A Tavern for Tea
Oleh: Auralia Sazka
Aku membuka kedai milikku sejak dua jam lalu. Seperti biasa, itu kosong tanpa pelanggan satu pun. Dengan lampu remang-remang, aku berdiri sendirian di belakang meja konter. Ya, memang kedai ini dikhususkan untuk orang yang memerlukan bantuan.
“Sepertinya, memang akhir-akhir ini semua orang sedang tidak memiliki masalah,” ucapku dengan bangga.
“Aku ingin membersihkan persediaan.”
Suara bel kecil berdering, pintu kedai terbuka. “Oh, ada pelanggan?”
Seseorang yang berpakaian seperti petualang masuk, kemudian dia langsung duduk di kursi konter.
Dia berambut hitam pekat, dengan baju yang penuh dengan debu. Wajahnya pucat, terdiam, dan menatapku kosong.
Aku mencoba untuk membuka percakapan. “Malam ini sedikit dingin bukan?”
Dia terdiam lagi. Aku mencoba untuk sabar. Aku yakin dia memiliki masalah yang berat sehingga membuat lidahnya kelu untuk berbicara.
“Kamu ingin minum apa?” Aku bertanya lagi.
“Tidak tahu,” jawabnya. Embusan napas keluar dari mulutnya ketika anak itu berbicara, sepertinya dia kedinginan.
Aku tersenyum tipis. “Tidak apa-apa, jangan terlalu terburu-buru. Buatlah dirimu nyaman terlebih dahulu. Minum ini agar badanmu hangat.” Aku menyodorkan gelas kecil isi susu panas kepadanya. Tangan pucatnya meraih benda itu dengan gemetar.
Aku duduk menunggu dia selesai meminum susu panas. Setelah dirasa cukup, dia meletakkan gelas itu pada meja.
“Baiklah, kamu ada ide apa lagi? Apa kamu masih merasa haus? Ingin memesan minuman yang kamu suka?”
“Aku … aku ingin sesuatu yang dapat menenangkan kegelisahan hati,” jawabnya pelan.
Segera kuambil tekoku dan bahan-bahan yang akan kuseduh.
“Hmm … bagaimana dengan minuman klasik musim dingin?” tawarku.
“Boleh … kedengarannya enak.”
Aku mengangguk lalu mengambil daun teh musim semi, tonik gelap dan biji pedas. Kuseduh dan kutuangkan tehnya ke dalam sebuah cangkir dengan pelan dan lembut.
“Silahkan dinikmati.”
Dia meniupnya, mencicipinya sedikit. Aku takut itu bukan seleranya. Ekspresinya sedikit membuatku khawatir tentang itu.
“Enak…” ucapnya. Dia memperlihatkan sebuah senyum tipis yang membuat hatiku lega.
Sementara dia menikmati tehnya, aku mendekatkan kursiku padanya.
“Apa yang membuatmu tertarik kemari?” tanyaku.
“Karena, aku melihat itu, ” ucapnya sambil menunjuk poster buatanku di dinding kedai samping pintu masuk. Yang bertuliskan, A Tavern for Tea. “Aku dengar dari gosip ada kedai ajaib yang hanya bisa dilihat orang-orang tertentu.”
“Itu aku buat sendiri dengan tulisan tanganku. Memang tidak sebagus yang lain, namun aku merasa bangga dengan itu.”
“Oh. Bukan begitu, itu indah kok,” puji anak muda itu.
“Seharusnya kamu tahu peraturan kedaiku, ‘kan? Kamu dan aku hanya sebatas pelanggan dan penjual. Tidak ada yang boleh berkata kasar padaku atau pelangganku yang lain karena kasta kalian sama di kedaiku.” Aku menjelaskan.
“Kemudian, kamu tidak boleh mengucapkan namamu, kecuali itu nama samaranmu. Juga kamu pasti sedang ada masalah, bukan? Kamu terlihat cemas dan gugup. Kedai ini hanya bisa dilihat oleh orang yang membutuhkan. Kamu tak apa? Kamu bisa bercerita tentang masalahmu, apa pun itu.” Aku melanjutkan.
Ada alasan kenapa kedaiku memiliki aturan seperti itu. Itulah mengapa aku mempertegas pertanyaanku pada anak di depanku ini.
Dia hanya terdiam. Sepertinya aku terlalu berlebihan.
“Benarkah?” tanyanya.
“Tentu saja, kedai ini memang untuk tempat pelampiasan, terkadang ada yang menunjukkan bekas luka karena masalah mereka. Biasanya jika masih baru, aku akan mengobatinya dengan sihirku. Sedangkan jika berbekas, aku akan memberikan obat agar bekas itu hilang. Ada juga yang menangis di kedaiku. Tenang saja, masalahmu aman dan terjaga bersamaku,” jelasku sambil tersenyum padanya.
Dia terdiam sejenak, mengatur napasnya perlahan. Kutunggu dengan sabar.
“Aku lelah … aku lelah berpetualang, aku ingin istirahat, aku juga lelah bertarung dengan monster. Aku lelah menjadi warga yang tidak berguna, selalu dilecehkan dan juga diejek. Aku juga lelah dengan semua masalah keluargaku. Aku selalu jadi tempat pukulan untuk orang tuaku dan kakak-kakakku.”
Anak muda itu meneteskan air matanya. Kubiarkan dia menangis dengan luap, kubiarkan dia bercerita tentang semua masalahnya, aku mendengar dengan seksama sambil sesekali mengusap punggungnya.
Aku tidak bisa memberi kata-kata manis untuk menyemangati mereka, atau pun membantu menyelesaikan masalah mereka. Yang hanya bisa kulakukan adalah mendengarkan cerita mereka dan menjadi tempat rangkulan untuk menangis. Aku yakin itu sudah cukup untuk mereka daripada kata-kata klise seperti kata semangat.
Dia berhenti menangis setelah lima belas menit berlalu.
“Sudah merasa lega?” tanyaku. Dia pun mengangguk.
“Syukurlah, aku senang bisa membantu.”
“Sekarang, aku mau bertanya, ” ujarnya. Kubalas dengan anggukan kecil.
“Mengapa kamu membuka kedai teh ini?”
Aku tersenyum. “Aku hanya seorang wanita penyihir yang menyukai teh. Kenapa aku tidak membuka kedai teh juga? Aku juga mendapatkan uang.”
“Sekarang jam berapa?” tanyanya.
“Hampir jam sepuluh malam,” ucapku sambil menunjuk arah jam di dinding.
Dia terlihat kaget dan beranjak dari kursinya. “Astaga, aku terlalu lama di sini. Aku bisa dimarahi,” ucap anak muda itu.
Dia memberikanku tiga koin emas sebagai bayaran dan buru-buru ingin pergi. Sebelum dia beranjak, aku menggenggam tangannya, menahannya untuk pergi.
“Tunggu.”
“Ada apa?”
Aku tersenyum, merapalkan sebuah sihir dan melepas sihir itu ke tangannya. Anak itu terlihat kebingungan dan takjub.
“Jangan terburu-buru, aku belum mengatakan kepadamu bahwa pelangganku akan selalu mendapatkan layanan baik.”
“Ini … badanku terasa lebih segar dan aku tidak merasa pusing lagi.” Dia terlihat senang. Aku hanya membalas dengan senyuman dan melepas tangannya.
“Terima kasih penyihir yang baik, aku pulang dulu. Aku akan ke sini lagi untuk minum teh buatanmu lagi. Lain kali, aku juga akan memberikan tip tambahan.” (*)
Auralia Sazka, gadis berusia 13 tahun. Penyuka anime, hobi menggambar sejak kecil. Tahun lalu, pernah belajar menulis di kelas gratis, kemudian langsung ikut parade menulis dan menerbitkan novel perdana: That Pale Girl, serta beberapa antologi kumcer bersama.
Editor: Imas Hanifah N
Gambar: Pixabay