Adik
Oleh: Whed
Aku melongok ke dalam sumur. Yang tampak hanya hitam selain tanaman yang menjuntai, yang tumbuh di dindingnya. Mungkin air di dalamnya sudah sangat kotor sebab sudah lama tidak digunakan. Sementara itu, dalam gendonganku, Adik tak lagi menangis. Aku memilih berbalik, lalu masuk ke rumah.
Akan tetapi, saat aku menurunkan Adik, bocah jelek ini kembali menangis. Aku menjepit hidungnya dengan jarik-jariku sambil berteriak, “Diam nggak?”
Bukannya diam, tangis Adik kian menjadi. Aku kembali menggendongnya lalu menuju sumur yang berada di samping rumah dekat baju-baju yang digantung di tali jemuran. Kembali aku melongok ke dalamnya.
Tangis Adik terhenti saat tanganku baru akan mengarahkannya ke dalam sana. Ia malah terkikik saat aku mengayun-ayunkan bocah ini, siap melemparkannya ke dalam lubang gelap itu. Dan ia malah mencecap ingus yang keluar dari hidungnya sambil meringis. Giginya yang hitam jadi kelihatan.
Aku kembali membawa Adik ke dalam, lalu menurunkannya dengan kasar. Kalau ia menangis lagi, aku bakal membekap mulutnya, tak peduli nanti bakal kehabisan napas.
Kata orang-orang, membunuh itu dosa, dan bakal masuk neraka. Tapi menurutku tidak benar. Surga dan neraka hanyalah dongeng. Ayahku bahkan tidak pernah beribadah, tetapi ia tidak apa-apa sampai sekarang. Malah istrinya dua. Yang menakutkan justru saat aku harus dipenjara kalau sampai ketahuan membunuh Adik.
Adik sudah diam. Ia kembali mondar-mandir dari ruang tengah ke ruang tamu sambil terkadang memungut nasi yang berceceran di lantai, lalu memakannya.
Aku kembali melanjutkan menyetrika baju yang sudah menggunung demi mendapat upah dari Ibu.
Sialnya, Adik hanya tenang untuk beberapa saat. Selanjutnya, ia kembali merengek sambil memukul-mukul jendela kaca seraya menghadap ke luar.
Aku menghampiri Adik yang ternyata sudah beraroma kotoran. Tidak, Ibu tadi hanya berpesan untuk mengawasinya, bukan untuk membersihkan kotorannya.
“Awasi Adik! Kalau misalnya rewel….”
“Kalau rewel diapain, Bu?”
“Ibu sudah ditunggu angkot.” Ibu kemudian berjalan terburu-buru, lalu pergi naik angkot. Entah ke mana.
Sialnya, bocah yang wajahnya mirip Ayah itu tak juga diam dan malah menunjuk-nunjuk ke luar. Begitu terus sampai terbatuk-batuk sebab tak juga dituruti. Aku membukakan pintu, membiarkannya berjalan ke luar rumah asalkan ia tak menangis lagi. Aku hanya mengawasi dari jendela, seperti pesan Ibu.
Pelan, kaki-kaki kecil itu melangkah ke halaman rumah, berjongkok sebentar, mungkin memungut kerikil. Ia lalu berjalan ke jalanan yang dipenuhi lalu-lalang kendaraan. Aku sudah akan bersorak saat melihat Adik semakin cepat berjalan ke tengah-tengah. Aku tak sabar melihatnya terkapar.
Ada mobil berhenti mendadak. Klakson bersahutan. Ada motor hampir oleng. Ada seorang lelaki botak turun dari mobil, lalu menggendong Adik.
Bawa saja, Pak! Bawa saja! Bawa saja!
Lelaki itu mengajak Adik mengobrol, entah membicarakan apa. Ia lalu melihat sekeliling. Aku menunggu lelaki itu membawa Adik ke dalam mobilnya. Adik sama sekali tidak meronta.
Sayangnya, lelaki itu menghentikan langkah tetanggaku yang sedang lewat. Mereka tampak mengobrol. Tetanggaku menunjuk rumahku. Aku memukul kaca jendela dengan gemas.
Lelaki itu menyeberang ke arah rumahku. Aku hanya memelototinya dari balik jendela kaca ini. Sebentar kemudian, aku mendengar suara ketukan.
Sebenarnya, aku tidak mau membuka pintu.
“Permisi!”
Aku berdiri saja di balik pintu, masih menunggu, semoga lelaki itu pergi membawa Adik. Kalau aku menyuruh lelaki itu langsung membawa Adik, pasti ia tidak akan mau.
Ia mengetuk pintu terus. Aku tak suka. Adik berteriak girang, seperti mendapat mainan setiap lelaki itu mengetuk pintu.
“Permisi!”
Akhirnya, aku tidak tahan. Aku membuka pintu juga.
“Oh, hai, Dik. Ini adiknya?” Lelaki itu menurunkan Adik dari gendongannya.
Aku mau menjawab bukan. Tapi Bude Sri, tetanggaku yang tadi lewat, berteriak, “Awasi Imel baik-baik, Na! Tadi dia sampe ke jalan. Kalau perlu kunciin aja di dalam rumah. Bahaya kalau keluar sendiri.”
Aku menarik Adik ke dalam rumah, lalu menutup pintu, sedangkan lelaki tadi pergi. Aku mencubit Adik. Adik hanya berteriak.
Setelah itu, aku menyimpan baju yang tadi kusetrika ke dalam lemari. Saat menata baju, aku mendengar pintu diketuk.
Aku ke depan, lalu mengintip ke luar. Ada Bude Sri. Aku lantas membukakan pintu. Bude Sri mengulurkan kantong plastik kepadaku.
“Ini, jajanan buat kamu dan adikmu. Dari om yang tadi. Jangan lupa dibagi adil.”
Aku menerima bungkusan dari tangan Bude Sri. Adik menghampiriku. Ia menarik-narik bajuku.
“Ibumu ke mana?”
“Pergi.”
“Ya, sudah. Jaga Imel baik-baik. Kasihan, masih kecil itu harusnya disayang-sayang. Walaupun bukan anak ibumu, dia adikmu. Kalau bukan kamu, siapa yang mau sayang sama dia. Ya, to?”
Aku melirik Adik yang sedang duduk di lantai sambil menempelkan wajahnya ke ubin. Sesekali, ia tergelak. Jari-jarinya memutar-mutar ingus yang menempel di lantai.
Sltg, 20 Juli 2023
Whed, nama seorang perempuan yang berzodiak Aries. Hobinya membaca membuatnya ingin bisa menulis bagus.