Adikku, Sam

Adikku, Sam

Adikku, Sam

Oleh: Sunita Kasih

Mainan tak lagi berserakan, kotak obat masih lengkap dengan plester luka, Rivanol, Betadine, Aspirin, juga amoniak cair di dalamnya, begitu pula dengan halaman rumah ini, masih tampak seperti biasa, barisan bunga lilly dan tulip juga mawar merah dan putih yang masih tersusun rapi dan apik. Ayah tak lagi mengeluhkan tentang pisau cukurnya yang tiba-tiba menghilang, tetangga juga tak banyak lagi membicarakan tentang kenakalan-kenakalan yang didapatinya, sesekali aku dilihatkan bagaimana lucunya kucing milik tetangga kami itu. Ya, kucing jenis persia berwarna putih itu lucu.

Akhir-akhir ini aku sering merasa bosan lagi, aku selalu bertanya-tanya bagaimana adikku di sana. Ibu dan Ayah selalu menjelaskan bahwa betapa beruntungnya aku yang dapat memiliki otak normal. Ah, Sam. Apa dia merasa bosan sepertiku? Atau dia malah bersenang-senang dan lebih bahagia di sana?

“Yah, kapan Sam pulang?” Ayah tak menjawab, tatapan hangatnya berubah menjadi dingin.

Aku menyesali pertanyaan yang telah kulontarkan, tapi aku benar-benar merasa bosan. Mainan ini tak pernah membuatku merasa gembira sebagaimana ketika adikku pulang. Dia Sam, adikku. Rambutnya lurus berwarna sedikit kecoklatan dan selalu terpotong rapi, tidak seperti aku yang memiliki rambut ikal magenta, bola matanya berwarna hitam bercampur abu-abu, lain lagi denganku yang memiliki bola mata kecoklatan, kulitnya putih sama sepertiku tapi seingatku Sam memiliki senyum yang cukup manis, hanya saja dia jarang sekali senyum padaku.

Sebetulnya ini bukan kali pertama kepergian Sam. Dulu, aku pernah membujuk Ayah supaya membawa Sam pulang. Aku benar-benar menyukai saat-saat ketika Sam ada bersamaku, rasanya aku bebas menjadi diri sendiri. Bermain di halaman rumah, memanjat dan bermain di rumah pohon yang dibuatkan Ayah untukku, bermain dan bertingkah seolah aku adalah dokter bedah, polisi bahkan penjahat, semua bisa kulakukan ketika Sam ada di rumah.

“Seharusnya Sam belum kita bawa pulang!” Muka Ayah merah, matanya menyala, urat lehernya mengencang.

“Sudahlah, tak apa. Besok biar kita bawa Sam ke sana lagi.” Aku terdiam. Ibuku tampak sedih. Aku yang tak sengaja mendengar percakapan itu secepat mungkin kembali ke kamar. Ya, aku ingin menghabiskan waktuku bermain bersama Sam sebelum Sam kembali dibawa pergi.

Hari itu di langit seperti sedang berbaris gumpalan permen kapas berwarna abu, mobil melaju di tengah hujan yang mengguyur, kukira hujan kali ini bisa menghentikan keputusan Ayah untuk membawa Sam pergi lagi, ternyata jeda pun tak ia berikan. Hari itu aku tak ikut mengantar Sam, Ibu tampak murung. Ah tapi apa boleh buat?

“Sampai kapan Sam pergi, Bu?”

“Entahlah, mungkin dia akan pulang nanti, ketika dia sudah mulai membaik, makanlah dulu rotimu.” Itu kali kedua Ibu memintaku untuk memakan roti, tak ada selai stroberi kesukaanku, aku tak berniat menyentuh roti itu sedikit pun. Adikku lebih menyukai selai coklat dengan roti yang dipanggang, apa enaknya coklat? Aku lebih suka stroberi matang atau raspberry yang warnanya merah menyala.

Semenjak kepergian Sam aku benar-benar merasa bosan, aku pernah meminta Sam untuk menghentikan Ayah dan Ibu yang hendak membawanya pergi tapi Sam tak mau menurutiku, dia selalu saja mengiyakan setiap perkataan Ayah dan Ibu.

Sebetulnya aku sangat sering mengeluh bosan pada ayahku, tetapi ayahku selalu menjawab bahwa Sam lebih merasa bosan daripada aku. Bagaimana tidak, ujar ayahku, Sam dikurung di kamar yang gelap di sebuah institusi, aku masih belum mempercayai Ayah sepenuhnya.

Aku pernah bertanya pada Sam tempat seperti apa yang ia tinggali, dia bilang tempat itu sebetulnya ramai tapi dia tetap harus tidur sendirian di kamar yang tidak ada jendelanya, setiap dua jam sekali ada paman yang menengoknya, bertanya apakah ada yang dibutuhkan oleh Sam. Tak lama setelah itu ada satu perempuan dan dua laki-laki yang masuk ke kamarnya, sebetulnya menurut Sam perempuan dan laki-laki itu benar-benar berpenampilan rapi dan tanpak cantik juga tampan. Ya, sebelum dia memasukan beberapa benda pahit ke tenggorokan Sam dan menusuk bagian tubuh Sam dengan jarum. Mereka benar-benar bersenang-senang dengan Sam di sana!

“Bu, bukankah besok sudah mulai musim semi?”

“Ya, Sayang.” Ibuku tersenyum.

“Bolehkah Sam pulang?” Ibu tak menjawab pertanyaanku.

Aku mengeluhkan lagi tentang kebosananku, sebetulnya senapan mainan yang Ayah belikan untukku tahun lalu benar-benar belum pernah kupakai sebab Sam tak ada di sini. Tentu tak akan terasa asik jika tak ada Sam. Tak lama, Ibu mengangguk dan tersenyum seperti mengiyakan segala keluhan dan permintaanku setelah aku memohon-mohon dan menangis.

Benarlah, keesokan harinya aku melihat Sam keluar dari mobil milik Ayah, aku sangat senang. Kami makan bersama sebelum kemudian bermain ke halaman rumah, aku juga membawa segala mainanku termasuk senapan yang dibelikan Ayah. Tetangga kami tak terlihat sedang ada di rumah tapi kucing putih miliknya itu sempat menyambangi Sam. Ah aku kurang suka warna kucing ini.

Tak hanya siang dan sore, aku benar-benar menghabiskan semua waktu bersama Sam. Di malam harinya aku selalu meminta Sam bercerita bagaimana dia di sana, Sam bercerita dengan wajah murung padahal bagiku semua orang di tempat tinggal Sam sangat bersenang-senang.

“Kalian bermain apa lagi?” Aku diam mendengar ayahku bertanya dengan nada tinggi.

Ibu yang berada di belakang ayahku tampak sembab, Sam terlihat menunduk dan diam saja. Tak lama Ibu diminta Ayah menyiapkan pakaian Sam.

Bau anyir semerbak memenuhi ruang kamar kami, kasur dan bantal tampak berantakan pun kotak mainan di kamar. Aku tak berani menyusul Ibu di kamar.

“Ah apa lagi yang harus kukatakan pada tetangga kita,” ibuku menggumam sembari membereskan pakaian Sam.

Ayah masih terlihat marah. Sam masih menunduk, tak ada satu kata pun yang dia ucapkan, mungkin Sam sudah menduga bahwa hal ini akan terulang kembali.

Sebetulnya sejak kepulangan Sam, hal-hal aneh mulai terjadi lagi di rumah dan lingkungan tempat tinggal kami. Banyak hal yang tak biasa terjadi, seperti kotak obat Ibu yang diganti dengan potongan sabun dan setengah badan burung dara, pisau cukur Ayah yang tiba-tiba berada di deretan bunga tulip dengan noda darah juga bulu hewan, termasuk kotak mainanku  yang dengan anehnya telah berisi kucing putih milik tetangga yang sudah tak berkulit dan telah dicongkel matanya.

Aku benci mendengar segala cerita tentang kejadian itu, terlebih lagi cerita itu telah sampai ke telinga Ayah dan Ibu. Maksudku masih banyak hal yang belum aku mainkan saat ada Sam.

Tak lama Ayah berkata bahwa Sam harus pergi. Aku benci ketika Sam harus pergi lagi. Senapan itu tak akan kugunakan lagi pun pisau cukur Ayah. Ibuku bersedih dan sepertinya ayahku tampak bersedih pula kali ini meski ada sedikit raut cemas di wajahnya. Sedangkan aku? Sekali lagi, aku benar-benar benci ketika Sam harus pergi. Ya, aku benci sebab jika adikku tak ada aku harus terus berpura-pura baik hingga dia pulang. Ah membosankan! Setidaknya kucing tetangga itu sudah kubuat terlihat lebih cantik dengan warna kesukaanku.(*)

Sunita Kasih, Menetap di kota Lubuklinggau, penyuka bulan April dengan secangkir teh melati juga seporsi pengalaman renyah yang dituliskan dengan hangat. Fb : sunita kasih ig: sunitakasih

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita