidur seperti mayat. Aduh jangan ngomongin mayat, ah. Merinding. Dia nyenyak sekali. Mulutnya ngoweh, mangap sedikit. Apa pun posisinya, sedikit iler menetes. Namun segera diusap memakai punggung tangannya. Jijik? Ah mana mungkin emak beranak satu jijik, sudah biasa kali melihat pemandangan seperti itu. Apalagi setiap hari berkutat dengan ayam potong. Kata-kata itu sudah hilang jauh-jauh. Hanya pengantin perawan yang akan bergidik melihat kenyataan hidup yang nggak seindah novel.
Posisi awal tidur tadi Mas Agas minta peluk. Dia tidak sesak napas membenamkan kepala di dadaku. Padahal … ehem lumayan wawlah. Memang bikin betah berlama-lama di sana. Menikmati perhiasan surga. Wihihi. Pede amat aku.
Bila melihat film yang tidur dalam satu posisi yaitu berpelukan berbantal lengan suami dari malam sampai mentari bersinar akibat mbangkong, itu namanya pembodohan massal. Bisa putus itu urat dan otot, minimal mati rasalah.
Kenyataannya, setelah lelap tertidur, Mas Agas secara refleks akan menjungkalkan tubuh yang menghalangi geraknya. Aku pernah didorong sampai hampir terjatuh dari ranjang, gara-gara tak sengaja memeluk pinggangnya saat tidur. Akhirnya sekarang ada guling di antara kita. Lebih aman dan bisa dibawa ke mana-mana. Miring kanan, angkat guling. Miring kiri, seret guling, terlentang bisa tendang guling. Benar-benar kalau tidur dia nggak bisa anteng. Dasar bos kuli!
Ibu dan pasukannya beristirahat di kamar Sani. Tadi beliau belum bercerita tentang tujuannya mendadak datang ke sini. Mereka terlihat lelah, meskipun tak sampai dua jam perjalanan. Jadi, setelah makan malam dengan menu seadanya—telur dadar, mereka langsung kusuruh masuk ke kamar Sani. Kasihan Adin, bocah umur empat tahun yang ada sedikit masalah pada perkembangannya.
Ayu seorang gadis manis berbadan mungil, hanya setinggi telingaku. Dia dulu dipungut keluarga ibu mertua. Pagi-pagi ketika mau bekerja di sawah, mereka menemukan kresek hitam yang bergerak-gerak. Setelah dilihat ternyata isinya bayi perempuan lengkap dengan ari-arinya. Waktu itu aku dan almarhum Mas Bejo berusia tiga belas tahun. Bayi itu diangkat anak oleh ibu mertua yang kebetulan hanya mempunyai seorang anak saja.
Almarhum Mas Bejo sangat menyayangi adiknya itu, dia rela menyisihkan uang gajinya demi menyokong Ayu. Aku juga tidak pernah melarangnya. Sampai lima tahun lalu, tiba-tiba Ayu mengandung tanpa diketahui siapa ayahnya. Mas Bejo murka, dia bahkan menampar pipi Ayu sampai berdarah. Tapi gadis itu tetap bungkam, tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya tentang ayah dari bayinya.
Dia beberapa kali mencoba mengaborsi janinnya, tapi gagal. Rupanya ada kehendak lain. Janin itu tetap bertahan dalam rahimnya. Sampai akhirnya Ayu melahirkan bayi yang cantik, tak kurang satu apa pun. Namun, ada sesuatu yang salah ketika Adin batita. Dia cenderung menyendiri dan tak mau berinteraksi dengan lingkungannya. Asyik dengan dunianya sendiri.
Ah, akhirnya kantuk datang. Semoga besok hariku secerah biasanya. Ih, tangan Mas Agas mulai berburu, dia suka merebut gulingku dan dilemparkan ke bawah, enak saja. Aku menghadap tembok, mencari posisi yang nyaman.
***
“Bu, kumasakkan sayur lodeh tahu dan ikan asin kesukaan Ibu. Buat Adin ada ayam goreng lho, ayo kita makan bersama.” Aku menggiring Ibu dan pasukannya yang menonton film kartun menuju dapur.
Mas Agas berangkat pagi-pagi untuk mengurus sesuatu, embuh itu apa. Dia tidak sempat sarapan, hanya makan tiga buah pisang ambon. Kalau orang Jawa, belum makan nasi berarti belum sarapan.
“Aku makan di sini saja, Mbak Sri. Sambil nyuapin Adin. Dia mau makan kalau sambil nonton TV,” sahut Ayu sambil beranjak mengikutiku. Wanita berambut sepunggung itu mengambilkan makanan untuk anaknya, lalu duduk manis lagi di depan layar datar itu.
Sementara Ibu masih tak banyak bicara. Dia duduk di depan meja makan. Sejujurnya, aku agak ngeri dengan ibu mertuaku ini. Dia terkenal punya mulut setajam pisau di desa, jarang orang yang bisa melawan omongannya. Termasuk Bapak, dia termasuk suami takluk istri. Kalau aku, menantu terciduk mertua.
Sampai makanannya habis, Ibu masih saja hening. Dia pintar sekali meneror psikis. Diam itu lebih seram dari pada jenglot, lho. Asli.
“Ehem, apa rasanya cocok, Bu?”
“Hm.”
“Nambah lagi, nggih?”
“Hm.”
Apa itu artinya? Iya apa tidak?
“Sepertinya Ibu sudah kenyang, makannya tadi nasinya banyak sampai piringnya nggak kelihatan. Kalau begitu kubuatkan kopi, ya.”
“Hm.”
“Ah, kopi tidak terlalu baik untuk kesehatan, ini air putih saja, Bu. Sehat.”
Aku mengambilkan segelas air putih dan meletakkan di sebelah piring Ibu. Ekspresi wajahnya tak bisa kubaca. Ibu meminumnya sampai tandas. Mata yang diwarisi almarhum Mas Bejo itu memandangku, berkaca-kaca.
“Kamu tega sekali, Nduk.”
Deg!
Hatiku seperti lolos dari otot penyangganya.
“Aku memang bukan orang tua kandungmu, tetapi tega sekali kamu hanya mengumrohkan emak dan bapakmu. Emakmu sudah cerita semua. Rumah ini, warisan dari anakku Bejo juga akan kamu berikan kepada orang tuamu. Kamu nggak adil, Nduk.”
Ya Allah, aku tak pernah berpikir sampai sejauh itu. Ada hati yang terluka karena keputusan yang kukira sudah paling pas.
“Bu, aku hanya ingin membahagiakan Emak dan Bapak. Mereka sudah lama ingin ke Baitullah.”
“Bejo sudah meninggal, lalu siapa yang akan memberangkatkan aku dan Kang Tejo ke sana? Kami juga ingin ke Mekkah, Nduk. Sama seperti orang tuamu.”
Aduh, kepalaku berdenyut. Air mata tumpah dari sudut mata Ibu, membentur keriput dan flek hitam tebal akibat terpapar sinar matahari, lalu berakhir di telapak tangannya.
Apa yang harus kulakukan? Tak mungkin memberangkatkan mereka semua. Tak mungkin juga harus membatalkan rencana umroh Emak dan Bapak demi menyenangkan hati keluarga mertua. Aku juga tidak berani menjajikan apa-apa.
“Maafkan aku, Bu,” hanya itu yang bisa kuucapkan.
“Kalau begitu, juallah rumah ini, Nduk. Ada hakku dan Mas Tejo di sini. Tak baik bila semua kamu kuasai sendiri, nanti kualat kamu. Apalagi suamimu sekarang kaya raya.”
Ucapan Ibu langsung menusuk hati, tega sekali dia mengatakan itu. Apakah Ibu tidak memikirkan Sani, anak kandung Mas Bejo yang paling berhak atas rumah ini? Ah, denyutan itu merambah ke pelipis. Aku pijit perlahan untuk mengurangi sakitnya.
Apa yang harus kulakukan?
***
Aku teringat ketika Mas Bejo meninggal karena kecelakaan. Motor yang dikendarainya ketika akan mengirim barang digilas truk pengangkut pasir yang dikendarai sopir ngantuk. Kendaraannya tak berbentuk, apalagi Mas Bejo. Dia langsung koma, beberapa hari dirawat di rumah sakit lalu meninggal. Kejadian itu sangat menyakiti hatiku. Bagaimana bisa hanya gara-gara ngantuk bisa melepaskan nyawa seseorang. Sopir truk itu hanya bisa mengucapkan maaf. Apakah maaf bisa mengembalikan kehidupan suamiku? Begitu mudahnya kata itu terlontar.
Teman-teman Mas Bejo tidak terima. Bahkan atasannya yang mengerti hukum turun tangan. Mereka menuntut ganti rugi pada perusahaan truk itu. Awalnya mereka menolak memberikan tuntutan keluarga korban, namun dengan ancaman, akhirnya perusahaan truk itu memberi uang damai sebesar 20 juta. Aku hanya bisa menerimanya, wanita bodoh ini tak bisa melakukan apa-apa selain menangis.
Santunan juga diberikan oleh perusahaan ekspedisi tempat suamiku bekerja. Teman-temannya sangat baik, mereka mengumpulkan uang iuran khusus untukku dan Sani. Jumlah totalnya sekitar lima juta. Dari perusahaan sendiri aku mendapat santunan tiga puluh juta. Sementara uang asuransi jiwa suami, dan asuransi pendidikan untuk Sani keluar beberapa minggu setelahnya. Total uang yang terkumpul dari santunan dan asuransi waktu itu sebanyak 200 juta.
Itu belum santunan dari warga sekitar, teman sesama pedagang, teman pasar dan keluarga besar Wak Soleh yang begitu baik pada kami. Waktu itu aku hampir kejang-kejang karena tak pernah memegang uang sebanyak itu. Takut kalau dirampok orang-orang tak bertanggung jawab. Uang satu kresek besar itu kusembunyikan di dalam lemari dan kuncinya kubawa ke mana-mana.
Atas saran Wak Soleh, aku membeli rumah yang selama ini kukontrak. Dia yang menghitung harta gono-gini yang ditinggalkan almarhum Mas Bejo. Aku ingat sekali detailnya, karena tak terlalu rumit. Jadi uang asuransi seluruhnya dihitung harta warisan suamiku, karena Mas Bejo tidak mempunyai harta lagi selain itu. Bagian satu per enam dari seluruh total hartanya untuk bapak mertua. Dan uang itu sudah kuserahkan kepada keluarga mertua sebagai hak mereka.
Sementara hak Sani kugabung dengan tabungan pribadiku dari sisa hasil jualan penyetan dan kubelikan rumah yang dijual sangat murah oleh Wak Soleh. Pada waktu itu, harga rumah di pinggir jalan sudah kisaran tiga ratus juta dengan ukuran yang lebih kecil. Tapi Wak Soleh melepas dengan harga hanya dua ratus juta, itu pun uangnya masih kurang dan boleh mencicil semampuku.
Sebenarnya, siapa yang salah di sini? Kenapa ibu mertua masih menginginkan bagian? Padahal tiap bulan mereka masih tetap kuberi jatah meskipun tidak seberapa.
Aku benar-benar pusing.
“Maaf, Ibu. Bukankah hak Bapak selaku ahli waris Mas Bejo sudah dibagi? Ibu ingat, kan? Uang yang kuberikan dulu?” aku berbicara sehalus mungkin, takut membuatnya tersinggung.
Kata orang, harta warisan itu seperti bara api. Sangat panas dan bisa menghancurkan hubungan.
Ibu mengangkat alisnya, dia seperti mengingat-ingat sesuatu.
“Tapi uang itu habis untuk melunasi hutang. Kamu juga sudah tahu, dulu Bejo pernah operasi usus buntu ketika mau menikah denganmu. Aku menggadaikan sawah untuk biaya berobatnya. Uang yang kamu beri itu habis untuk melunasi biaya rumah sakitnya Bejo.”
“Kenapa Ibu tidak pernah cerita padaku?”
Ibu hanya diam membisu.
Kuembuskan napas berat. Ada apa dengan pikiran Ibu ini? Bukankah hutang sebelum menikah itu masih tanggung jawabnya sebagai orang tua? Kenapa begitu tega perhitungan seperti itu, padahal Mas Bejo sudah meninggal?
Seingatku, memang sawah Ibu pernah tergadai, tetapi Mas Bejo sudah menebusnya kembali. Siapa yang berbohong? Kalau ternyata dia masih punya hutang, betapa kasihan almarhum suamiku itu.
“Apakah Ibu sedang kesulitan keuangan?” akhirnya kuberanikan diri bertanya lancang. Telinga ini sudah siap disemprot olehnya.
“Maksudmu apa, Sri? Aku tidak kesulitan apa-apa. Aku di sini hanya untuk mengingatkanmu saja. Jangan sampai kamu berdosa gara-gara ini,” ketus Ibu sambil mendadak berdiri. “Kalau kamu tidak mau memberikan hak kami sebagai orang tua Bejo, tidak apa-apa. Kami akan mengihklaskannya.”
Ibu mertua berjalan cepat menuju tempat Ayu dan Adin menonton televisi. Rupanya mereka sudah selesai sarapan.
“Segera kemasi barang-barangmu. Kita pulang sekarang!” Ibu memberi titah.
Ayu melirikku takut-takut. Ia segera masuk kamar Sani dan mengambil tas bawaannya.
“Tapi, Bu, kenapa cepat sekali pulangnya. Aku belum mengajak kalian jalan-jalan,” kucoba mencegah, barangkali Ibu mendengarkan. Dia kalau marah memang mengerikan.
“Nggak usah! Ayo pulang sekarang.” Ibu menyambar tangan Adin yang nurut saja diseret-seret.
Aku panik, melihat mereka berjalan keluar. Aku berlari menuju kamar, membuka dompet dan mengambil beberapa lembar merah muda lalu berlari mengejar mereka.
Ayu berjalan paling belakang, dia membawa tas jinjing yang tak begitu besar. Aku meraih tangannya, menggenggamkan lembaran uang itu ke dalam jemarinya.
“Terimalah ini, Yu. Jangan bilang Ibu dulu, nanti dia tambah marah,” bisikku kepada gadis bermata bulat yang sudah kuanggap seperti adik sendiri. Dia mengangguk lemah. Lalu berlari menyusul Ibu dan anaknya yang melangkah cepat-cepat keluar dari pagar.
Aku menjambak rambut. Ya Allah, kenapa sangat memusingkan. Lebih baik miskin tetapi hubungan dengan keluarga harmonis, daripada kaya namun membuat orang lain merasa iri. Ah, menyebalkan! Sebaiknya aku keramas saja untuk mendinginkan otak.
Ralat, sebaiknya kaya tapi baik hati. Itu baru pas.
Bersambung.
Novie Purwanti, penulis adalah seorang guru taman kanak-kanak yang menyukai dunia literasi. Medsos yang aktif dan bisa dihubungi adalah FB Novie Purwanti.
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita