Adarusa

Adarusa

Adarusa

Oleh: Erien

 

Saya tidak bermaksud berburuk sangka dengan kedatangan Mbak Bariyah siang ini. Namun, satu prasangka muncul begitu saja, seperti mesin kasir yang otomatis mengeluarkan harga saat barang mampir di mesin pemindai. Jangan menyalahkan pikiran saya, karena jika diurut ke belakang, Mbak Bariyah hanya datang bertamu jika perlu sesuatu. Uang.

Gerak-geriknya sama. Tubuh selalu membungkuk, menunjukkan dia menempatkan posisi sosial saya di atasnya. Jemari tangan saling berkait dan sesekali saling meremas. Mata tidak bisa menatap saya lebih lama dari dua detik. Mbak Bariyah lebih banyak menunduk.

Saya menyilakan dia duduk di kursi teras. Lalu, saya terpaksa menyuruhnya menunggu sebentar karena harus masuk untuk mematikan kompor. Saya merasa terbantu dengan jeda ini. Meski tidak sampai dua menit, saya bisa memikirkan apa yang kira-kira akan dikatakan Mbak Bariyah dan bagaimana saya menanggapinya. Hanya saja, saat saya kembali ke teras dan melihat Mbak Bariyah, semua yang terbayang hilang dengan cepat.

“Ibu lagi sibuk, ya? Saya mengganggu sebentar, boleh?”

Ah, meski sudah beberapa kali datang, basa-basi Mbak Bariyah tidak berubah. Saya hanya bisa tersenyum, yang saya yakin jelas terlihat tidak tulus karena prasangka itu.

“Begini, Bu ….”

Ucapan menggantung itu … saya hafal. Biasanya dia akan bercerita tentang tiga anaknya dan suaminya. Anak pertama yang sakit asma, anak kedua yang aktif luar biasa dan pernah merusak sepeda temannya tanpa sengaja, anak ketiga yang suka jajan, dan suami yang kerja sampai malam tapi gajinya sedikit adalah bahan pembicaraan kami. Nanti, salah satu dari cerita itu akan jadi alasannya meminjam uang. Saya menunggu cerita yang kira-kira akan jadi asbabnya kembali meminjam uang, itu yang ada dalam pikiranku.

Saya mendengar cerita Mbak Bariyah, tapi tidak mendengarkan. Pikiran saya malah melanglang buana ke masa pertama dia pinjam uang sekitar tiga bulan lalu. Suara Mbak Bariyah bagai mantra untuk kembali ke masa lalu. Pertama meminjam, jumlahnya dua ratus ribu, untuk melunasi biaya masuk sekolah anak sulungnya. Saya punya kebiasaan menguji seseorang dengan uang, karena biasanya karakter asli seseorang akan muncul ketika berhubungan dengan uang. Maka, saya memberikan pinjaman. Mbak Bariyah berjanji akan mengembalikan secepatnya tanpa memberikan waktu yang jelas.

Kali kedua, jumlahnya separuh dari pertama. Dia bilang untuk memperbaiki sepeda yang dirusak anaknya. Sama dengan yang pertama, dia tidak menyebut waktu pengembalian. Saya meminjaminya lagi. Begitupun yang ketiga. Saat itu saya berharap setelah suaminya gajian, uang akan segera dikembalikan. Nyatanya tidak.

Mbak Bariyah kembali datang sebanyak tiga kali. Alasan anak dan suami yang sakit membuat saya tidak bisa menolak. Pun tidak bisa bertanya kapan akan dikembalikan, termasuk pinjaman sebelumnya.

Setelah itu, Mbak Bariyah tidak pernah datang ke rumah. Saya pun tidak pernah mendatanginya meski rumah Mbak Bariyah hanya terpaut tembok perumahan di belakang rumah. Saya tidak ingin dia merasa dikejar penagih utang dengan main ke rumahnya. Bagi saya, tiga kali mengingatkan melalui pesan WA sudahlah cukup, meski dua pesan hanya centang satu.

Kesimpulan saya saat itu, dia tidak punya niat untuk melunasi utang. Sejak itu, saya bertekad tidak akan lagi memberinya pinjaman. Semisal terpaksa, saya hanya akan memberinya uang sebanyak yang saya ikhlas jika dia tidak membayarnya.

“Jadi begitu, Bu. Saya minta maaf sebelumnya, sudah sering ngerepotin Ibu.”

Saya tergeragap begitu menyadari bahwa dia sudah selesai bicara. Tidak ada yang saya ingat apa yang dia katakan karena asik mengulang memori masa lalu.

“Eh, gimana, Mbak? Saya nggak bisa minjemin lagi. Kalau mau saya kasih saja, ya. Cuma nggak bisa banyak-banyak.” Saya berusaha merendahkan suara agar dia tidak tersinggung.

Mbak Bariyah yang tadinya menunduk, mengangkat wajah dan menatap saya. Itu membuat hati saya tidak enak. Apa dia tersinggung atau kecewa?

“Paling bisanya cuma lima puluh, Mbak. Mau?” Saya kembali menawarkan.

Mbak Bariyah tersenyum, lalu merogoh jaket cokelatnya mengeluarkan amplop cokelat lalu meletakkannya di meja.

“Saya bukan mau pinjam, Bu. Saya mau ngelunasi hutang.”

Giliran saya yang menatap Mbak Bariyah. Rasanya ingin mengubur diri. Saya dan pikiran saya ini sembrono sekali. Kata maaf yang berulang kali saya ucapkan rasanya tidak cukup mengusir malu.

“Sekalian saya mau pamit, Bu. Tadi saya sudah cerita, mungkin Ibu belum jelas. Saya mau pindah, rumah sudah saya jual buat bayar utang. Ibu mertua meninggal dua minggu kemarin. Sudah lama sakit, diobati ke mana-mana nggak sembuh-sembuh. Kami mau pindah ke rumah mertua.”

Saya hanya bisa mengangguk-angguk sambil mengutuki pikiran saya yang buruk. (*)

Kotabaru, 18 November 2022

 

Erien. Sering buruk sangka padahal tidak ada apa-apa. Menuliskannya dalam kisah adalah salah satu caranya memperbaiki pikiran.

 

Editor: Imas Hanifah N
Gambar: Pixabay

Leave a Reply