Aaron Smith 2
Oleh: Triandira
Pertemuan Singkat
Pemakaman George berjalan dengan lancar. Beberapa kerabat masih terus berdatangan sampai ketika jasad suamiku sudah berada di tempat peristirahatan terakhirnya. Mereka bergantian menghampiriku dengan tangis di wajah. Menyampaikan ucapan bela sungkawa dan membisikkan sesuatu yang membuatku kembali meneteskan air mata, memintaku agar tabah atas semua yang telah terjadi.
Janeth, sahabatku pun juga melakukan hal yang sama. Ia bahkan langsung mendatangiku begitu kabar duka ini sampai ke telinganya. Gadis berambut pirang itu adalah salah satu orang terdekat yang mengerti betul dengan kesedihan yang tengah kurasakan saat ini. Bagaimana tidak jika selama empat tahun bersahabat dengannya, akulah orang yang pertama kali ia tuju ketika hatinya sedang merasa sedih atau gembira. Ya, kami memang sering bertukar cerita saat bertemu. Terkadang juga melakukan obrolan lewat telepon.
Suamiku sendiri sudah mengenal Janeth sejak lama, tepatnya saat aku masih bekerja di sebuah klinik kesehatan. Mereka bertemu usai aku membantu George menjalani terapi khusus untuk penderita autis.
“Jadi dia yang sering kau ceritakan padaku?” goda Janeth kala itu. Memandang pasienku dari balik ruangan tempat kami berbincang.
“Belakangan ini keadaannya mulai membaik, dan—”
“Kau menyukainya.”
“Apa?”
“Ayolah, Em. Kau tidak bisa menyembunyikannya lagi sekarang. Jadi bagaimana?”
“Tidak. Sepertinya kau salah paham.”
Janeth tersenyum, lalu melirik sekilas ke arahku. “Cukup tampan, bukan?”
“Ya.”
“Apa dia penggemar cokelat sepertimu?”
“Entahlah. Sepertinya begitu.”
“Astaga, apa ini? Jadi kalian tidak pernah berkencan?”
Aku menggeleng pelan. Menatap gadis di sampingku yang sejak kecil memiliki fobia terhadap ketinggian. Bahu kirinya bersandar di sisi tembok bercat putih, sedangkan jarinya menopang dagu.
“Tidak, untuk apa melakukan hal itu?” balasku kemudian.
“Hm… maafkan aku, George. Kurasa Emma memang tidak menyukaimu.”
“Apa?” Aku membalikkan badan dan baru menyadari bahwa lelaki yang sedang kami bicarakan sudah berdiri di belakangku. “Ah, tidak. Bukan begitu.”
“Lantas?” sela Janeth. George tersenyum. Menunduk sesaat sambil mengusap dahinya yang berkeringat, lalu memandangku seperti hendak mengatakan sesuatu.
“Apa ada yang ingin kau katakan?” tanyaku sedikit gugup.
“Tidak.”
“Bagus. Kenapa kalian tidak pergi bersama?” Janeth kembali usil. Melempar pandangan ke arahku dan George bergantian.
“Pergi?”
“Ya, George. Kau bisa mengajaknya jalan-jalan.”
“Ah, tidak. Kurasa itu bukan ide yang bagus. Lagi pula—”
“Besok kau libur bekerja, bukan?”
“Ya.”
“Itu dia. Kau dengar, George? Emma sudah setuju, dan kalian bisa pergi berdua nanti.”
Janeth terkekeh usai aku meliriknya dengan pipi yang bersemu merah. Sementara lelaki di dekat kami semakin terlihat gugup. Entah apa yang dipikirkannya saat itu, tapi yang jelas aku menangkap binar kebahagiaan di matanya.
Berawal dari sanalah, hubunganku dengan George semakin erat. Aku senang berteman dengannya. Ia bukan hanya sosok yang baik, tapi juga humoris. Tak jarang aku tertawa lepas ketika mendengar lelucon yang ia buat. Ah, andai saja ia masih ada, tentu aku tidak akan menangis seperti ini. Berdiri di dekat pusaranya bersama Aaron buah hati kami.
“Ayo, Em,” ajak Janeth membuyarkan lamunanku.
“Bisakah…?”
Ia menghela napas, lalu mengusap bahuku yang tertutup kain hitam. Senada dengan baju yang ia kenakan. “Baiklah. Kalau begitu akan kubawa Aaron pulang bersamaku.”
“Terima kasih, Jane. Aku janji tidak akan lama.”
“Sebaiknya begitu. Cepatlah pulang sebelum hujan turun nanti.”
“Tentu.”
Aaron mengecup pipiku. Sesaat kemudian, jemarinya yang mungil menggenggam erat tangan gadis yang biasa kupanggil Jane itu. Mereka pergi meninggalkan area pemakaman yang kini terlihat sepi. Hanya ada beberapa pelayat yang masih berbincang dan memandangku dari kejauhan, termasuk ayah George. Lelaki berjas hitam yang sekarang berjalan mendekat ke arahku.
Sudah cukup lama aku tak melihatnya. Alfred semakin terlihat tua dengan uban dan keriput yang bergaris di sekitar pelipis.
“Bagus sekali. Kau sudah membuktikan janjimu.”
“Itu di luar kendaliku.”
“Benarkah?” potongnya tak terima dengan kalimat yang kulontarkan barusan. “Apa kau pikir George melakukannya tanpa sengaja? Jangan bodoh, Emma.”
“Ia tertekan dan kau tau itu, Tn. Alfred.”
“Jadi sekarang kau sudah menyadarinya?” sindirnya memojokkanku. Aku menghela napas mendengar setiap kata yang keluar dari mulutnya. ”Seharusnya aku tak pernah membiarkan George menikah denganmu.”
Alfred memakai kembali kacamata hitam yang sempat ia lepas sebelum mendatangiku. Mengarahkan pandangannya sejenak pada makam yang ada di depannya, lalu melangkahkan kaki menuju tempat di mana mobilnya terparkir tadi.
Sebagai orang yang sama-sama kehilangan George, aku pun bisa merasakan kesedihan yang tengah Alfred rasakan saat ini. Tapi itu takkan mengubah pandanganku terhadapnya. Bagiku, ia tetaplah sosok yang kejam dan arogan.
“Setidaknya George pernah bahagia karena tinggal bersama orang-orang yang tulus menyayanginya,” gumamku menghentikan langkah lelaki itu. “Hal yang tidak bisa ia dapatkan darimu, Tn. Alfred.”
“Bahagia kau bilang? Lihat di mana kau berada sekarang.”
Aku terhenyak. Mendengar apa yang kakek Aaron ucapkan benar-benar membuat hatiku terluka. Seketika aku tak sanggup lagi bicara, dan hanya menatap kepergiannya dengan linang air mata.
***
“Jangan terlalu memikirkannya. Bukankah masih ada Aaron?” Janeth menyodorkan segelas air putih dan kembali duduk di sampingku. Seperti biasa, ia selalu menghiburku ketika aku merasa sedih.
“Bagaimana mungkin aku tidak memikirkannya? Kau tau kan, aku….”
Gadis itu merengkuhku dalam dekapannya. Untuk beberapa saat, aku menumpahkan semua kesedihan yang selama ini kupendam.
“Aku takut, Jane,” ujarku lirih dengan isak yang tertahan.
“Tidak. Apa yang kau takutkan? Kau tidak sendirian, Em. Ada aku di sini,” Janeth kembali bersuara. Memberiku keyakinan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Aku beruntung memiliki sahabat sebaik dirinya. Janeth memang sosok yang usil dan terkadang menyebalkan, tapi kehadirannya sangat berarti dalam hidupku.
“Aaron… dia masih terlalu kecil untuk bisa memahami semuanya.”
“Ya. Aku tau itu, tapi percayalah dia adalah bocah yang kuat dan pemberani. Bukankah dia anakmu dan George?”
“Ya, kau benar. Dia seperti George.”
Janeth tak membalas ucapanku lagi. Ia hanya menganggukkan kepala sembari tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Tak berselang lama, bocah yang kami bicarakan muncul dari balik pintu kamar. Memandang ibunya dengan wajah kebingungan.
“Kau sudah bangun, Sayang?” Kuhampiri Aaron yang sedang berdiri sambil celingukan, mencari seseorang.
“Ibu.”
“Hm?”
“Aku lapar.”
“Kau lapar?” Ia menganguk pelan. Menggembungkan pipinya yang chubby dan tampak menggemaskan. “Duduklah di sana sementara Ibu mengambilkan makanan untukmu. Oke?”
Sembari menungguku kembali dan membawakannya sepiring nasi, Aaron menghampiri Janeth, lantas bercengkerama riang. Sahabatku itu memang pandai menarik perhatian bocah lelaki di sampingnya. Mereka bahkan terlihat akrab layaknya adik dan kakak. Jadi tak heran jika Aaron merasa nyaman ketika gadis tersebut datang ke rumah.
“Lihat apa yang Ibu bawa,” ujarku sembari menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya, juga potongan nugget dan sayur kesukaannya. “Kenapa, Sayang. Bukankah kau menyukainya?”
Bocah itu terdiam, tak mau lagi menyantap makanan yang kuletakkan di atas meja. Saat aku hendak menyuapinya lagi, ia beringsut turun dari kursi. Masuk ke dalam kamar, tempat di mana George biasa merebahkan tubuh ketika merasa lelah.
“Ayah! Ayah!” teriak Aaron.
“Sayang, dengar. Ayah sedang pergi jauh, jadi—”
“Ke mana, Bu?”
“Ehm… begini, Sayang.”
“Kenapa tidak mengajakku?” selanya sekali lagi. Membuatku tak mampu melontarkan sepatah kata pun.
“Ibu, Ayah mana? Aku mau makan sama Ayah.”
Janeth menghampiriku. Jemarinya yang lentik langsung meraih piring yang kupegang, lalu menyodorkannya pada Aaron.
“Lihat, ini sangat lezat, bukan?”
“Hm.”
“Bagaimana jika kita menghabiskannya bersama-sama.”
“Tidak. Aku mau sama Ayah, Bi.”
“Lalu bagaimana dengan Bibi? Ah, padahal Bibi sangat lapar.”
Aaron terpingkal melihat tingkah Janeth yang lucu. Gadis itu mengelus-elus perutnya dengan wajah memelas.
“Baiklah, sekarang aku makan sama Bibi.”
“Bagus sekali.”
“Kalau Ayah sudah pulang, aku bisa makan lagi nanti,” tak pernah terbayang olehku sebelumnya Aaron akan mengatakan hal semacam itu. George memang seorang Ayah yang memiliki kekurangan, tapi bagi kami, ia adalah sosok yang sangat berharga.
Kepergian George menjadi pukulan berat bagiku. Terlebih ada putra yang harus kubesarkan seorang diri. Tanpa sosok seorang Ayah, ditambah kebencian dari kakeknya.
George, kau mendengarnya? Dia mencarimu sekarang.
***
Aku sedang sibuk menyiapkan sarapan untuk Aaron. Beberapa potong roti dengan isian keju di dalamnya, juga segelas susu cokelat yang sangat ia suka. Hari ini memang banyak yang harus kukerjakan, karena itulah aku sengaja membuat menu sederhana yang tak banyak menguras waktu.
“Hm… baunya lezat sekali.”
“Tidak, Aaron. Jangan seperti itu,” cegahku ketika melihatnya hendak meraih sepotong roti di atas meja. “Cuci tanganmu terlebih dahulu.”
“Tapi ini bersih.”
“Aaron.”
“Ya, baiklah.”
Ia berlari menuju tempat yang biasa kugunakan untuk mencuci piring. Menyalakan keran dan membilas tangannya hingga bersih, tanpa menyisakan busa sabun sama sekali. Kemudian duduk di kursi sambil menikmati roti yang sudah kubuat.
Aaron menikmati sarapannya dengan lahap. Sementara aku membersihkan lantai dari pecahan gelas yang terjatuh, setelah tanpa sengaja menyenggolnya.
“Ibu, Ayah lama sekali pulangnya.”
“Itu karena pekerjaannya banyak, Sayang,” balasku sambil memalingkan wajah.
“Benarkah?”
“Ya.”
“Lalu Paman Hadley?”
Aku menoleh. Baru sekarang bocah itu menanyakan seseorang selain ayahnya. Dan entah mengapa, mendengar nama Hadley disebut, perasaanku jadi tak keruan. Aku harap lelaki itu tak pernah datang lagi kemari.
“Kenapa kau menanyakannya?”
“Aku suka bermain dengan Paman Hadley. Kapan dia ke sini lagi?”
“Entahlah. Mungkin dia sedang sibuk,” jawabku sekenanya. Seketika raut muka Aaron berubah cemberut. Ia nampak kesal dan tak lagi bertanya.
Tok! Tok! Tok!
Usai meletakkan sapu di tempat semula, aku bergegas keluar. Menuju teras setelah mendengar seseorang sedang mengetuk pintu.
“Tn. Hadley,” gumamku dengan raut muka terkejut.
“Halo, Nyonya. Maaf mengganggumu sepagi ini.”
Belum sempat aku membalas kembali ucapannya, tiba-tiba Aaron sudah berlari dan memeluk Hadley yang tersenyum ramah. Bersorak riang menyambut kedatangan tamunya itu. Sedangkan aku masih terdiam dengan benak penuh tanya. Sejak kapan ia menjadi seperti ini? Bukankah mereka jarang bertemu?
Bersambung….
Tentang Penulis:
Triandira, gadis penyuka senja yang kini tinggal di kota apel. Penggemar berat Spongebob dan Harry Potter ini sangat menyukai cerita bergenre horror juga thriller.
Fb: Triandira
Email: triwahyuu01@gmail.com
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita