Aaron Smith 4
Oleh: Triandira
Cinta Tiga Lelaki
“Hai, Nenek Mary,” sapa Aaron setelah tak kunjung mendapatkan respons dari ibunya. Mary yang duduk di sampingku langsung melepaskan pelukannya, dan membalas uluran tangan bocah itu.
Mereka terus bercakap-cakap tanpa memedulikan aku yang masih sibuk memerhatikan kertas pemberian Aaron. Di sana ada gambar yang membuat dahiku berkerut. Tiga orang yang saling bergandengan tangan. Dua lelaki berambut pendek dengan tinggi badan yang berbeda, dan satu wanita berambut panjang di sebelah kanannya. Di bawah masing-masing gambar, terdapat sebuah tulisan. Nama yang tertulis dengan huruf besar.
“Hai, Sayang. Bagaimana kabarmu?” Mary membalas ucapan anakku, lalu melirik benda yang kupegang. “Wah, kau semakin pintar menggambar sekarang.”
“Benarkah?”
“Ya. Gambarmu sangat bagus. Bukan begitu, Em?”
Senyum di wajah Mary seketika memudar begitu memandangku. Sepertinya ia mengerti bahwa aku tak ingin berbincang lagi sekarang. Raut mukaku yang menegang menunjukkan hal itu.
Mary bangkit dari tempat duduknya, lantas mengusap pelan pipi Aaron. Bocah tersebut nampak bingung dan hanya berdiri sambil menatapku.
“Baiklah, kalau begitu aku permisi dulu,” pamitnya kemudian.
Aku mengantar wanita itu sampai depan pintu. Mengucapkan terima kasih dan meminta maaf terhadapnya atas sikapku barusan.
“Datanglah ke rumah jika kalian sedang tidak sibuk nanti,” ia kembali berucap sebelum menghilang dari hadapan kami.
“Tentu.”
Mary melangkah pergi. Pulang menuju rumahnya yang berjarak beberapa meter saja dari tempatku berdiri saat ini. Juga Aaron, yang tak henti menarik ujung bajuku tanpa mengucapkan apa-apa.
***
Jam menunjukkan pukul delapan, tapi Aaron belum juga tidur. Ia nampak gelisah. Berulang kali kulihat anak itu menghela napas. Sebentar memejamkan mata, lalu kembali terjaga. Mungkin ia belum mengantuk, berbeda denganku yang sudah berulang kali menguap.
Malam kian dingin. Embusan angin yang bertiup kencang menerobos masuk melalui celah dinding. Pun jendela dekat pintu yang masih terbuka.
“Ibu, boleh aku menelepon Paman Hadley?”
“Tidak.”
“Sebentar saja,” rengek Aaron. Menghampiriku dengan wajah memelas. Berharap agar keinginannya dikabulkan. Tapi bukannya kasihan, aku malah merasa kesal mendengarnya.
“Untuk apa?”
“Hanya ingin mengucapkan selamat malam.”
Kututup gorden jendela setelah menguncinya rapat-rapat. Kemudian menoleh ke arah Aaron yang belum beranjak pergi meski aku sudah menyuruhya kembali ke kamar. Entah apa lagi yang diinginkannya sekarang.
“Kau tidak perlu melakukannya,” balasku dengan maksud yang sama. Tak mengizinkannya untuk menghubungi Hadley.
“Kenapa?”
“Mungkin dia sudah tidur sekarang, jadi tidak baik mengganggunya.”
“Tapi ini belum terlalu malam.”
Rupanya bocah itu belum mengerti juga dengan ucapanku. Ia tetap bersikukuh dan memaksaku agar menyetujui permintaannya. Benar-benar membuatku kesal. Tidak adakah hal lain yang ia pikirkan selain Hadley? Ah, menyebut namanya saja sudah membuat dadaku terasa sesak.
Mungkin sikapku sedikit berlebihan, tapi setiap kali mengingat sosok Hadley yang bekerja demi seseorang yang kubenci, tentu aku harus tetap waspada. Karena itulah aku tidak suka melihat Aaron terlalu dekat dengannya.
Bagaimana jika apa yang kukhawatirkan selama ini ternyata benar. Bukankah akan lebih menyakitkan lagi bagi Aaron. Jadi sebelum terlambat, aku akan mencegahnya. Melindungi putra George dari orang-orang yang tidak tulus menyayanginya. Dan kuharap, keputusanku ini sudah tepat.
“Ibu tidak akan berubah pikiran,” tegasku pada bocah itu. “Jadi cepat kembali ke kamarmu sekarang.”
“Lima menit saja. Setelah itu aku janji—”
“Berhenti merengek, Aaron! Kau tidak dengar apa yang Ibu ucapkan?”
Ia tersentak. Menatapku dengan mulut yang tertutup rapat usai aku membentaknya. Baru kali ini aku kehilangan kendali. Memarahi bocah yang sangat kubanggakan hingga ia terlihat ketakutan.
Aaron memang anak yang istimewa. Di usianya yang masih muda, ia sudah menunjukkan kecerdasan layaknya anak yang lebih tua darinya. Ia bahkan suka berhitung, dan sering memintaku untuk menemaninya belajar. Mengerjakan beberapa soal yang sengaja kubuatkan untuknya.
Sebagai anak yang memiliki rasa keingintahuan yang besar, aku tidak serta merta mengajarkan Aaron banyak hal. Terutama yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan. Bagaimanapun juga, ia berhak menikmati masa kecilnya. Bermain dengan teman-temannya, dan mengenal kehidupan sosial di sekitarnya.
“Maafkan Ibu, Sayang. Ibu tidak bermaksud membentakmu.”
Aaron menunduk. Kemudian mendongakkan kepala ketika aku menjongkokkan badan. Memandangnya dengan wajah menyesal. “Lalu kenapa Ibu marah tadi?”
“Karena sudah seharian ini kau terus-menerus menanyakan Paman Hadley.”
“Apa itu salah?”
“Tidak. Tapi Ibu…,” aku menghentikan kalimatku. Tak sanggup lagi mengatakan alasan yang sebenarnya pada Aaron.
“Dia baik jadi aku suka bermain dengannya. Apa Ibu tau? Paman Hadley bahkan lebih kuat dari Ayah. Dia selalu—”
“Jangan samakan dia dengan ayahmu, Aaron!” tanpa sadar aku kembali membentaknya. Sesaat ia terdiam, lalu meninggalkanku sendirian di ruangan itu. Ia berlari menuju kamar dengan tangis di wajah. Menjauh dariku yang telah menyakiti hatinya.
***
Aku duduk di bangku panjang sebuah taman. Menanti kedatangan seseorang yang sudah berjanji untuk bertemu denganku hari ini. Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya ia muncul juga. Berjalan ke arahku sambil merapikan rambutnya yang tertiup angin.
Mengenakan dress hitam berpadu jas lengan panjang, juga sepatu berhak tinggi dan syal yang melingkar di lehernya, gadis itu terlihat cantik. Pantas saja jika selama ini banyak lelaki yang menyukainya hingga ingin menjadikannya pacar.
“Hai, Em.” Wangi parfum Janeth seketika tercium begitu ia menempelkan pipinya ke wajahku, kebiasaan kami saat bertemu atau hendak berpisah. “Tadi masih banyak yang harus kukerjakan, jadi maaf sudah membuatmu menunggu cukup lama.”
“Tidak masalah, Jane.”
Suasana taman kala itu tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa pengunjung yang sedang menikmati sore sambil duduk di atas rerumputan. Tak jauh dari tempat di mana Aaron dan teman-temannya sedang asyik berlarian. Mengejar bola yang menggelinding usai mereka bergantian menendangnya.
Dulu, aku dan George juga pernah mengajak Aaron ke sini. Mengajari bocah itu berjalan dan menangkap mainan yang kami lemparkan padanya. Tingkahnya lucu saat terjatuh. Meski menangis tapi ia kembali berdiri, lalu melangkahkan kakinya lagi—mengikuti George yang berada di depannya sembari mengulurkan tangan.
“Jadi, apa yang ingin kau ceritakan padaku?” suara Janeth membuyarkan lamunanku.
“Ah, maaf. Kau bilang apa tadi?”
Kami bertatapan. Di detik berikutnya, Janeth menyadarkanku tentang tujuan kami datang kemari, “Untuk apa kita bertemu di sini? Pasti ada hal penting yang ingin kau bicarakan, bukan?”
“Iya. Ini tentang Tn. Hadley.”
“Ada apa, Em? Sepertinya ini masalah yang serius.”
“Sepertinya Aaron sangat menyukai pria itu.”
“Lantas?”
“Apa maksudmu, Jane? Tentu saja aku mengkhawatirkannya.”
Janeth menggeleng pelan. Ia terdiam sejenak sebelum akhirnya mengejutkanku dengan perkataan yang tak masuk akal. Bagiku, saran yang ia berikan adalah hal konyol yang tak mungkin kulakukan.
“Jangan berlebihan, Emma. Apa kau tidak merasa kasihan pada Aaron?” gumamnya lagi. Aku tersentak. Ini bukan pertama kalinya aku bercerita kepada Janeth mengenai Hadley, tapi mengapa reaksinya seperti itu. Ah, tentu saja. Ia tidak akan sepenuhnya mengerti jika aku belum memberinya bukti.
“Tunggu sebentar.” Aku merogoh tas bertali panjang yang kubawa. Mencari sesuatu yang yang kuselipkan di salah satu bagian. “Lihatlah. Apa wajar jika Aaron memikirkan hal semacam ini? Tidak, Jane. Aku tidak akan sanggup jika sampai ia melupakan ayah kandungnya sendiri.”
Gadis itu tidak berkomentar. Ia hanya tertunduk memerhatikan gambar, juga tulisan yang terdapat di lembar kertas yang kuberikan.
“Sekarang kau mengerti maksudku, bukan?”
“Tidak.”
“Apa? Lihatlah sekali lagi. Nama siapa yang tertulis di sana?”
“Aku yakin Aaron hanya ingin mengungkapkan perasaannya saja, lalu apa masalahnya? Em, kau tau benar dia sedang membutuhkan sosok Ayah. Dan saat ini Tn. Hadleylah yang sedang dekat dengannya. Jadi wajar bukan jika anakmu bersikap demikian?”
“Wajar kau bilang? Lantas bagaimana dengan George?”
“Sampai kapan pun George adalah ayah bagi Aaron, dan tidak ada yang bisa mengubah hal itu. Tapi jangan lupa, Em, bagaimana kondisi kalian sekarang. Apa kau tega memisahkan Aaron dari lelaki yang bisa membuatnya tersenyum?”
Kutatap wajah Janeth dengan cairan bening yang sudah menggenang di pelupuk mata. “A—aku tidak tau. Tapi yang jelas aku tidak ingin melihat Aaron terluka lagi.”
“Kalau begitu biarkan dia bahagia.”
“Dengan Tn. Hadley di sisinya begitu?”
“Ya,” sela Janeth. “Dia tidak akan melupakan George hanya karena kehadiran Tn. Hadley, Em. Jadi berhentilah memikirkan hal ini, oke?”
“Aku harap juga begitu.”
Kami terdiam dan sama-sama menatap lurus ke depan. Menyaksikan Aaron dari kejauhan yang sedang tertawa bersama Louis, salah satu temannya yang tinggal di sekitar sini. Mereka… terlihat begitu bahagia.
***
Maafkan aku, tapi dia sudah tidur sekarang.
Aku mengapit ponsel menggunakan bahu dan kepala yang memiring ke kanan, lalu mengambil selimut tebal yang terlipat rapi di bagian bawah ranjang. Sejurus kemudian, tubuh Aaron sudah tertutup kain bermotif garis tersebut.
Bocah itu nampak pulas. Dari wajahnya yang berkeringat, terlihat sekali jika ia kelelahan. Seharian ini Aaron memang melakukan banyak aktivitas, termasuk saat aku mengajaknya ke taman tadi.
Tidak apa-apa. Besok ketika ia sudah bangun, akan kusampaikan pesanmu padanya. Baiklah kalau begitu, selamat malam Tn. Hadley.
Obrolan terputus usai Hadley berterima kasih padaku. Sebenarnya ia menelepon untuk berbicara dengan Aaron. Ingin mengucapkan selamat tidur katanya.
“Sudah sedalam apa ikatan hati di antara kalian? Bahkan sekarang kau mengerti apa yang Aaron pikirkan,” gumamku tanpa suara sembari meletakkan ponsel di atas meja. “Apa yang harus kulakukan, George? Apa salah jika aku mencemaskan keadaan putra kita?”
Kuusap pelan foto George yang terpajang di dinding. Seketika bayangan masa lalu tentang suamiku itu kembali menyelinap. Berbagai kenangan yang telah kami lewati bersama, tergambar samar di benakku.
“Kau menyukainya, ya?” George menyentuh kaki Aaron yang bergerak tak keruan ketika aku memandikannya. Menimbulkan cipratan air yang mengenai wajah lelaki itu. Membuatnya gemas hingga terpingkal-pingkal. “Dia tidak mau berhenti, Em. Lihatlah ini.”
“Ya, semua bayi melakukannya, George.”
“Bermain air?”
“Ya. Aku yakin dulu kau juga seperti itu.” Suamiku itu menggeleng cepat, lalu menunduk seperti biasanya ketika ia merasa malu. Dan di saat itulah ia terlihat lucu. Tak kalah dari Aaron yang masih balita.(*)
Bersambung….
Tentang Penulis:
Triandira, penyuka fiksi yang belum bisa move on dari mi ayam dan durian. Jika ingin menghubunginya bisa melalui akun FB dengan nama Triandira
Email: triwahyuu01@gmail.com
Blurb: Aaron Smith
Keteguhan hati Emma diuji ketika mantan mertuanya, Alfred hendak merebut Aaron darinya–menukarnya dengan uang yang sangat besar. Bocah yang terlahir genius tersebut memiliki kemiripan fisik seperti ayahnya, George. Bertolak belakang dengan sang anak, Gorge justru terlahir sebagai penderita autis yang mengalami tekanan mental selama hidup bersama Alfred. Hal yang kemudian menjadi alasan Emma untuk membenci lelaki itu.
Hadley, tangan kanan Alfred diperintahkan untuk mendekati Emma supaya mau menyerahkan Aaron. Namun, selama misinya itu, Hadley semakin dekat dengan Aaron dan Emma. Apakah Hadley membantu Emma demi cinta, atau memilih uang dengan menghianati Emma dan menyerahkan Aaron kepada Alfred?
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita