Absurditas Ilmu dan Agama dalam Buaian Kucing: Refleksi Mendalam dari Kurt Vonnegut
Oleh: Vianda Alshafaq
Terbaik ke-2 Event Review Buku Loker Kata
Sebetulnya, buku ini adalah karya pertama Kurt Vonnegut yang mengenalkan saya padanya. Buku ini pun saya jumpai dengan cara yang tak disengaja dan, sayangnya, tak bisa saya ingat bagaimana awal mula saya menemukannya. Namun, ketika pertama kali melihat judulnya di Ipusnas, saya merasa harus membacanya segera.
Buaian Kucing—atau Cat’s Cradle dalam versi asli—merupakan salah satu karya luar biasa Kurt Vonnegut selain Slaughterhouse-five yang ia tulis setelah menjadi tahanan perang Jerman. Dengan campuran humor gelap, satir, dan ironi yang tajam, novel ini tetap relevan meskipun telah berlalu lebih dari setengah abad sejak diterbitkan pertama kali. Vonnegut, melalui karyanya ini, mengajak saya mempertanyakan peran ilmu pengetahuan, agama, dan teknologi dalam kehidupan manusia.
Kurt Vonnegut, seorang penulis Amerika yang dikenal dengan gaya penulisan yang eksperimental dan kritis terhadap masyarakat, memperkenalkan kita kepada Jonah (atau John), seorang penulis yang akan menulis sebuah buku tentang hari ketika bom atom pertama kali dijatuhkan di Hiroshima. Dalam proses penelitiannya, Jonah mulai menyelidiki kehidupan Dr. Felix Hoenikker selaku salah satu “bapak” bom atom dan penemu ice-nine, sebuah zat kimia fiktif yang dapat membekukan air seketika dan berpotensi membekukan seluruh dunia.
Pencarian Jonah membawanya ke berbagai tempat dan mempertemukannya dengan anak-anak Hoenikker dan penduduk San Lorenzo, serta sebuah agama fiktif yang mereka sebut Bokononisme. Agama ini dibangun atas dasar kebohongan yang—bahkan—diungkapkan secara gamblang dalam Sajak-Sajak Bokonon.
“Segala kebenaran yang akan saya sampaikan kepada Anda adalah semata-mata kebohongan.” (Hal. 4)
Hal pertama yang menarik perhatian saya saat membuka buku ini adalah bagian daftar isi. Buku ini terdiri dari 127 bab, namun hanya memiliki 232 halaman. Itu artinya, masing-masing bab hanya terdiri dari 1-2 halaman—dan sedikit sekali yang lebih dari itu. Menarik, tentu saja.
Melalui buku ini, Vonnegut berhasil mengeksplorasi absurditas kehidupan manusia dari tokoh-tokohnya yang masing-masing menggambarkan hal yang berbeda. Dr. Felix Hoenikker, misalnya, digambarkan sebagai ilmuwan yang terobsesi dengan eksperimen tanpa mempertimbangkan konsekuensinya. Ice-nine merupakan ironi yang menyedihkan dan kritik atas bahaya perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan tanpa pertimbangan etis.
Lalu, Bokonon. Dia lebih gila lagi. Bokonon menciptakan Bokononisme, agama fiktif yang berdasar atas kebohongan. Meskipun begitu, Bokononisme memiliki banyak penganut, menunjukkan betapa orang-orang lebih memilih mengikuti kebohongan daripada menghadapi kebenaran yang menyakitkan.
“Yah, ketika sudah jelas bahwa reformasi pemerintahan atau ekonomi tidak bisa banyak mengurangi kesengsaraan rakyat, agama menjadi satu-satunya instrumen harapan yang nyata. Kebenaran adalah musuh rakyat, karena kebenaran sangat mengerikan, sehingga Bokonon mengusahakan untuk memfasilitasi orang-orang dengan kebohongan-kebohongan yang lebih baik dan lebih baik lagi.” (Hal. 136-137)
Karakter-karakter lain seperti Angela, Franklin, dan Newt, anak-anak Hoenikker, menunjukkan dampak dari kurangnya perhatian orang tua, sementara Mona Aamons adalah kritik terhadap standar kecantikan yang menjebak wanita dalam ekspektasi yang tidak realistis.
Dengan menggali kedalaman absurditas manusia melalui tokoh-tokohnya yang kompleks, Kurt Vonnegut dalam Buaian Kucing tidak hanya menghibur tetapi juga mengajak kita untuk merenung. Melalui humor gelap dan ironi tajam, Vonnegut mengkritik tanpa belas kasihan tentang peran ilmu pengetahuan, agama, dan teknologi dalam kehidupan kita. Dengan setiap halaman yang singkat namun penuh makna, buku ini menghadirkan refleksi mendalam tentang kebenaran, kebohongan, dan kompleksitas kemanusiaan. Oleh karena itu, saya sungguh yakin bahwa Buaian Kucing tidak hanya sebuah bacaan yang menghibur, tetapi juga sebuah pengalaman membaca yang memperluas pandangan kita terhadap dunia.
Rate: 4,7/5
Agam, 27 Mei 2024
—
Komentar juri, Kiki Razzyka:
Review Vianda A atas buku terjemahan berjudul Buaian Kucing (Cat’s Craddle) karya Kurt Vonnegut, sukses membuat saya mencari buku ini di Ipusnas hanya beberapa menit setelah membacanya. Dan menurut saya, di luar segala macam aturan dan teori kepenulisan, tolak ukur keberhasilan sebuah review sesungguhnya adalah mampu menggerakkan orang lain untuk segera membaca buku yang tengah diulas.
Vianda dengan cerdik memberikan informasi penting bahwa buku ini tersedia di Ipusnas. Ini adalah hal pertama yang menarik perhatian saya, yang tentu saja tidak akan melewatkan kesempatan untuk bisa membaca buku bagus secara gratis.
Selanjutnya Vianda menyebutkan gaya penulisan Kurt Vonnegut yang bergaya eksperimental. Yang terus terang, langsung membuat saya ingin membaca karya sang penulis, mengingat gaya eksperimental hanya memiliki dua jalan, di mana ia bisa menjadi sangat bagus atau sebaliknya ia dapat menjadi sebuah karya yang gagal total.
Isi review Vianda selanjutnya semakin menguatkan bahwa buku ini benar-benar sebuah buku yang layak dibaca. Ia mengungkapkan hal-hal menarik lainnya, yang tidak terasa seperti spoiler dan juga tidak terasa terlalu mendiktekan pendapatnya atas buku tersebut.
Vianda seolah tidak tengah mengarahkan kita untuk membaca Buaian Kucing melainkan ia tengah memancing keingintahuan kita atas nilai dari buku tersebut.
Untuk semua itu, bukankah karya ini layak untuk menduduki peringkat 2 terbaik?
Event review buku ini diselenggarakan di grup facebook Komunitas Cerpenis Loker Kata.