A Review: Ketika Cinta Tak Menuntut Sempurna
Oleh: Ardhya Rahma
Judul: Catatan Musim
Penulis: Tyas Effendi
Penerbit: Gagas Media
No. ISBN: 9797804712
Tahun Terbit: 2012
Jumlah Halaman: 270
Blurb:
Aku tak ingin menganggapnya sebagai cerita paling sia-sia.
Anggap saja ini adalah lembar penutup catatan senja. Berpita manis seperti boneka berdasi yang terlukis di cangkir teh kita.
Mungkin kau hanya bunga trembesi yang datang dari masa perbungaan raya. Menyinggahi penghujanku yang menderas memenuhi janji kemaraunya. Kau hanya setitik di antara ribuan tetes, seserpih di antara hamparan es, sepucuk yang baru bersemi menemani embun dini tadi. Sedangkan aku, terus menjadi musim yang berlari di sayap waktu; menerka isi hatimu, menantinya terbuka untukku.
Musim akan tetap bergulir, dan aku terus menunggumu hadir, meski harus menjemput ke belahan bumi yang lain.
***
Ketika membeli buku ini secara online, pertama saya tertarik dengan kovernya yang menurut saya cantik dan unik. Bergambar empat cangkir putih dengan potret musim-musim yang berbeda di dalamnya. Cocok menggambarkan judulnya. Setelah membacanya pun saya tahu kalau gambar cangkir di kover itu juga menceritakan kebiasaan unik dari Tya Mahani dengan sahabatnya yang bernama Agam.
Novel ini mengusung tema “cinta sejati”. Sebuah tingkatan cinta yang tidak peduli latar belakang juga tidak memandang fisik orang yang dicintai. Hal ini membuat novel Catatan Musim menjadi cerita yang manis dan mengharu-biru, dan itu tergambar pada blurb-nya yang manis dan romantis dengan diksi puitis yang membuat saya jatuh cinta.
Buku ini bercerita dengan membaginya sesuai musim. Ada 6 bagian yang mewakili 2 musim di Indonesia dan 4 musim di Lille, sebuah wilayah di negara Perancis. Showing cerita cukup bagus hingga saya bisa merasakan kehujanan di Bogor dan kedinginan akibat salju di Lille.
Novel ini berkisah tentang seorang gadis bernama Tya Mahani yang amat menyukai hujan dan sering berteduh di sebuah shelter di Kota Hujan. Saat menunggu hujan reda itu membuatnya bertemu dengan seorang laki-laki bernama Gema Agasta yang menyukai seni lukis. Seringnya bertemu membuat ada perasaan khusus di antara keduanya.
Namun, karena harus diamputasi, membuat Gema menjadi rendah diri dan tidak mengakui perasaannya. Dia terbang ke Lille selain karena mendapat beasiswa juga karena tidak ingin perasaannya semakin berkembang. Tak disangka, Tya yang menyayangi pemuda yang dia sebut Rainman dan dia bayangkan sebagai pohon trembesi itu, berhasil mendapat beasiswa di negara yang sama. Dimulailah usaha Tya untuk meraih cita dan cintanya.
Novel ini unik, menurut saya. Kalau biasanya saya menjumpai cerita yang ditulis dengan PoV satu dengan satu tokoh utama. Maka, dalam novel ini penulis berhasil membuat dua tokoh utama dalam satu novel. Karakter mereka tergambar dengan apik dalam setiap bab, dengan porsi yang sama rata dan tidak membuat saya sebagai pembaca bingung membedakannya.
Dalam setiap bab saya bisa melihat bagaimana upaya Tya merengkuh cintanya dan sebaliknya upaya Gema melarikan diri dari perasaannya. Penulis berhasil menggambarkan konflik batin kedua karakter utama dalam novel ini dengan baik, tanpa harus mengawalinya dengan tulisan PoV Tya dan PoV Gema. Benar-benar mengalir saja ketika membacanya.
Alur maju dalam cerita ini ditulis dengan teratur dan rapi. Hampir saya tidak menemukan tipo yang fatal, kecuali saat Tya yang tinggal dalam satu flat dan tidak ingin diajak tidur di karpet bersebelahan dengan lelaki. Teman lelakinya itu menyebut Tya sebagai gay padahal kan harusnya lesbi, entah kalau kata tersebut memang bisa mewakili hal itu semata karena kurangnya pengetahuan saya.
Untuk pemilihan nama, sebenarnya saya kurang suka nama Gema, karena menurut saya nama itu lebih cocok dipakai oleh tokoh yang menyukai musik bukan lukis. Sementara nama Tya Mahani saya suka, terlebih itu menggambarkan karakter Tya yang seperti pohon mahoni. Kegemarannya mengeringkan bunga mahoni karena menyukai baunya, juga menggambarkan kegemaran Kak Agam yang sering menyeduh biji mahoni. Terus terang saja cara penulis menuliskan kegemaran mereka berdua membuat saya penasaran untuk ikut mencium bunga mahoni dan menyesap rasa seduhan biji mahoni.
Kekurangan lain yang saya rasakan dalam buku ini adalah berulang kalinya Gema sakit di Lille bahkan sampai dioperasi. Sedikit yang saya tahu biaya berobat di luar negeri itu mahal, sebagai mahasiswa sulit rasanya Gema mampu membayarnya. Mungkin penulis merasa gambaran eksplisit ibu, kakak, dan ayah gema yang mudah menyusulnya ke Lille sudah cukup sebagai lanjaran betapa kaya keluarga Gema hingga mampu membiayai biaya berobat Gema.
Itu saja kekurangannya, di antara kelebihan buku ini yang jauh lebih banyak. Satu hal yang pasti buku ini memang pantas disebut sebagai karya fiksi roman dengan sosok Tya yang romantis seperti tergambar dalam quotes-nya berikut ini :
“Mencintai, bagiku lebih menyenangkan. Kalau kita bisa mencintai dengan tulus, aku yakin kita pasti akan mendapatkan balasan perasaan yang setara dengan cinta kita.” – Tya. (p. 43)
“Cinta memang seharusnya nggak mencari seseorang yang sempurna, Desti. Cinta mengajarkan kita buat mencintai ketidaksempurnaan seseorang dengan sempurna.” – Tya. (p. 43)
Mau merasakan keromantisan Tya dan bagaimana Gema mencintai dalam diam? Silakan koleksi novel ini.
Surabaya, 2020
Ardhya Rahma, penulis novel “Matahari untuk Aditya”. Berdarah campuran Jawa dan Kalimantan. Mempunyai hobi membaca dan traveling. Baginya, menulis adalah proses mengikat ilmu dan pengalaman hidup. Berharap mampu menuangkannya dalam buku yang sarat makna bagi pembaca. Tulisan yang lain bisa dijumpai di akun FB @Ardhya Rahma.
Editor: Imas Hanifah N