A Review : Ketika Kenyataan Tak Seindah Harapan
Oleh : Ardhya Rahma
Judul : Boneka Kaca Bernama Gige
Penulis : Titin Akhiroh
Dimensi : 14 cm x 20 cm
Jumlah halaman : 310
Penerbit : Babad Bumi Publishing
Blurb :
Gige merupakan putri bungsu Keluarga Mananta yang terpandang dan kaya raya. Menjadi satu-satunya putri dalam keluarga, membuatnya selalu dimanja kemapanan dan kasih sayang. Ia selalu diperlakukan bak boneka kaca.
Kesempurnaan hidup berada dalam genggaman Gige. Bahkan, kecantikan dan kecerdasannya mampu membius dua lelaki tampan, yakni Ken dan Gibran.
Namun, ungkapan tidak ada hal sempurna memang benar adanya. Gige dipaksa menelan kenyataan pahit setelah mengetahui dirinya memiliki kondisi tak biasa.
Lalu, apakah ia sanggup menerima kondisi tubuhnya yang berbeda?
Mampukah ia mendapatkan kebahagiaan layaknya manusia normal?
Siapakah lelaki yang mampu menerima keadaan tak biasa si Bungsu Mananta?
Novel ini menceritakan tentang seorang gadis yang terlihat sempurna di mata orang lain. Terlahir cantik, pintar dan berasal dari keluarga kaya raya. Sayangnya, tidak banyak yang tahu bahwa sebenarnya gadis bernama Gige itu menyimpan duka lara yang tidak semua orang sanggup menanggungnya.
Seiring dengan usianya yang bertambah dewasa dan kecerdasannya yang ada di atas rata-rata, Gige menyadari ada hal yang tidak wajar terjadi pada dirinya. Perlindungan yang berlebihan dari kelima kakak lelakinya dan kedua orang tuanya membuatnya curiga.
Dengan kecerdasannya, Gige bisa mengetahui apa yang selama ini disembunyikan darinya: kondisi istimewa yang dia miliki sejak lahir. Gige ternyata adalah penyandang von Willebrand disease, sebuah penyakit bawaan yang langka, kondisi medis yang ditandai adanya pendarahan parah, tak terkendali, dan berhenti dalam waktu yang lebih lama saat terluka atau cedera. Hal ini terjadi karena darah tidak dapat membeku. Kelainan ini disebabkan karena kekurangan protein von Willebrand factor (VWF) dalam darah. Kelainan ini tentu saja berbahaya jika tidak ditangani dengan cepat dan benar. Luka kecil akan membuat pendarahan besar bagi penderita.
Kondisi kesehatan Gige itulah yang membuat dirinya dijaga oleh kelima kakak lelaki dan kedua orang tuanya bak boneka yang terbuat dari kaca dan mudah pecah. Persis seperti yang tergambar dengan apik dalam cover: boneka perempuan yang mengulurkan tangan dan ada tangan lain yang menyambutnya. Pilihan cover yang pas sekali.
Novel ini sekaligus juga menjadi sebuah bukti bahwa karya fiksi sekalipun butuh riset. Riset yang serius dan tidak asal-asalan. Karena hanya riset mendalam yang akan menghasilkan sebuah karya yang mendetail dalam penceritaan hingga membuat pembaca terlarut dan seolah mengalaminya sendiri saat membacanya. Tanpa riset mendalam, tidak mungkin penulis bisa menulis secara detail apa yang terjadi ketika Gige terluka. Apa yang dirasakan Gige juga keluarganya saat dirinya terluka tergambar dengan apik dalam novel ini.
Teknik showing dari penulis memang luar biasa. Kalimatnya efektif dan tidak berlebihan. Meskipun begitu, sebagai pembaca, saya bisa masuk dan larut dalam ceritanya. Saya bisa ikut membayangkan saat Gige terluka, sedih kehilangan cinta pertama, maupun saat dia bahagia.
Cara penulis memaparkan setting—entah itu dalam menggambarkan jarak atau cara memfokuskan tokoh pada keadaan sekitar—juga sangat bagus. Contohnya saat Gige bersekolah di luar negeri. Latar belakang tempat tergambar dengan apik, sehingga pembaca bisa ikut merasakan suasana kampus Gige di sana atau saat dia berjalan-jalan berkeliling kota. Rasanya, seolah-olah penulis sudah pernah ke sana (padahal katanya belum) dan mengajak pembaca ikut melihat apa yang ada di sekitar tokoh.
Sebagai editor, saya sudah menduga kalau perbendaharaan kata penulis sangat banyak dan itu terbukti dalam novel ini. Saya menemukan banyak kosakata baru yang sebenarnya pas digunakan setelah saya membuka kamus untuk mencari artinya. Namun, ini bisa menjadi kelemahan karena tidak semua pembaca merasa senang dan bersedia membuka kamus. Kalau hal itu terjadi sudah pasti kenikmatan dalam membaca menjadi terganggu. Karena tidak tahu artinya, mereka bisa saja melewatkan kata tersebut.
Kelemahan lain dari novel ini tidak banyak. Beberapa typo saya anggap wajar saja terjadi. Tidak ada yang sempurna dalam hidup ini, termasuk seorang editor yang sering koreksi naskah pun bisa melakukan salah ketik. Toh, cuma sedikit dan tidak bertebaran sepanjang cerita.
Namun, ada hal yang mengganggu saya. Layout minimalisnya sebenarnya cantik dan alih-alih dibiarkan kosong, halamannya diisi dengan quote (kecuali ada beberapa halaman yang sempat membuat saya bertanya-tanya dalam hati, karena sepertinya ada tulisan di sana tetapi tidak tercetak. Sampai tulisan ini dibuat saya belum sempat menanyakannya pada penulis atau penerbit). Hal yang membuat saya terganggu adalah tulisan judul novel yang digunakan sebagai batas peralihan cerita. Menurut saya itu tidak enak dilihat. Masalah selera saja, sih, karena saya lebih suka melihat tanda bintang atau bunga yang lebih pendek.
Pada akhirnya, saya lebih memilih menyarankan untuk membaca novel ini. Ada banyak pesan menarik dalam cerita ini: tentang kesabaran dan ketegaran dalam menghadapi masalah pelik, juga tentang pentingnya ikatan keluarga. Karena bagaimanapun rumit sebuah masalah di luar, rumah adalah tempat kembali.
Selamat membaca. (*)
Surabaya, Januari 2021
Ardhya Rahma, nama yang ingin ditorehkan dalam setiap buku yang ditulis. Berdarah campuran Jawa dan Kalimantan. Mempunyai hobi membaca dan traveling. Baginya, menulis adalah proses mengikat ilmu dan pengalaman hidup. Berharap mampu menuangkannya dalam buku yang sarat makna bagi pembaca. Tulisan yang lain bisa dijumpai di akun FB @Ardhya Rahma.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda