Aaron Smith episode 1
Oleh: Triandira
Trauma yang Terulang Kembali
Sore itu George tampak senang. Tangannya tak henti mengelus rambut hitam Aaron yang ikal seperti miliknya. Mereka bercengkerama di taman belakang rumah. Saling berlarian, lantas berhenti sambil terpingkal-pingkal setelah salah satu dari mereka berhasil menangkap yang lain.
Tidak. Kau tidak perlu melakukannya. Biar aku saja yang mengaturnya nanti.
Aku mondar-mandir di dapur. Mengambil beberapa botol bumbu yang akan kutuangkan ke dalam masakan sambil terus berbicara dengan seseorang melalui telepon. Sesekali melirik ke luar dari balik jendela yang terbuka, memandang Aaron yang kini tengah duduk di pangkuan George sambil menyunggingkan senyum.
Tak ada lagi yang lebih membuatku bahagia selain melihat mereka seperti itu. Menghabiskan waktu bersama dan saling melepas tawa. Seperti yang kuimpikan selama ini, menjalani hari-hari dengan keluarga tercinta. Hidup dalam kesederhanaan namun dipenuhi suka cita.
Baiklah. Terima kasih. Usai mengicipi sup yang sudah matang, aku meletakkan kembali telepon genggam di atas rak kecil dekat meja makan. Melepas celemek yang terkena cipratan minyak, lalu berjalan memasuki ruangan di sebelah kiri dapur. Tanganku langsung cekatan mengambil keranjang biru dengan tumpukan baju kotor di dalamnya. Milikku dan juga George. Sementara baju milik Aaron sudah kucuci kemarin. Begitupun dengan selimut dan sprei kotor yang basah oleh tumpahan susu coklat, ulah jagoan kecil itu sebelum membaringkan tubuh di atas kasur.
“George, aku harus mencucinya sekarang. Jadi bisakah kau—”
Ia mengangguk begitu mendengar ucapanku. Menoleh sekilas, kemudian memusatkan kembali perhatiannya pada Aaron. Tanpa mendekat lagi ke arah mereka, aku bergegas menuju kamar mandi. Merendam baju yang sudah kuambil tadi, lalu menguceknya hingga bersih. Ketika hendak membilas tiba-tiba terdengar jeritan.
“Aaron!” pekikku sambil melangkah keluar. Menghampiri bocah yang sedang menangis karena terjatuh. Lututnya berdarah. Sedangkan siku dan lengannya nampak kotor dan memerah.
“Kau tidak apa-apa, Sayang?”
Aaron terus menjerit kesakitan. Sedangkan George masih berdiri di sampingku dengan tubuh gemetaran. Menggigit kukunya sambil menundukkan kepala. Hal yang selalu ia lakukan ketika merasa ketakutan.
“Tenanglah, Ibu sudah bersamamu sekarang,” ucapku menenangkan bocah kecil itu. “Ayo, Ibu obati dulu lukamu.”
Kugendong Aaron menuju kamarnya, diikuti George yang berjalan dengan wajah penuh kecemasan di belakangku. Setelah sampai di ruangan berukuran 3×3 bercat putih di dindingnya, aku segera meraih peralatan P3K yang tersimpan di dalam lemari. Kemudian mengobati luka di tubuh bocah malang itu.
Ia meringis kesakitan ketika kuteteskan obat merah di lututnya yang terasa nyeri. Pipinya pun basah karena tangis yang belum juga reda. Membuat lelaki yang kini duduk di tepian ranjang semakin terlihat cemas.
“Bocah pintar,” bisikku. Mengusap lembut wajah Aaron usai membaringkan tubuhnya di atas kasur. Menyuruhnya untuk tidur. “Jangan khawatir, Ibu tidak akan ke mana-mana.”
Beberapa saat kemudian, Aaron sudah terlelap dengan selimut tebal yang menutupi tubuhnya. Memeluk guling dengan jarinya yang mungil.
“A—apa dia baik-baik saja?” tanya George. Ia memandang wajahku yang kini mendekat ke arahnya.
“Ya, tentu saja. Kau lihat bukan dia sudah tidak menangis lagi.”
George menggelengkan kepala. Ia begitu panik dengan keadaan Aaron setelah tanpa sengaja membuat bocah itu terjatuh dari gendongannya. Sebelumnya aku memang tak pernah meninggalkan mereka berdua bermain di luar tanpa pengawasan sepenuhnya, tapi kupikir sudah saatnya bagi lelaki itu untuk melawan rasa takut yang selama ini ia rasakan.
Semenjak Aaron lahir, George memang tak pernah berani menggendongnya terlalu lama. Hanya sesekali saja ketika aku tengah sibuk mengerjakan sesuatu. Bahkan tak jarang aku menitipkan bocah itu padanya dalam kondisi sudah terlelap, agar ia tak merasa kerepotan saat menjaga buah hati kami.
“Ma—maafkan aku, Em,” ujarnya padaku.
“Tidak, kenapa kau meminta maaf? Aku tau kau sudah menjaganya dengan baik—”
“Ia menangis dan….” George mengusap pelipisnya yang berkeringat dingin. Menghela napas, lalu beranjak bangun dari tempat duduknya. Memandangku dengan mata berkaca-kaca. “Maafkan aku, Em.”
“Jangan berkata seperti itu, George. Kau tidak sengaja melakukannya, bukan? Jadi, tenanglah.”
Entah mengapa melihat sikap yang George tunjukkan, aku pun mulai merasa takut. Bukankah keadaannya sudah membaik? Tapi kenapa ia masih seperti ini?
Raut muka suamiku itu semakin menegang. Bola matanya terus bergerak, menandakan jika ia sedang memikirkan sesuatu. Aku sudah lama mengenalnya jadi tak sulit bagiku memahami bahasa tubuhnya, hanya saja apa yang terlintas di benakku sekarang cukup membuatku tak tenang.
“Sudahlah, jangan dipikirkan lagi.” Aku memeluk tubuh George sembari mengusap pelan punggungnya. Berharap bisa menghilangkan sedikit kegelisahan yang ia rasakan. “Sebaiknya kau beristirahat saja sekarang. Oke?”
Lelaki bertubuh tinggi itu menuruti permintaanku. Ia berbaring di samping Aaron yang masih tertidur pulas. Perlahan memejamkan mata, dan tak lagi bersuara. Aku lega melihatnya karena dengan begitu aku bisa menyelesaikan kembali pekerjaanku.
Aku melangkah keluar kamar tanpa menoleh lagi ke belakang. Dan meskipun tak yakin bahwa George benar-benar tidur, tapi aku tidak ingin membuang waktu agar bisa secepatnya menemani mereka berdua lagi.
“Maafkan aku, Nyonya. Pintu pagar terbuka jadi aku langsung masuk tadi,” sapa Hadley, seorang lelaki seumuran George yang menjadi tangan kanan ayah mertuaku—kakeknya Aaron yang bernama Alfred. Tak lama setelah aku selesai menjemur pakaian di halaman kecil samping rumah.
“Oh, kau rupanya Tn. Hadley,” balasku cepat begitu menyadari kehadirannya. “Ya, aku lupa menutupnya tadi. Apa kau….”
“Tn. Alfred yang memintaku, Nyonya.”
“Ya. Tentu saja.” Lelaki bermata hazel itu menyunggingkan senyum, lantas mengekor usai aku mempersilakannya masuk ke dalam rumah. Ia mengikuti langkahku kemudian meletakkan beberapa bingkisan. Hadiah untuk Aaron dari kakeknya, di atas meja ruang tamu.
Seperti biasa, dari ukurannya saja aku sudah bisa menebak bahwa mainan-mainan yang ia bawa bukanlah barang murah. Tapi nyatanya itu justru membuatku merasa enggan untuk menerimanya. Aku benar-benar tidak mengerti dengan apa yang Alfred pikirkan selama ini. Apa menurutnya benda mahal tersebut adalah hal yang paling membahagiakan bagi Aaron? Tidakkah ia mengerti bahwa sikapnya ini hanya akan menyakitiku, juga George? Tapi sayangnya, suamiku itu memang terlalu polos untuk bisa memahami semuanya.
“Semoga Aaron menyukainya,” gumam Hadley.
“Hm… siapa yang tidak suka dengan mainan baru?”
Hadley kembali tersenyum. Ia tahu aku tidak suka, tapi aku juga tidak punya pilihan selain menerima pemberiannya itu. Lagi pula ia juga tidak akan membawa pulang kembali mainan tersebut hanya karena aku menolaknya. Seperti yang dulu pernah kulakukan.
“Bagaimana keadaan Tn. George, Nyonya? Apa Aaron juga baik-baik saja?”
“Ya, mereka baik-baik saja. Kau tidak perlu mencemaskannya.”
“Baguslah. Aku harap—”
“Ibu…!” teriak Aaron yang tiba-tiba muncul di belakangku. Matanya sedikit sembab karena menangis tadi. Tapi pandangan Hadley justru tertuju pada lutut dan lengan bocah di hadapannya.
“Halo, Jagoan. Bagaimana kabarmu?” sapanya dengan ramah. Sementara orang yang diajak bicara malah tak mengucapkan sepatah kata pun. Aaron memang anak yang pendiam, dan tidak mudah akrab dengan orang yang baru dikenalnya. Apalagi ini adalah saat untuk pertama kalinya mereka bertemu.
“Maafkan aku, Tn. Hadley,” ucapku yang merasa tak enak atas sikap yang Aaron tunjukkan terhadapnya.
“Tidak apa-apa, Nyonya. Aku mengerti.”
Hadley mengelus lembut rambut bocah yang kini tengah berdiri di sampingku, lalu mengambil salah satu benda berbungkus kertas kado dan menyodorkannya pada Aaron.
“Paman harap kau menyukainya dan tidak menangis lagi,” ucap Hadley yang disambut senyuman oleh bocah lelaki itu.
“George menggendongnya dan… kau tau?”
“Ya. Anak-anak biasa mengalaminya. Tapi tunggu, sepertinya ia demam,” disentuhnya kening Aaron yang panas dan berkeringat dingin.
“Benarkah?” tanyaku memastikan. “Ah iya, Sayang, kau demam. Kalau begitu, ayo. Ibu akan mengantarmu kembali ke kamar.”
Aaron menggeleng, menolak permintaanku untuk beristirahat.
“Aku mengerti kekhawatiranmu, Nyonya. Tapi kurasa tidak masalah membiarkannya bermain sebentar. Akan kupastikan dia tidak akan terjatuh lagi.”
Aku mengangguk pelan, lalu memandang wajah ceria Aaron yang kini sedang menikmati mainan barunya. “Itu cukup membuat George merasa takut. Kuharap ia tidak berpikiran buruk dan menyalahkan diri sendiri.”
“Kuharap juga begitu.” Hadley mengitarkan pandangan, mencari sosok lelaki yang membuatnya datang kemari. “Apa aku bisa menemuinya?”
“Kenapa tidak,” balasku cepat. “Tunggu sebentar. Akan kupanggilkan dia.”
Tanpa menghiraukan lagi ucapan Hadley, aku langsung bergegas pergi. Menuju kamar Aaron yang ternyata sudah kosong, tak ada siapa pun di sana. Lalu George? Ke mana dia?
“George…!” teriakku keras, tapi yang dipanggil tak kunjung muncul. Mungkin ia meninggalkan Aaron ketika bocah itu masih terlelap tadi.
Kamar, halaman belakang rumah, dan juga kamar mandi sudah kuperiksa semua. Hasilnya sama, aku tak menemukan keberadaannya. Sampai akhirnya aku teringat sesuatu: dapur. Ya, mungkin ia lapar dan sedang menikmati semangkuk sup sekarang. Menu kesukaannya sejak kecil. Karena itulah aku sering memasaknya.
“George, apa kau di sini?” tanyaku setibanya di dapur. Mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan, dan seketika terhenti pada sosok yang sudah terbujur kaku di atas lantai. Di sisi tubuhnya mengalir darah segar yang keluar dari pergelangan tangannya. Sementara itu, di tangan kanannya ada sebuah pisau tajam yang biasa kugunakan untuk memotong sayuran.
“Aaaa…!!!” jeritku dengan tangis di wajah. Mendadak aku tak mampu lagi berdiri dan tersungkur begitu saja sambil terus memanggil-manggil nama George. Meski ketakutan yang selama ini kurasakan tak pernah hilang sepenuhnya, tapi aku tidak menyangka jika ia sampai bertindak demikian. Sedalam itukah ia menyalahkan diri sendiri, bahkan hanya untuk kesalahan yang tak sengaja ia lakukan.
“George, bangunlah!” Aku menggoyang-goyangkan tubuhnya, berharap ia akan membuka mata. “Kenapa kau seperti ini?”
Aku terisak. Menangisi jasad suami yang telah pergi untuk selamanya. Dan tak jauh dari tempatku berada, berdiri seorang lelaki dengan wajah tegang sambil memeluk erat bocah yang digendongnya. Menyembunyikan wajah Aaron dari hal yang tak seharusnya ia lihat.
“George, kumohon jangan tinggalkan aku sendiri. Bagaimana dengan Aaron jika kau pergi?” gumamku dalam hati. Saat itu aku benar-benar merasa terpukul. Berbagai hal mengerikan yang mungkin saja terjadi di masa mendatang, berkeliaran terus di benakku.
Ia tampan.
Sama sepertimu, George.
Benarkah?
Ya, tentu saja. Lihatlah, ia bahkan memiliki rambut yang sama ikalnya denganmu. Alisnya tebal—
Sepertiku.
Ya, sepertimu.
Bayangan masa silam ketika kami menyambut gembira kelahiran Aaron di dunia, kembali terngiang. Saat paling membahagiakan dalam hidupku, pun George. Lelaki yang kini telah tiada. Kematiannya tidak hanya mengejutkan, tapi juga menyakitkan. Perlahan, wajah pucat George mengingatkanku pada seseorang yang sangat kubenci.
Apa kau puas sekarang… Tn. Alfred Smith?(*)
Bersambung.
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita