Aeolian
Oleh: Erlyna
Terbaik ke-11 Tantangan Lokit 15 (tema: Karantina)
Aku tertawa, menangis, lalu tertawa sambil menangis. Aku bercerita pada mereka semua dengan tawa dan air mata, lalu mendapatkan senyum manis sebagai imbalan. Begitu terus selama berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun dan entah berapa lama lagi.
Dari luar tercium aroma tanah kering yang ditimpa hujan. Genting-genting bernyanyi, daun-daun bernyanyi, dan batu-batu mengikis sambil bernyanyi.
Pintu kamar kecil ini terbuka. Wanita dengan sanggul dan kain tipis itu melangkah masuk. Wajahnya datar dengan bola mata berwarna kemerahan. Dia membawa nampan berisi sepiring nasi hangat bertabur garam serta segelas air putih. Aku tidak menyukai wanita ini. Tiap kali datang, dia tidak pernah menyapa teman-temanku yang selalu tersenyum ramah padanya. Wanita itu selalu pergi setelah meletakkan nampan di atas meja. Begitu saja, tanpa mengucapkan apa-apa.
Setelah wanita itu menghilang di balik pintu, aku menatap Anes yang selalu tampil modis dan membuatku iri. Dia selalu mengubah gaya rambutnya dengan berbagai model, dan semuanya terlihat cocok untuknya.
Aku jadi teringat Mang Atai. Tukang cukur yang selalu mangkal di depan pasar ikan. Suatu hari aku pernah bertanya padanya mengapa memilih melapak di situ. Laki-laki yang semakin terlihat tampan saat kepalanya sudah dipenuhi uban itu menjawab singkat. Dirinya sudah mengais rezeki di sana sebelum pasar ikan dibangun.
Meski kulitnya mulai keriput, Mang Atai masih cekatan dan telaten mencukur atau memangkas rambut pelanggannya. Aku mulai curiga, jangan-jangan Anes juga salah satu pelanggan Mang Atai. Kecurigaanku semakin besar saat pertanyaanku dijawab dengan senyum manisnya yang khas.
Aku meraih piring di atas meja. Kumakan pelan-pelan sambil mendengarkan teman-temanku berbagi canda dan tawa. Sesekali aku juga ikut tertawa, tawa yang begitu keras dan lepas. Sampai tidak menyadari bahwa ada butiran garam yang tidak digerus dengan sempurna tertangkap gerahamku yang berlubang.
“Aduh!”
Buru-buru kuraih segelas air putih, berkumur-kumur sebentar lalu melanjutkan makan.
Tidak lama tawa teman-temanku kembali terdengar. Kali ini dengan nada mengejek. Bahkan Niko yang pendiam dengan wajah datarnya yang memesona, sampai ikut serta.
“Apa, woi! Apa?” tanyaku pura-pura marah.
Tiba-tiba terdengar ketukan dari luar. Aku menggerakkan bola mata menuju sumber suara, lalu menjawab.
“Iya! Iya!”
Ketukan itu tidak terdengar lagi setelahnya.
Hah! Wanita bersanggul itu masih saja kolot. Dia memang paling tidak suka melihatku bahagia bersama teman-teman. Hidup yang dijalaninya pasti sangat menyedihkan.
Selesai makan, aku menyandarkan bahu tepat di sisi Tasa yang tersenyum dengan gaya imut, lengkap dengan lesung pipinya. Penampilannya semakin menggemaskan saja dari hari ke hari. Sambil merebahkan kepala, aku menatap langit-langit kamarku yang kecil ini. Begitu kotor, penuh sarang laba-laba dan usang.
Ah, andai saja Ayah masih ada. Beliau pasti akan membersihkan kamar ini setiap hari. Beliau adalah satu-satunya orang yang memanjakan aku sejak kecil hingga pandai menangkis omelan seperti sekarang.
“Ayah, Ayah baik-baik saja, kan?”
Tiba-tiba mataku basah. Aku menangis, tertawa, menangis lagi, tertawa lagi. Begitu terus entah berapa lama sebelum semuanya gelap.
“Rin! Rin! Rin!”
Aku sedang disuapi Ayah saat merasakan seseorang mengguncang bahu kurusku begitu keras. Aku membuka mata pelan-pelan. Kulihat wanita bersanggul itu datang lagi. Lengkap dengan nampan berisi nasi bertabur garam dan air putih.
Belum sempat nampan itu tergeletak sempurna di atas meja, tanganku tiba-tiba menyambar dengan keras. Nampan itu terlempar ke lantai, menyisakan bunyi pecahan yang khas.
Tubuhku menggigil, aku mulai menjerit keras-keras.
“Pergi!”
Sial!
Berani sekali wanita itu mengganggu waktuku bersama Ayah. Dia bahkan tanpa rasa bersalah menatapku dengan wajah datarnya. Bedanya kali ini warna bola matanya terlihat lebih merah.
Hening!
Kami saling pandang cukup lama. Tanpa mengucapkan apa-apa. Tanpa melakukan apa-apa. Tidak lama wanita bersanggul itu memutar tubuhnya, berjalan mendekati pintu dan menghilang. Kulihat teman-temanku tertawa menghibur. Aku terharu dan bersyukur sekali masih punya mereka. Setidaknya aku tidak akan pernah kesepian berada di kamar ini.
Yah, begitulah ….
Beberapa malam setelahnya, hujan turun sangat deras disertai angin kencang. Atap seng kamar kecilku menjerit-jerit dengan suara memilukan. Aku mendongak, mencari tahu seberapa parah kerusakan yang diciptakan angin.
Tiba-tiba sebuah balok kayu penyangga bergetar tepat di atas tempatku duduk. Belum sempat aku bangkit, benda itu lebih dulu jatuh dan membentur kepalaku.
Aku tidak sempat mengaduh, apalagi berteriak minta tolong. Aku hanya merasakan cairan dingin merembes dari kepala, dan melihat bayangan teman-teman yang tertawa.
Aku tersadar dengan perut bergejolak. Rasanya seperti ada puluhan atau mungkin ratusan cacing menggeliat dan menari-nari di sana. Entah berapa lama aku tertidur. Kuedarkan pandangan, semua yang tertangkap hanya warna putih.
Apakah aku buta?
Tidak! Jika buta semua akan terlihat gelap dan mengerikan. Namun, suasana di sini terasa hangat. Satu-satunya yang menggangguku adalah aroma obat-obatan yang khas. Aroma ini yang sejak tadi membuatku mual.
“Nak ….”
Tiba-tiba terdengar suara pelan sambil menahan tangis. Aku menoleh ke kanan. Di sana seorang wanita bersanggul duduk sambil menggenggam tanganku.
Aku termenung. Lalu satu per satu potongan-potongan ingatan mengerikan itu kembali bagai film dokumenter. Tubuhku bergetar. Aku kembali melihat bayangan Ayah yang tergeletak bersimbah darah. Ayah jatuh dari atap saat membetulkan genting. Aku yang saat itu melihat, hanya berdiri ketakutan tanpa melakukan apa-apa. Aku hanya diam sampai sosok yang paling aku sayangi itu kehabisan darah dan pergi dibawa angin.
“Ayah ….”
Dadaku sesak. Aku bahkan tidak kuat untuk sekadar bernapas.
“Ayah! Ayah! Ayahhh!”
Wanita bersanggul itu memelukku. Aku berontak, berusaha menghancurkan apa saja yang bisa kuraih, sebelum akhirnya sadar, bahwa rantai besi yang selama ini mengikat tangan dan kakiku sudah dilepas.
Seorang dokter masuk tepat sebelum aku menghancurkan kaca jendela ruang perawatan. Wanita bersanggul itu masih menggenggam tanganku, dengan tatapan bola matanya yang kemerahan.
“Dokter ….”
“Tenang, Bu. Saya datang membawa kabar baik. Kecelakaan yang terjadi padanya tidak perlu dikhawatirkan. Hal itu justru membuat post-traumatic stress disorder yang selama ini dialaminya, sedikit demi sedikit akan membaik. Sepertinya kecelakaan yang dialaminya mirip dengan mimpi buruk yang selama ini menghantuinya.”
“Maksud dokter ….”
“Putri Ibu, dia sedang berjuang untuk sembuh.”
Tubuh wanita bersanggul itu gemetar. Lututnya lemas, membuat tubuhnya ambruk ke tanah. Ia menangis tersedu-sedu di lantai.
Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, aku bergegas menuju pintu yang terbuka. Berlari sekuat tenaga menuju suatu tempat.
Barangkali karena sudah bertahun-tahun tubuh ini dipenjara, rasanya semua tulang-tulang bergeser dari tempatnya. Hal itu membuat langkah melarikan diriku terlihat payah dan memalukan.
Aku terjerembap tepat di depan pintu kayu kamar kecilku yang selama bertahun-tahun mengurungku bersama teman-teman. Aku berusaha bangkit, melangkah lemah mendekati teman-teman yang selama ini selalu menghibur dan membuatku melupakan kenangan buruk tentang Ayah.
Namun … tunggu!
Apa yang terjadi pada mereka? Kenapa mereka semua hanya diam? Kenapa mereka tidak lagi tersenyum dan bicara padaku? Kenapa poster-poster ini semua membisu?
Angin musim kemarau bertiup kencang menabrak kamar tempatku tinggal. Di antara dersik-dersik yang berbisik, aku mendengar suara teman-temanku yang menjerit minta tolong.
“Tidakkk!”
Aku kembali tertawa, menangis, lalu tertawa sambil menangis. Begitu terus selama berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun dan entah berapa lama lagi.
Purworejo, 24 April 2020
Catatan:
*Aeolian: Dalam kamus Inggris-Indonesia berarti “terbawa angin”.
*Post-traumatic Stress Disorder: Gangguan kejiwaan yang disebabkan oleh trauma mendalam.
Erlyna, perempuan sederhana yang mencintai dunia anak-anak.
Komentar juri:
Cerita-cerita dengan tokoh yang mengalami masalah mental semacam ini, perlu ditulis dengan sabar. Misteri di baliknya mesti diungkap sedikit demi sedikit dari yang permukaan, hingga misteri terdalam, dan tak lupa memunculkan atmosfer cerita yang mendukung: surealistis.
Tabir misteri itu pun perlu tersibak dengan alami, tetapi juga tidak baik jika dibongkar semua. Penulis cukup mengerti hal ini, sehingga ia menyisakan misteri—di pengujung cerita—untuk dipecahkan sendiri oleh pembaca. Fungsi detail pun dimanfaatkan dengan baik, bagaimana balok kayu yang jatuh dari langit-langit bukanlah sekadar kecelakaan, tetapi terkait dengan “memento” tokoh aku bersama ayahnya.
Permainan simbol dan metafora seperti “mata yang merah”, “perempuan bersanggul”, dan tentu saja “aeolian: terbawa angin” pun menjadi detail menarik yang membuat lanskap cerita menjadi lebih terlihat (tentu pembaca sendiri yang memutuskan apa maknanya). Dan teknik repetisi di beberapa tempat membuat cerita ini lebih meyakinkan, bahwa ia dituturkan oleh penderita gangguan jiwa.
Cerpen ini ditulis dengan rapi, terarah, dan dipikirkan masak-masak. 😀
-Berry Budiman
Tantangan Lokit adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakn di grup KCLK.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata