A Choice to Become an Adult

A Choice to Become an Adult

A Choice to Become an Adult
Oleh: Devin Elysia Dhywinanda

Tantangan Lokit 2: Membuat cerita berdasarkan gambar

Bibirnya memutih, kendati telah mengenakan topi rajut serta sarung tangan marun, tubuhnya tetap menggigil hingga kedua bahu itu bergetar hebat. Aku menghela napas, lantas mendekat. Sepertinya ia sudah lama di tempat ini.

Matanya membulat, menghangat. Ia berbisik lirih, “Di sebelah utara, ada pintu untuk kembali.” Ia menundukkan kepala, “Tetapi, haruskah aku kembali?”

*

Seluruh makhluk akan bertandang ke stasiun ini—titik antara yang membuat hewan pun dapat berbicara seperti manusia. Iklimnya tidak menentu, kadang kala melebihi jumlah musim pada kehidupan normal. Dinding stasiun berbahan kayu manis serta lentera yang acap berganti menyesuaikan cuaca, merupakan ikon dari tempat ini. Di sini, kau dapat melihat dua ayam betina bertengkar memperebutkan seekor ulat yang tengah hamil; pohon besi yang asyik menjatuhkan diri pada gerombolan remaja berbau menyengat; bahkan seekor singa yang mengulum pria berpakaian rapi seumpama permen stroberi.

Tenanglah, tidak ada yang peduli, tidak akan ada yang menghakimi, dan tidak akan ada yang mati … sebab stasiun ini merupakan persinggahan sebelum pergi ke dunia sana—bisa dibilang sebagai tempatnya makhluk-makhluk sekarat.

Termasuk aku.

Aku ingat, sebelum dewasa dan hidup menyendiri, ibuku selalu mengingatkan untuk tidak mendekati kawasan bercahaya. Cukup berjibaku di gunung salju, menemukan pasangan, lalu membesarkan anak sebagaimana diriku dahulu. Namun, aku muak dengan warna putih. Aku tidak paham kiat menjadi manusia, tetapi aku tahu bahwa semua makhluk pasti menemukan titik kebosanan ketika dihadapkan dengan kegiatan yang monoton. Jadi, mengabaikan perkataan Ibu, aku melangkah pergi, menelusuri hutan pinus yang kian menampakkan lanskap bercahaya; terpesona atas kebisingan yang amat asing … hingga sensasi panas menusuk perutku.

Dia ada di sana. Senapan di tangan. Matanya kosong. Dia menggumamkan sesuatu yang tidak aku mengerti.

Setelah itu, aku menemukan suasana baru. Lanskap putih hanya ada di tempat tinggalku. Orang-orang berkeliling dengan berisik, kadang kala berhenti dan membicarakan sesuatu tentang diriku. Beberapa mendekat dan mengulurkan ikan, tetapi aku justru menjauh dan bersembunyi di dalam gua buatan. Ini memang serupa keinginanku dulu, tetapi aku mengerti bahwa tempatku bukanlah di sini.

Aku berontak. Seorang anak kecil kuinjak. Tangan petugas kebun binatang kukoyak. Orang-orang berwajah berang. Sensasi panas lain datang dari tangan dan perutku. Kemudian, aku kembali terbangun di tempat yang asing.

Dan … bocah dengan mata serupa safir itu ada di sana. Menggigil. Bergeming kendati kereta berwarna cokelat hangat datang menawarkan tumpangan.

“Aku Alan.”

“Aku tidak punya nama.”

“Jadi, bolehkah aku memanggilmu Paman?”

Aku diam, memerhatikan singa tua yang nyaris menelan pria klimis di sana.

*

Aku tidak benar-benar memahami manusia—sama seperti aku yang tidak mengerti bahaya di luar gunung salju kami—tetapi aku dapat menebak musababku berakhir di sini, bahkan alasan stasiun ini dipenuhi makhluk hidup lain yang diliputi amarah, adalah karena uang. Mata manusia dewasa itu berbicara amat banyak, jadi, mereka pun menjadi sasaran kekecewaan flora-fauna langka yang mereka bunuh demi uang dan kekuasaan. Anak berambut pirang di sampingku pun sama. Barangkali, alasan ia terus menunduk ketika aku berdiri lima puluh meter darinya adalah rasa takut.

Sayangnya, ia justru menempel padaku usai kuputuskan untuk menjadi penghangat tubuhnya.

“Paman, apakah semua makhluk akan menjadi seperti itu ketika dewasa?” tanyanya jenaka, pelan seperti gemerisik pohon pinus ketika malam tiba, sembari menunjuk dua lansia yang berguling di jalur rel, memperebutkan kertas berwarna rumput.

“Tidak,” jawabanku datar.

Alan tertawa pelan, balik memandang wanita berambut hitam yang berseteru dengan gajah tanpa gading. Mega berarak menutupi senja di ufuk barat yang tidak pernah turun ke kaki bukit. “Paman, mengapa orang dewasa suka sekali memakai topeng? Mengapa mereka selalu berkata ‘baik-baik saja’ padahal mereka menderita? Apakah mereka takut untuk terlihat lemah di hadapan anak kecil?”

Aku tahu bocah itu tengah membicarakan dunia dalam kepalanya, jadi aku diam sejenak sembari meliriknya. “Aku tidak mengerti—aku bukan manusia—sama sepertimu yang bukan orang dewasa. Tetua-tetua itu melihat dunia lebih lama dari yang kita lihat dan kita mesti menghargai pengalaman yang sudah mereka dapat.”

Alan tersenyum amat tipis seumpama ranting yang patah diterpa angin pagi. “Apakah … menjadi orang dewasa berarti melupakan kenangan ketika mereka masih muda?”

Aku terdiam.

Ia memainkan jemari mungilnya yang terbungkus sapu tangan berbulu kasar. “Aku berusaha memikirkannya dan tetap saja tidak mengerti alasan Mama meninggalkan Papa. Kata Kakak, itu gara-gara Mama tidak lagi mencintai Papa. Bibi bilang, Mama ingin punya lebih banyak kalung dan alat kecantikan. Namun, aku … aku tidak mengerti. Kalau Mama butuh cinta, aku dan Kakak akan memberikannya seluas Samudra Arktik yang selalu beliau ceritakan. Kalau Mama ingin kalung, akan kubuatkan dari akar pohon pinus.” Alan tercekat. Suaranya menjadi parau. “Tapi, tapi … wanita itu bilang Mama pergi karena dirinya. Katanya, ia akan ada di sisiku menggantikan Mama.”

Deru kedatangan kereta bertalu—rombongan besar pepohonan tropis beserta orang-orang berpenutup kepala dengan wajah bercahaya masuk ke sana, mencipta derap beruntun yang teramat bising. “Padahal … aku hanya ingin menonton televisi bersama Mama dan Papa, seperti dulu.” Ia mengangkat wajah, “Apa aku kekanakan?”

Mata bulatnya menatapku, mengingatkanku pada beruang bodoh yang berakhir di kebun binatang. Aku menegakkan tubuh. “Kau bahkan belum bisa membedakan apa itu dewasa betulan dan pura-pura dewasa. Jadi, apakah kau kekanakan? Ya, kau kekanakan. Semua manusia ‘pasti’ pernah menjadi bocah egois … dan, bagi kalian, itu sesuatu yang manusiawi, ‘kan?”

Ia tersenyum, mendekatiku dengan gerakan yang amat kaku sampai buluku bersentuhan dengan pakaian tebalnya yang terasa sangat dingin.

“Makhluk seperti kami sering bertengkar. Itu manusiawi, ‘kan? Karenanya, hari itu mereka bertengkar.”

Aku menegang, berusaha mendengarkan tiap kalimatnya yang serupa senandung dari danau beku. “Kakak menutup telingaku dan menyuruhku untuk tidur di kamar, tapi aku tidak bisa. Aku tetap mendengarnya. Papa bilang, ia melakukan semua demi kami, agar aku tetap sekolah dan Mama bisa memasak makanan yang enak. Mama tidak percaya. Mereka kembali berteriak. Ada … ada suara barang pecah … rintihan yang menyakitkan … lalu aku keluar.”

Ada gerakan samar ketika kuputuskan untuk merangkul tubuh mungilnya. “Aku lari, lari, lalu … semua menjadi gelap.”

Bahunya kembali bergetar dan aku tahu itu bukanlah akibat dari angin dingin yang berembus.

Ia menyentuh telinganya. “Di sini, aku masih mendengarnya. Papa minta maaf. Mama ingin aku pulang. Namun, aku ragu. Aku takut.” Kereta itu sempurna pergi tatkala ia kembali pada pertanyaan yang sama, “Paman, haruskah aku pulang?”

*

Orang-orang bisa menjadi binatang, pun dengan hewan yang dapat berlakon manusiawi. Aku ingat, pertama kali bertemu pemburu, tubuh besar Ibu bergerak melindungiku dari jala bergerigi hingga sebagian dagingnya tercerabut keluar. Aku tidak menangis. Hewan tidak bisa menangis. Akan tetapi, aku mendekat dan mengendusnya, bergelung di lengan besarnya yang berbau amis, lalu tertidur sampai pagi.

Sebab itulah aku menyadari bahwa inilah yang disebut kasih sayang … semua orang tua memiliki naluri dan sifat alami untuk menyerahkan segenap hidupnya untuk sang anak. Tidak terkecuali dengan mereka yang hadir dalam deru napas Alan.

“Semua orang tua melakukan yang terbaik untuk anaknya—pun kami—dan pasti lebih menyenangkan kalau kita pergi setelah mengetahui alasan itu.” Aku melirik ‘pintu kembali’ yang dimaksudkan Alan. “Apakah beruang sloth memakan anaknya yang cacat lantaran menganggap mereka tidak berguna? Apakah burung kukuk menaruh telur di sarang burung lain karena tidak mau mengurus anaknya? Apakah orangtuamu benar-benar berseteru karena tidak lagi memikirkan kalian?”

Alan mengerjap.

“Yah, kita memang kekanakan, karena itu kita tidak mengerti jalan pikiran mereka yang telah dewasa. Akan tetapi, kita pasti memahami mereka … suatu hari nanti.”

Dadaku berpendar kuning tatkala kereta selanjutnya merapat ke peron stasiun.

“Jadi, apakah kau serius untuk naik kereta itu?”

Ia memandangku lurus, menggamit lengan putihku, lantas menggosokkan kepalanya berkali-kali. “Terima kasih, Paman,” Aku nyaris tertawa mendengar nada suaranya yang merajuk, “Tapi mengapa Paman tidak kembali?”

Aku mengernyitkan dahi, memandang kloter kebakaran hutan yang bersiap masuk ke kereta, lalu berkata, “Karena aku yakin tidak akan menyesali pilihanku.”

“Sebab, dunia tempatku membuka mata bukanlah tanahku untuk berpijak, apalagi berburu ikan serta anjing laut. Ini adalah dunia kalian,” tambahku dalam hati.

Ia beringsut menjauh ketika aku bangkit. Ia menundukkan kepala, sesekali memandang ke pintu menuju kehidupan. Bahunya kembali bergetar tatkala menengadah, memandangku dengan mata berkaca-kaca.

Sekali lagi, kupandang wajah berahang tegas itu serta matanya yang jujur. Ada kilas balik yang membuncah tiba-tiba dan aku menyadari kemiripan Alan dengan si pemilik senapan berwajah hampa.

Aku tersenyum kecil, menyadari betapa manusiawinya sikapku kini.

“Jadi, jangan memilih sesuatu yang akan kausesali nantinya. Oke?” (*)

Devin Elysia Dhywinanda merupakan cewek AB hasil hibridisasi dunia wibu Jepang dan perkepopan Koriya.

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita