About Heart
Oleh : Mila Athar
Hari ini hati kami baru saja dikembalikan. Tadi aku sempat mengantre dengan puluhan orang yang berjejer di depan sel yang berbentuk seperti toko kopi di ujung jalan. Ya, hatiku sedikit rusak. Bagian ujungnya robek agak memanjang. Dokter telah menjahitnya dan memberiku beberapa resep obat yang harus kuminum.
Tiga hari yang lalu, seorang gadis yang telah lama ku kenal menolak cintaku. Padahal aku telah menyiapkan kejutan pernyataan cinta yang memakan biaya cukup banyak. Aku menyiapkan bunga dan memesan restoran di tengah kota yang terkenal.
Gadis itu sebenarnya tidak begitu cantik, namun entah mengapa aku terpikat pada tutur katanya. Setiap kali ia bercerita hatiku akan berdetak kencang dan aku harus memeganginya supaya ia tak melompat ke luar. Maka setiap kali aku membuat janji temu dengannya, aku harus meminum obat penenang hati yang kubeli di apotek terdekat. Setidaknya hatiku sedikit bisa dikendalikan setelah meminum obat berbentuk cairan pahit tersebut.
Dan ternyata ini pertama kalinya hatiku terluka cukup parah. Ia menggelengkan kepala ketika aku meminta dirinya untuk menjadi kekasihku. Ia berlari dan pergi begitu saja. Saat itu, ada yang merembes dari kemeja putih yang kupakai. Warnanya agak merah pekat, maka aku tertatih berjalan menuju parkiran dan mengendarai mobilku menuju rumah sakit.
Rumah sakit tersebut bangunannya tidak begitu besar. Bangunannya bercat merah muda dan hanya terdiri dari dua lantai dengan beberapa ruangan setiap lantainya. Ada ruang resepsionis di bagian depan. Setahuku hanya ada tiga dokter di rumah sakit ini. Aku tahu, ketika mengantar sepupuku bulan lalu. Hatinya sedikit membiru karena kekasihnya selingkuh dengan teman dekatnya sendiri. Beberapa kali ia harus kembali untuk check up dan dokter memberinya sebuah salep berwarna hijau lumut dan baunya seperti aroma terapi. Sepupuku harus rutin mengoleskan salep tersebut ke hatinya tiga kali sehari. Rutin, selama satu bulan penuh.
Aku sendiri tak menyangka akan kembali ke sini dan menjadi pasien. Saat aku datang tiga hari yang lalu, rumah sakit ini penuh sesak. Aku harus mengantre beberapa jam. Salah satu orang perawat memberiku kain segi empat kecil agar warna pekatnya berhenti mengalir. Dari kain tersebut menguar aroma amonia. Ragu-ragu aku menempelkannya. Setelah kuletakkan kain tersebut ke bagian lukaku, benar saja, aliran darahnya berhenti.
Aku ingat, hari itu adalah hari Sabtu malam. Aku mendengus, menyesal dalam hati. Mengapa harus memilih hari ini untuk pernyataan cinta. Pantas saja rumah sakit ini begitu ramai. Weekend seperti ini biasanya pasiennya akan bertambah tiga kali lipat. Bahkan resepsionis di bagian depan sampai harus menolak pasien dan memberikan rujukan rumah sakit di pinggir kota yang agak sepi.
“Baru ditolak cewek Bung?”
Seorang lelaki separuh baya, berkumis dengan rambut berwarna coklat kemerahan menyapaku. Ia memegang sebuah kertas kecil. Aku hanya menjawab dengan anggukan.
“Aku juga pernah mengalaminya bertahun-tahun lalu. Sering malah. Hingga dokter menyarankanku untuk mengganti hatiku karena kerusakannya yang parah. Tentu saja aku menolak. Dokter akhirnya menyerah dan memberikanku satu kesempatan lagi.”
“Lalu bagaimana akhirnya?” tanyaku spontan.
“Aku menemukannya, istriku. Ia yang menyelamatkan hatiku.”
“Lalu, mengapa kau ke sini lagi?”
Sebelum menjawab, ia menghela napas panjang. Pandangannya menerawang jauh seperti menembus tembok rumah sakit. Bola matanya mulai berair.
“Kau tak perlu menjawabnya, jika tak ingin,” lanjutku cepat.
“Ia telah tiada dan aku merasa hatiku seolah tak berada di dalam tubuhku,” jawabnya pilu.
“Aku ikut sedih mendengarnya.”
Aku tak mampu mengungkapkan kata-kata penghiburan lain. Aku memang orang yang tak suka basa-basi. Ketika aku sedang berpikir untuk menyusun kata-kata yang ingin kuucapkan padanya, namanya telah dipanggil. Ia menganggukkan kepala kepadaku dan kemudian beranjak.
Ketika namaku dipanggil, rumah sakit itu sudah hampir tutup dan keadaannya sudah mulai lenggang. Hanya ada tiga pasien lagi. Satu laki-laki muda dan dua perempuan setengah baya. Aku segera beranjak dan mengikuti suster ke ruangan bernomor dua. Ketika aku masuk ruangan, aroma bunga lavender tercium. Aromanya entah mengapa membuat hatiku begitu tenang. Di dalam ruangan hanya ada satu meja kecil dan tiga kursi yang salah satunya sudah diduduki seorang dokter wanita yang menundukkan wajahnya. Ada lagi satu kursi besar berwarna hitam yang sekilas bisa kulihat bisa terlipat.
Di tembok ada beberapa gambar hati dan fungsinya. Di tengah juga kulihat tulisan singkat namun menarik.
“Hatimu adalah Jiwamu”
Tulisan tersebut dicetak dengan warna merah muda dengan ukuran cukup besar. Suster kemudian menyuruhku duduk dan kemudian meninggalkan ruangan. Saat itulah dokter dihadapanku mengangkat wajahnya. Dari tadi memang ku lihat ia tengah sibuk mencorat-coret sesuatu di kertas.
Saat itulah, aku merasa hatiku kembali berdebar kencang, ia seolah ingin melompat keluar dan menari di ruangan ini. Reflek, aku memeganginya dengan kencang. Kuletakkan dua tanganku di bawah dadaku. Dokter berkulit kuning langsat tersebut menatapku iba.
“Apa keluhan Anda, apa lukanya begitu dalam?”
Suaranya lembutnya tertangkap oleh indra pendengarku. Aku berjengit, hatiku semakin tak terkendali. Ia semakin meronta di dalam sana. Aku hanya mampu menggeleng untuk menjawab pertanyaannya.
“Oke, karena rumah sakit ini sudah hampir tutup, anda dapat meninggalkan hati anda di rumah sakit untuk sementara waktu. Sebagai antisipasi, silahkan berdiam diri di rumah dan jangan beraktivitas berat terlebih dahulu. Saya akan membaca keterangan anda di data awal. Apakah anda paham?”
Kembali, aku hanya mampu mengangguk. Kemudian entah bagaimana, tanpa sadar aku sudah terbaring di kursi hitam besar dan dokter tersebut secara perlahan menyuntikkan sesuatu. Entah berapa lama, aku terbangun dan merasa jiwaku kosong. Saat keluar dari rumah sakit sepupuku telah menunggu dan aku digiring ke mobil seperti mayat hidup.
Dan begitulah, tadi pagi aku kembali ke rumah sakit ini untuk mengambil hatiku. Setelah tiga hari yang terasa panjang dan jiwaku terasa hampa. Aku tidak bertemu dokter kemarin yang memeriksaku. Aku hanya bertemu suster yang kemarin mengantarku. Ia menyuruhku mengantre di sebuah ruangan berbentuk sel di ujung koridor lantai dua. Setelah mengambilnya, aku digiring ke ruangan bernuansa merah dan bertemu salah satu dokter lelaki seumuran Ayahku. Ia tersenyum, basa-basi, menyuruhku tidur di kasur bernuansa pink kemudian menyuntikku seperti dokter wanita kemarin.
Bedanya, ketika aku terbangun. Jiwaku seperti kembali hidup. Dokter memberiku resep dan menyuruhku menebusnya di lantai satu depan resepsionis. Aku mengucapkan terima kasih dan segera beranjak dari ruangan tersebut.
Saat tiba di lantai satu, kulihat antrean tak begitu panjang. Aku segera bergegas. Sudah lama aku merindukan kantorku. Ini masih pukul sepuluh pagi, jadi aku masih bisa pergi ke kantor. Pekerjaanku pasti telah menumpuk. Tibalah giliranku, aku memberikan resep dan petugas memberiku satu botol obat dan tiga jenis pil berwarna putih, hijau, dan merah muda. Aku harus meminumnya tiga kali sehari.
Aku bernapas lega dan bertekad dalam hati bahwa ini adalah kunjungan pertama dan terakhirku. Aku mendorong pintu kaca di depanku. Tepat saat itulah, aku melihatnya. Dokter muda berkuning langsat dengan rambut hitam sepunggung. Ia tampak bergandengan mesra dengan seorang lelaki muda berparas tampan. Mereka saling bercanda dan tertawa bahagia. Saat itulah, aku merasa sesuatu merembes dari kemeja hitamku. Oh Tuhan, jangan lagi.(*)
Mila Athar. Hanya seorang gadis biasa yang mencoba belajar beraksara yang terserak di semesta.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata