Aaron Smith 5
Oleh: Triandira
Rencana Terselubung
Setelah puas memandangi wajahnya, kuletakkan kembali foto George ke tempat semula. Lepas itu merapikan pensil warna yang berserakan di atas meja, juga kertas bergambar, buku cerita, dan album foto milik kami. Benda bersampul hitam yang Aaron ambil dari kamarku sebelum tertidur pulas.
Di album tersebut, sebagian besar berisi foto pernikahanku bersama George. Sisanya adalah gambar yang kami ambil ketika Aaron baru dilahirkan ke dunia hingga berusia 2 tahun. Rambutnya pun masih ikal dan lebat. Berbeda dengan sekarang yang mulai terlihat lurus. Mungkin karena aku sering memotongnya agar tak sampai memanjang.
“Kalian benar-benar mirip,” desisku mengagumi wajah mereka berdua. Hidung mancung, mata bulat, dan alis tebal tak luput dari perhatianku. Hingga beberapa saat kemudian aku baru menyadari bahwa jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Besok aku harus bangun lebih awal dari biasanya, jadi kuputuskan untuk segera beristirahat.
Aku berbaring di samping bocah kecil itu. Memejamkan mata sambil memeluk tubuhnya yang menghadap ke tembok. Malam ini aku ingin tidur bersamanya.
***
Di lain tempat, dua orang lelaki sedang membicarakan sesuatu. Salah seorang di antaranya tengah duduk menghadap jendela sambil menikmati segelas anggur. Sementara satunya lagi berdiri tegap dengan tangan yang bersembunyi di balik saku celana.
Tak ada yang menyunggingkan senyum. Raut muka keduanya nampak serius seolah dingin tidak hanya menyusup tulang, tapi juga hati.
“Bagaimana keadaannya?”
“Seperti harapanmu, Tuan. Mereka baik-baik saja.”
Alfred memutar badan. Merasa kesal dengan apa yang ia dengar, lelaki itu langsung menatap sinis wajah Hadley. Seseorang yang telah lama bekerja padanya bahkan sebelum George mengenal Emma. Ia jugalah yang diam-diam mengajak ayah Aaron tersebut ke klinik kesehatan untuk memeriksakan kondisinya.
George, ia sudah seperti adik bagi Hadley. Keduanya akrab dan sering mengobrol ketika Alfred sedang tidak berada di rumah.
“Mereka?” Kini Alfred berdiri di dekat jendela. Pandangannya tertuju pada halaman yang luasnya hampir separuh dari keseluruhan bangunan, tempat mereka berada saat ini. “Aku harap kau tidak lupa dengan tugas yang kuberikan padamu selama ini, Tn. Hadley.”
“Tentu, Tuan. Kau tidak perlu mencemaskannya.”
“Baguslah, sekarang kau boleh pergi.” Hadley bergeming, isyarat bahwa ia tak ingin menghilang dari hadapan majikannya. “Ada apa? Apa masih ada yang ingin kau bicarakan?”
“Mengenai cucumu, Tuan.”
“Ya. Katakan saja.”
“Apa kau tidak ingin menemuinya?”
“Bagaimana kau bisa menanyakan hal semacam itu? Aku kakeknya, jadi mana mungkin aku tidak menginginkannya.”Alfred menggoyang pelan gelas di tangannya hingga menimbulkan aroma khas yang menguar ke udara. Ia hirup sebentar, kemudian diteguknya minuman tersebut hingga habis. Itu adalah anggur kesukaannya.
“Kalau begitu kenapa tidak memintanya untuk tinggal di sini?” tanya Hadley yang justru menyulut kembali kemarahan Alfred.
“Kau pikir Emma akan mengizinkannya? Tidak, Tn. Hadley. Dia tidak akan semudah itu melepaskan Aaron untuk tinggal bersamaku.”
“Tapi kau bisa mengajak mereka berdua, Tuan. Aku yakin Ny. Emma pasti—”
“Jangan pernah menyebut nama itu lagi di hadapanku!” teriak Alfred mengancam orang kepercayaannya itu. Meski sudah berlalu, tapi ia tidak bisa melupakan perlakuan buruk Emma ketika mereka bertemu.
Sampai detik ini kebencian Alfred terhadap Emma tak berkurang sedikit pun. Ia bahkan tak pernah menganggap wanita tersebut sebagai menantunya. Andai kata tak ada Aaron di antara mereka, ia pasti akan menjauh dari kehidupan Emma dan George kala itu. Anak yang sejak lahir sudah Alfred anggap sebagai aib keluarga.
“Dia sudah menghinaku dan aku tidak akan pernah melupakannya,” tegas Alfred.
“Menghina?”
“Ya. Di pemakaman George. Apa kau ingat?”
“Aku kira itu hanya kesalahpahaman. Maaf, Tuan. Setauku Nyonya Emma adalah wanita yang sopan. Ia bahkan mendidik cucumu dengan baik.”
Alfred mengerutkan dahi. Ketika ia hendak meletakkan gelas kosong di atas meja, Hadley mendekat lalu menuangkan lagi sisa minuman dari botol yang ia pegang. Tak ada yang bersuara. Keduanya membisu dan terhanyut dalam benak masing-masing.
Untuk pertama kalinya obrolan mereka terhenti tanpa adanya penyangkalan lagi dari mulut Alfred. Padahal ia adalah tipikal orang yang tidak akan membiarkan siapa pun memenangkan argumen ketika berdebat dengannya. Sebaliknya, Hadley yang biasanya menghindari perdebatan malah hilang kendali. Terlebih saat lelaki di dekatnya menghina Emma begitu saja. Tunggu! Emma? Kenapa ia jadi membela wanita itu sekarang?
“Tuang juga di gelas itu, dan minumlah bersamaku.”
“Tidak, Tuan. Terima kasih,” tolak Hadley secara halus. “Ini sudah larut malam, sebaiknya aku pergi sekarang. Lagi pula Tuan juga harus beristirahat.”
Alfred mengangguk pelan dengan sebelah tangan yang mengayun ke arah pintu, mempersilakan Hadley untuk meninggalkan ruangan. Sejurus kemudian, lelaki tersebut benar-benar menghilang dari hadapannya usai mengucapkan selamat malam.
Bukannya bergegas ke kamar untuk beristirahat, kini Alfred malah mengeluarkan smartphone dari saku kemejanya. Menghubungi seseorang yang baru ditemuinya kemarin pagi. Seorang diri.
Halo, ini aku. Dengar baik-baik, mulai besok kau sudah bisa menjalankan tugasmu. Ingat! Aku tidak mau ada yang terlewat sedikit pun dan jangan biarkan dia menaruh curiga terhadapmu. Kau mengerti?
***
Sebuah Range Rover hitam terparkir di sudut jalan. Di belakang pengemudi sudah ada seorang lelaki yang sedang membaca koran sambil sesekali melirik jam yang melingkar di tangannya. Memastikan bahwa ia datang di waktu yang tepat.
Dua menit kemudian, orang yang ditunggu pun datang bersamaan dengan terbukanya jendela belakang mobil. Seketika terlihat jelas wajah lelaki yang kini melepas kacamatanya, Alfred.
“Masuklah,” perintahnya pada pria muda bernama Austin.
“Ini, Tuan. Sesuai perintahmu.”
Alfred tersenyum samar. Ada kepuasan di hatinya karena sudah mendapatkan apa yang ia inginkan, namun di sisi lain juga ada kekecewaan yang ia rasakan. Bagaimana tidak jika dugaannya belakangan ini ternyata benar.
“Bagus. Kau bekerja dengan baik,”
“Apa ada lagi yang harus kukerjakan?” timpal Austin yang nampak antusias setelah menerima bayaran dari bosnya. Seikat uang dengan jumlah yang cukup besar.
“Tidak. Untuk saat ini tugasmu sudah selesai.”
“Baiklah, jika kau membutuhkanku lagi hubungi saja aku.”
“Senang bekerjasama denganmu.”
“Sama-sama, Tuan. Kau bisa mengandalkanku.” Austin keluar dari mobil tersebut, lalu menjauh dari gang yang terlihat sepi itu. Tempat di mana hanya ada satu-dua orang saja yang lewat sambil berjalan kaki.
Sementara Austin kembali pulang, Alfred masih sibuk memerhatikan benda di tangannya. Beberapa lembar foto yang menjadi bukti kecurigaannya pada seseorang.
“Kita pulang sekarang,” ujarnya kemudian. Meminta pengemudi agar bergegas melajukan kendaraan. Membawanya pergi dari lingkungan sederhana yang membuat ia memicingkan mata. Alfred yang sombong, ia tak betah berlama-lama di sana. Maka tak heran jika untuk bertemu dengan Aaron di kediamannya begitu enggan ia lakukan.
***
Aku membantu Aaron mengenakan baju. Menyisir rambut, lalu memasangkan sepatu di kedua kakinya. Hari ini, rencananya aku akan menitipkan bocah itu pada Mary. Kebetulan Jimmy sedang libur sekolah jadi mereka bisa bermain bersama sementara aku sibuk membersihkan toko.
Mulai besok aku akan kembali bekerja. Mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan kami setiap harinya, terutama Aaron.
“Bagus, Sayang. Sekarang duduklah di sana dan habiskan sarapanmu.” Aku menggiring Aaron ke ruang makan. Ia melangkah gontai sambil terus menanyaiku.
“Kenapa Ibu tidak membangunkanku?”
“Karena kau terlihat sangat lelah, jadi Ibu tidak tega membangunkanmu.”
“Lalu apa saja yang Paman Hadley katakan semalam?”
“Dia hanya ingin mengucapkan selamat malam padamu. Itu saja.”
“Benarkah?”
“Benar, Sayang. Untuk apa Ibu berbohong?”
Aaron nampak kesal. Rupanya penjelasanku barusan tak bisa mengobati kekecewaannya karena gagal berbicara dengan Hadley. Padahal aku juga sudah mengatakan bahwa hari ini lelaki itu akan datang ke rumah. Di luar dugaan, Aaron nampak biasa saja seolah tak percaya dengan apa yang kuucapkan padanya.
Tak kekurangan akal, aku bergegas kembali ke kamar. Mengambil ponsel, lantas mengirim pesan singkat untuk Hadley.
Kriiing…! Kriiing…!
Tanpa menunggu terlalu lama, sudah ada telepon masuk di HP-ku. Syukurlah, dengan begitu Aaron tidak akan merajuk lagi.
“Lihat, siapa yang menelepon Ibu?” godaku pada bocah itu.
“Siapa?”
“Paman Hadley. Tadi Ibu sudah—”
“Dia tidak mungkin menelepon sepagi ini.”
“Jadi kau tidak ingin bicara dengannya?” Aku menerima panggilan telepon itu. Sejurus kemudian, terdengar suara Hadley dari seberang sana. “Halo, maafkan aku, Tn. Hadley. Aaron sedang tidak ingin—”
“Tidak! Tidak, Bu. Berikan padaku,” teriaknya keras. Aku terkekeh melihat tingkahnya yang lucu. Meski merasa tak enak karena sudah mengganggu Hadley sepagi ini, tapi aku tidak punya pilihan. Biarlah Aaron menuntaskan kerinduannya. Lagi pula jika Hadley menelepon bukankah itu artinya ia tak terlalu sibuk?
“Paman, kata Ibu kau akan kemari.”
Aku menggelengkan kepala. Entah apa yang Hadley pikirkan saat mendengarnya tadi, tapi yang jelas aku lega melihat Aaron kembali ceria. Dan aku harap lelaki itu menepati janjinya untuk datang kemari dan menemani anakku di rumah.
“Apa ini? Bukannya dulu aku tidak suka jika dia datang ke sini?” cepat-cepat kubuang pikiran aneh itu. Apa pun yang terjadi, ini semua demi Aaron. Ya, demi dia.
“Tunggu sebentar…!” Aku segera pergi begitu mendengar ada yang mengetuk pintu. Mungkin Jimmy. Biasanya ia memang seperti itu. Hanya mengetuk tanpa berteriak memanggil namaku ataupun Aaron. “Baguslah kau sudah….”
“Boleh aku masuk?”
Aku terhenyak. Menatap lekat-lekat wajah seseorang yang kini berdiri di hadapanku. Tak ada siapa pun yang menemaninya. Ia datang sendiri sambil menenteng tas kardus berukuran sedang. Entah apa isinya, tapi yang aku tahu benda tersebut tak lebih dari umpan untuk menarik perhatian Aaron. Dan kehadirannya di rumah ini hanya akan mengusik ketenangan kami.
Ah, seandainya tak ingat bahwa Aaron masih ada di dalam pasti sudah kuusir ia dari sini. Tapi sial, satu-satunya hal yang bisa kulakukan hanyalah membiarkannya masuk ke dalam.
Tenanglah, Emma. Kau berada di rumahmu sendiri sekarang, jadi dia tidak akan berani macam-macam terhadapmu. Tidak sama sekali.(*)
Bersambung….
Tentang Penulis:
Triandira, penyuka fiksi yang belum bisa move on dari mi ayam dan durian. Jika ingin menghubunginya bisa melalui akun FB dengan nama Triandira Email: triwahyuu01@gmail.com
Blurb: Aaron Smith
Keteguhan hati Emma diuji ketika mantan mertuanya, Alfred hendak merebut Aaron darinya–menukarnya dengan uang yang sangat besar. Bocah yang terlahir genius tersebut memiliki kemiripan fisik seperti ayahnya, George. Bertolak belakang dengan sang anak, Gorge justru terlahir sebagai penderita autis yang mengalami tekanan mental selama hidup bersama Alfred. Hal yang kemudian menjadi alasan Emma untuk membenci lelaki itu.
Hadley, tangan kanan Alfred diperintahkan untuk mendekati Emma supaya mau menyerahkan Aaron. Namun, selama misinya itu, Hadley semakin dekat dengan Aaron dan Emma. Apakah Hadley membantu Emma demi cinta, atau memilih uang dengan menghianati Emma dan menyerahkan Aaron kepada Alfred?
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita