Ad Maiora Natus Sum
Oleh : Ning Kurniati
Bentuknya seperti kutu, punya sayap kecil, berkaki dua, dan berwarna merah. Ia tidak sebesar di dalam pikiran orang-orang. Jauh, jauh dari hari ini, kukira bentuknya seperti raksasa atau paling tidak seukuran manusia dewasa.
Ia menyeringai kepadaku. Matanya yang tajam melari-lari. Itu bila dilihat sepintas, bila diperhatikan baik-baik, makhluk itu diliputi ketakutan, sangat, sangat ketakutan.
“Apa yang membuatmu kuat?”
“Kelemahan. Kelemahan kalian adalah kekuatan saya,” ucapnya dengan mendesis seperti ular.
“Kapan kelemahan itu ada?”
“Saat kalian malas beribadah.”
Berlompatan ke sana-kemari di dalam toples ia berusaha keluar. Kepercayaan yang dimilikinya begitu tinggi, ia seperti tidak kehabisan harapan untuk terus berusaha, sedikit saja mungkin dirinya berharap akan ada celah untuk bisa keluar. Kendati demikian, ia acuh dan tetap menjawab pertanyaanku, meski dengan malas-malasan. Ada beberapa jeda terlebih dahulu sebelum mulutnya yang tak beraturan itu mengucap kata, seseorang harus memiliki kesabaran untuk bisa bercengkerama denganya.
“Percuma begitu, kau tidak akan keluar kalau aku tidak mengeluarkanmu.”
“Oh, ya? Kamu itu makhluk lemah. Saya bisa memperdayamu. Lihat saja nanti.”
“Bagaimana kau akan melakukannya sedang dirimu saja masih di dalam sana.”
Ia kemudain diam, lalu beralih menatap dengan tatapan yang menghunjam mungkin bermaksud memenuhi janjinya untuk memperdayaiku. Hidungnya yang kempes kembang kempis mengendus. Perlahan ia mengubah warna tubuhnya yang merah, menggelap menjadi hitam. Toples yang tembus pandang itu menjadi hitam, sehingga dirinya tidak kelihatan lagi. Ia menyatu dengan kegelapan, mataku yang memang biasa saja, tidak bisa melihatnya.
“Aku tidak takut,” kataku sebelum berlalu.
*
Toples itu kudapatkan dari Han sebagai hadiah. Hadiah dalam rangka apa, aku juga tidak tahu. Ia datang begitu saja ke rumah tanpa pemberitahuan sebelumnya di pagi hari yang buta.
Toples itu ditempatkan dalam sebuah kotak hitam. Ketika kubuka makhluk itu seperti patung, tak bergerak. Awalnya, aku berpikir ia tidak lebih dari serangga yang sering kami pelajari, yang jenisnya memang banyak.
Aku meletakkannya di nakas, di samping ranjang posisinya persis sejajar dengan bantal. Sesiang itu belum ada yang aneh. Bahkan aku mengira ia mati karena masih tidak bergerak-gerak juga.
Maka aku tidur siang seperti biasa. Berbeda dengan hari sebelumnya, aku terbangun karena pengaruh suara yang terdengar jauh, namun masih jelas diartikan bahwa itu suara yang meronta. Aku berdiam sebentar berusaha mencerna sampai kemudian kuputuskan untuk ke kamar mandi mencuci muka dan berkumur-kumur. Kembali ke kamar barulah kutemukan asal suara itu adalah ia yang bergerak-gerak: melompat-lompat dan membenturkan diri ke sisi toples.
Aku mengamatinya seperti mengamati serangga yang sering kami—aku dan Han—lakukan. Setelah berkali-kali melakukannya dan gagal terus ia kemudian beralih kepadaku, menatapku dengan tatapan tajam.
“Kamu perempuan yang baik dan cantik.”
Mendengarnya bisa berbicara menggunakan bahasa yang bisa dimengerti, mendadak napasku tertahan. Ritme detak jantungku berubah dan tanganku yang basah kini menjadi dingin seperti habis memengang balok es. Terus menerus ia menyemburkan rayuan dan aku masih tidak tahu harus melakukan apa. Sampai ketika ia mungkin sudah lelah—kutahu itu, karena aku saja yang mendengarnya sedari tadi muak, seperti menghadapi laki-laki yang banyak omong di luar sana—ia mulai mengeluarkan kata dengan teriakan yang repetitif. “Keluarkan! Keluarkan saya!”
“Kamu bukan serangga. Kamu adalah setan dari kota Hitam.” Ia berhenti, bergeming dengan pancaran mata seolah mengatakan, kok, kamu tahu?
*
Kota hitam terkenal dengan setan yang merajalela, jumlahnya seperti jumlah serangga di kota kami, mudah ditemukan. Di sana orang-orang hidup bagaikan binatang. Mereka berhubungan badan semau-maunya tanpa ada aturan agama dan aturan adat, di jalan, di pelataran gedung, di pasar, tidak ada lagi rasa malu. Moral yang dahulunya begitu kental delam setiap seluk kehidupan terkikis lalu hilang, benar-benar hilang.
Bermula dari adopsi apa saja yang menjadi kekinian tanpa filter. Dari berbagai belahan dunia, semua diikuti demi pujian yang membuat perasaan membuncah, melayang, melambung ke puncak kebanggaan, kebahagian sementara, kefanaan.
Kebobrokan itu memuncak pada suatu hari dengan semakin bertambahnya jumlah imigran di kota kami sampai-sampai pemerintah mengeluarkan perpu untuk membatasi jumlah mereka yang masuk dengan persyaratan yang ketat, seperti kemurnian ajaran agama yang dibawanya ke dalam masyarakat kami yang memang dari ribuan tahun lalu sudah heterogen. Hal yang kami takutkan adanya pengaruh buruk, bagaimanapun di dalam lingkungan semua organisme di dalamnya secara tidak langsung akan saling memengaruhi.
*
“Siapa namamu?”
“Apa pentingnya nama saya?”
“Yah, setidaknya pembicaraan kita bisa dimulai dengan aku yang memanggil namamu.”
“Saya tidak sudi sering berbicara denganmu.”
“Oh, ya, lalu kenapa setiap pertanyaanku kau jawab.”
“Karena kamu bertanya, maka saya wajib menjawab. Pertanyaan harus mendapat jawaban ‘kan.”
Huahahahah. “Apa di dunia setan juga ada pendidikan semacam itu.”
Dia mendengkus dengan desisannya yang aneh itu. “Kenapa kamu tidak mau mengeluarkan saya?”
“Kenapa aku harus mengeluarkanmu?”
Dia bergeming lagi.
*
Han seorang entomologist. Berbeda denganku yang hanya menjadikan pekerjaan itu sebagai pekerjaan sampingan saja, ia benar-benar menekuni bidang itu. Namun meski ia seorang yang sibuk, ia masih mengadakan waktu untuk bertemu di luar dari urusan pekerjaan. Maksud pertemuanku dengannya hari ini untuk menggali infomasi tentang asal-usul pemberiannya itu.
Warung tempat kami bertemu, berada di pinggiran sungai terlebar di kota kami. Tidak ada yang istimewa di sana sebenarnya, hanya saja aku butuh tempat yang tidak banyak didatangi orang-orang. Dan tempat seperti itu memungkinkan seperti yang kuinginkan—tidak banyak orang. Siapa yang suka berada di pinggiran sungai dengan air yang masih mengental hitam dengan indra penciuman yang disuguhi uaran bau busuk? Hanya orang-orang dengan ekonomi rendah yang mendatangi warung ini.
Menggunakan setelan celana jeans hitam dipadu kaus oblong abu-abu, ia terlihat seperti orang-orang yang bermukim di sini. Sungguh penyamaran yang bagus, seorang asing ke tempat kumuh. Kulitnya yang hitam mendukung penyamaran itu, lagi-lagi berbeda dengan diriku yang sedari tadi sudah dipelototi orang-orang, dari ujung ke ujung. Memangnya aku setan?
“Ada apa?”
“Kau tahu meski aku tidak menjawab pertanyaanmu itu. Mulai dari awal, kenapa makhluk itu?”
“Kenapa tidak?”
“Bukan jawaban seperti itu yang kuinginkan. Aishh, siapa namanya?”
“Ia tidak bernama. Bisa dibilang belum, kau bisa memberinya nama, kalau kau mau. Apa lagi?”
“Makanannya, minumannya, hal yang dibencinya, hal yang disukainya?”
“Makanan dan minuman? Ia menyukai bangkai, darah, dan kotoran, kotoran apa saja, kotoranmu yang kuning itu juga bisa. Jangan mual! Kau tidak berkewajiban memberinya makan, aku yakin kau kesusahan untuk melakukannya. Ia belum jinak. Meski jinak jangan memberikan kepercayaan yang terlalu tinggi, ia bisa berkhianat kapan saja. Ia bisa tidak makan dan minum bertahum-tahun. Hal yang dibencinya, kau suka beribadah,” huahaaaa, “lalu, kesukaanya, kau malas beribadah, aku yakin ia sudah memberitahumu. Mereka bukanlah makhluk yang malas memberikan informasi atau menjawab pertanyaan orang. Justru di situlah kelengahan yang bisa ia temukan, ketika kau banyak bertanya tanpa ada landasan yang tepat, maksudku benteng dirimu, kau akan mudah dipengaruhinya, mereka menyebut dengan memperdayaimu. Bummm!” Han menepuk tangannya tepat di mukaku.
“Kenapa kau memberiku hadiah semacam itu?”
“Bukankah sudah lama kau penasaran?”
“Eh, aku tidak pernah bilang kepadamu, seingatku.”
“Memang, kau lupa aku bisa membaca keinginan terdalam orang-orang. Siapa pun tidak terkecuali dirimu.”
“Dasar—“
“Jangan menyebutku yang macam-macam. Kalian kan punya kepercayaan ucapan bisa menjadi doa, jadi harusnya mengatakan yang baik-baik saja bukan?”
Han meninggalkanku hari itu, sejurus setelah ia menjawab pertanyaanku yang berderai. Katanya, ia buru-buru, masih banyak yang harus dilakukan dan ia tidak bisa menghentikan waktu. Memang siapa yang bisa menghentikan waktu? Tidak ada, hanya Tuhan yang maha besar yang bisa melakukannya. Ake geleng-geleng kepala.
Aku tidak lantas kembali ke rumah. Berhadapan dengan setan yang ternyata memang ukuran tubuhnya kecil, aku perlu banyak referensi. Kalau perlu dari semua segi bidang, tapi kalau dipikir-pikir mana mungkin aku bisa mencerna materi sebanyak itu, kalaupun kutemukan.
Di perpustakaan kota, tempat yang kupilih sebagai tempat pencarian pertama. Dari lembaran yang usang itu disebutkan buyut makhluk itu diciptakan dari lidah api, setelah penciptaannya, diciptakanlah manusia pertama—Adam. Disebutkan pula ia makhluk pembangkang karena tidak mau bersujud kepada Adam, ia merasa dirinya lebih mulia dan kenapa harus tunduk pada makhluk yang diciptakan dari tanah kering, berasal dari lumpur hitam yang berbau. Menyadari asal mula manusia dari lumpur hitam, aku jadi berpikir, mungkin itulah penyebab manusia menjadi seperti hari ini, merusak alam, menjadikan air menghitam yang dulunya bening, yang dulunya buyut-buyut mereka berenang dengan kekehan tawa dan segaris senyum bahagia.
*
“Kamu dari mana saja?”
“Apa pedulimu?”
“Eh, kamu sepertinya baru saja mendapat hal yang tidak menyenangkan. Sesulit itukah kehidupanmu, mau keberi saran?”
“Aku tidak meminta.”
“Iya, banyak orang tidak memintanya, tetapi kalau tidak ada jalan lain, mereka tetap meminta dalam diamnya, melakukan hal-hal yang tidak ingin dilakukan, demi bahagia. Kamu tahu, ide itu munculnya dari kami. Jadi, masihkah tidak menyebut tidak butuh, tidak mau. Coba bilang, siapa orang yang tidak mau bahagia. Semua orang mau bahagia. Orang-orang tahu kehidupan itu pendek dan karena pendek bukankah kau harus bisa memanfaatkannya dengan baik, kau harus bahagia.”
“Kau tahu persamaan setan dan laki-laki? Kedua-duanya banyak omong.”
“Banyak omong, tetapi kamu suka kan. Jangan bilang tidak, lihatlah orangtuamu itu, mereka berpisah karena ibumu bilang kurang perhatian, kurang mendapat kasih sayang, ayahmu tidak sayang lagi, tidak cinta lagi, apalagi namanya kalau bukan disebut membutuhkan. Keberadaanku juga dibutuhkan, bukankah kamu butuh teman?”
“Kau pikir aku tidak punya teman, sehingga aku harus berteman denganmu?”
“Iya, kamu memang punya teman, tetapi apa mereka mengerti dirimu. Kalian kan sama-sama manusia, mana mungkin bisa mengerti perasaan terdalammu, kamu tahu hanya setan yang bisa membaca apa yang tidak terbaca oleh mata dan kepala manusia.”
Ia tersenyum di dalam toples, layaknya senyuman manusia. Kucoba membuka penutupnya dan keluarlah ia dalam wujud lelaki seperti Han, wajahnya, postur tubuhnya, kemudian ia mencengkram kedua tanganku, menatapku dan mendesis, “Ad maiora natus sum, saya terlahir untuk hal-hal yang lebih besar.”
(*)
13 Februari 2020
Ning Kurniati, perempuan dengan mimpi yang terus bertambah-tambah. Dapat dihubungi melalui link bit.ly/AkunNing