A Brand New Day
Oleh : Imas Hanifah N.
Malam tahun baru sebentar lagi. Diana atau yang lebih sering dipanggil Na, menatap bayangan dirinya di depan cermin. Ia akan berbelanja makanan untuk persiapan malam itu. Dan pacarnya yang bernama Gio berencana menjemputnya sekarang.
Sekali lagi, Diana bercermin untuk memastikan baju yang dipakainya sesuai. Roknya yang tidak terlalu pendek dan kaus berlengan panjang berwarna senada terlihat pas. Rambut pendeknya disisir rapi. Kemudian, ia mulai berdandan. Menaburkan bedak, mengenakan maskara dan lip cream berwarna nude. Dalam hatinya, ia berpikir bahwa hari ini, ia harus tampil cantik untuk Gio. Sebab, ia baru saja diangkat menjadi manajer di salah satu perusahaan. Bukankah, pacar seorang manajer harus tampil berkelas?
“Sayang, Gio udah di depan!” teriak mamanya.
“Oke, Ma!”
Diana segera beranjak cepat. Ia mengambil tas kecilnya dan tak lupa menyemprotkan parfum beraroma campuran lime dan vanilla yang manis namun segar.
“Mau jalan-jalan lagi?” tanya perempuan yang sudah berumur tiga puluhan itu ketika Diana melintasi ruang tamu.
“Iya, Ma. Nanti aku beliin oleh-oleh biasa ya, martabak kesukaan Mama. Oke?” Diana mengedipkan matanya sebelah. Memberi isyarat agar mamanya itu bisa kompromi. Sebab kalau ayahnya tahu hal ini, ia bisa diberondong dengan banyak pertanyaan yang tidak perlu.
Setelah sampai di depan, Diana melihat Gio yang juga sama-sama sudah rapi dan wangi tentunya. Membuat Diana merasa ini akan menjadi salah satu hari spesial dalam hidupnya.
“Na, cantik banget.”
Gio mengatakan itu sembari terdiam sesaat. Seakan-akan ia terpesona dengan kecantikan Diana.
“Makasih Gi,” balas Diana dengan sedikit tersipu.
“Yuk, jalan sekarang?” tanya Gio. Diana mengangguk.
Mereka berdua berboncengan, menelusuri kota Bandung yang dingin. Entah kenapa, Gio tak bicara apa pun saat di perjalanan. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu. Dan Diana merasa bahwa Gio memang seperti ingin memberi kejutan bagi dirinya. Setelah dipikir-pikir, mereka sudah menjalin hubungan hampir satu tahun lebih dan bukan tak mungkin Gio akan memberinya kejutan. Ya, pernah beberapa kali. Dan suasananya mirip seperti saat ini. Saat Gio menjadi lebih pendiam.
“Gi, belanja dulu bentar, ya!” Diana berteriak lebih keras supaya Gio mendengarnya. Terkadang, deru lalu lintas dan helm bisa membuat siapa pun sulit mendengar jelas.
“Iya, nanti ke mana lagi?”
Pertanyaan Gio dibalas tawa kecil Diana. Kenapa tiba-tiba Gio jadi melupakan rencana biasa?
“Ke tempat makan favorit kitalah,” jawab Diana.
“Oh.”
Gio hanya menjawab singkat. Ia sepertinya sedang fokus pada jalanan. Padahal jalan raya tak begitu ramai.
***
“Gimana nanti, pas malam tahun baru, kita bakar-bakaran,” Diana menunjukkan sosis yang diambilnya dari freezer. Gio mengangguk pelan. Ia juga mencoba menambahkan beberapa makanan ringan ke dalam troli. Namun pandangannya terpaku lama ke dalam troli. Ia seperti sedang melamunkan sesuatu. Diana yang jail dengan tiba-tiba menepuk bahu Gio. Meskipun sedikit terkejut, reaksi Gio boleh dibilang sangat datar. Benar-benar tidak seperti biasanya.
Diana sedikit merasa kesal dengan sikap diam yang Gio tunjukkan sedari tadi. Ia bergegas membayar semua belanjaan dan mengajak Gio untuk makan. Ya, perutnya sudah mulai mengeluarkan suara-suara yang khas.
“Mau makan di mana?”
Pertanyaan Diana sebenarnya dimaksudkan untuk menguji seberapa fokus Gio. Karena dari awal Diana sudah mengatakan akan ke tempat makan favorit mereka. Apa Gio ingat?
“Tempat makan favorit kita, ‘kan?”
Pertanyaan Gio segera disambut senyuman lebar dari Diana. Sekarang, gadis itu sedikit lega. Rupanya Gio tidak benar-benar kehilangan fokus. Dan kejutan? Apa Gio benar-benar akan memberi kejutan? Diana sedikit ragu tentang itu. Namun, tak ada salahnya berharap.
Gio menggenggam tangan Diana menuju kafe tempat favorit mereka. Masih bersebelahan dengan tempat mereka belanja tadi. Mereka menuju lantai dua. Dan tentunya, dekat dengan jendela. Diana suka sekali suasana itu. Seperti mengingatkan saat pertama kali Gio mengajaknya makan malam. Ya, di kafe ini. Di dekat jendela. Benar-benar suasana yang tepat.
“Pesen yang biasa aja, ya?” tanya Diana kepada Gio yang langsung dibalas dengan anggukan. Sesekali, Gio fokus pada ponsel pintarnya. Mungkin masih urusan pekerjaan, pikir Diana. Maklum, sekarang Gio sudah diangkat jadi manajer.
“Na, sebenernya ada sesuatu yang mau aku omongin ke kamu ….”
Suara Gio seperti bergetar. Ia tampak gugup. Untuk sesaat, Diana berhenti melakukan aktivitas lain. Matanya hanya tertuju pada Gio.
“Ada apa?” tanya Diana.
Wajah Gio kemudian terlihat lebih serius. Ia meraih tangan Diana. Menggenggamnya erat.
“Na, kita kan udah hubungan setahun lebih, kamu juga udah lulus dan …,” kata-kata Gio tertahan. Ia melepaskan genggamanya dan meneguk segelas air putih sampai tak tersisa. Kemudian, dengan ragu kembali meraih tangan Diana. “Aku sebenernya … aku mau, kita temenan aja mulai sekarang.”
“Maksud kamu apa?” tanya Diana. Gadis itu berharap apa yang Gio katakan hanyalah lelucon murahan. Namun tidak. Gio tak kunjung menarik perkataannya dan bahkan wajahnya langsung tertunduk. Apa maksud semua ini?
“Maaf, Na. Tapi aku gak bisa lanjutin hubungan kita lagi.”
“Maksud kamu putus?”
Diana berusaha mempertegas apa yang dimaksud oleh Gio. Ia tak suka penjelasan bertele-tele.
“Ya, gitu. Aku mau kita temenan, Na. Aku ngerasa udah gak bisa lanjutin ini lagi.”
“Tapi kenapa? Aku perlu alasan ….”
Diana berhenti ketika pelayan kafe menyuguhkan pesanan. Sekarang, bahkan ia merasa tidak tertarik untuk makan. Perutnya juga tak lagi merasa keroncongan. Sebuah kejutan di depannya saat ini mampu membuat pikirannya hanya fokus pada Gio saja.
“Alasannya adalah karena aku gak pantes buat kamu. Aku bukan orang kaya, Na. Aku juga gak punya gelar. Beda banget sama kamu. Kamu pinter dan berpendidikan tinggi.”
“Loh, kok? Bukannya sekarang kamu udah jadi manajer, ‘kan? Itu yang kamu cita-citain selama ini? Lagian, sebelum kamu jadi manajer pun, kita baik-baik aja. Gak ada masalah sama perbedaan yang kamu bilang tadi. Iya, ‘kan?”
Diana berusaha menahan emosi meskipun rasanya air matanya tak bisa ditahan lagi. Gio adalah laki-laki yang diyakininya adalah orang terakhir dalam hidupnya. Dan tidak bisa digantikan oleh siapa pun. Namun kenapa?
“Meskipun udah jadi manajer, tetep aja, Na. Aku dan kamu jauh banget bedanya. Sekali lagi, maafin aku, Na, aku gak bisa ….”
Diana segera meminum segelas air putih. Ia berharap bisa menyelesaikan masalah ini dengan pikiran normal.
“Oke, jadi kamu mau kita putus karena kamu ngerasa gak pantes buat aku?”
Gio mengangguk lemah. Wajahnya terlihat penuh dengan rasa penyesalan.
Diana merasa alasan Gio tak masuk akal, aneh dan keputusannya mendadak sekali. Kemarin, dan hari-hari sebelumnya, Gio baik-baik saja. Mereka baik-baik saja. Tak ada pertengkaran yang berarti.
“Aku yakin, bakalan ada laki-laki yang lebih baik dari aku.”
Diana menghela napas. “Tapi buat aku, kamu yang terbaik.”
“Eggak, Na. Bukan aku yang terbaik. Tolong hargai keputusan aku.”
Diana sudah kehabisan kata untuk meyakinkan laki-laki di depannya saat ini. Sajian pelayan kafe bahkan sudah tak diliriknya sama sekali. Ia ingin berteriak dan memaki Gio atas apa yang diutarakannya barusan. Sulit sekali rasanya untuk mengiyakan keputusan itu.
Perlahan, ia bangkit. Mengambil belanjaan untuk malam tahun baru yang hampir saja ia lupakan.
“Aku mau pulang.”
“Oke, aku tahu kamu butuh waktu untuk mikirin ini. Tapi, apa kamu gak mau makan dulu? Nanti kamu sakit.”
Diana tertawa konyol dalam hati. Bukannya, baru saja Gio meminta putus? Lalu sekarang kenapa dia masih bersikap sok perhatian?
“Gak. Aku gak lapar.”
“Oke.”
Gio mengantar Diana sampai ke rumah. Mungkin itu adalah hari terakhir mereka menghabiskan waktu. Gio berpamitan pada mama Diana seperti biasa. Dan Diana langsung masuk ke kamar. Melemparkan belanjaan ke sembarang arah dan membaringkan tubuhnya di kasur. Masih dengan perasaan kacau dan penuh ketidakmengertian.
Kenapa Gio memutuskannya secara tiba-tiba?
Merasa tidak pantas? Kenapa tidak dari dulu?
Semua alasan Gio terasa tidak masuk akal bagi Diana.
Dan sekarang, rencana untuk malam tahun baru itu, sudah tidak ada lagi. Diana berharap bisa melewati malam itu bersama Gio. Namun ternyata, gagal. Semuanya gagal.
***
31 Desember 2018
Ini hari ketiga Diana masih tak bepergian ke luar rumah. Liburannya dihabiskan dengan menonton televisi dan mengganggu mamanya. Mengganggu dalam artian setiap kali mamanya masak, Diana mencoba juga. Ketika mamanya merapikan tanaman, ia ikut-ikutan. Sekadar menghibur diri sendiri. Meskipun hasilnya akan sama saja. Gadis itu akan berakhir tergugu di kamarnya sendirian. Menangis kala mengingat kebersamaannya dengan Gio.
“Na, ada yang dateng tuh!” seru mamanya ketika Diana masih terisak.
“Bentar, Ma …,” balas Diana dengan lemah. Ia berusaha menyembunyikan suaranya yang habis menangis. Berusaha bersuara senormal mungkin.
Diana bertanya-tanya dalam hati tentang siapa yang datang ke rumahnya. Apakah Gio?
“Hei!” seru lelaki itu ketika bertatap muka dengan Diana.
Gadis itu terdiam. Mengingat sejenak siapakah gerangan yang ada di depannya.
“Radit?” tanya Diana ragu.
Lelaki yang dipanggil Radit itu langsung mengangguk.
“Oleh-oleh!” serunya lagi sembari menyodorkan sekotak kimchi dan teman-temannya.
“Sebulan gue pergi ke Korea dan banyak yang nagih oleh-oleh, cuma elu doang yang gak nagih di grup WA, haha.”
Laki-laki itu segera duduk bahkan tanpa disuruh oleh Diana. Radit seperti sedang berada di rumahnya sendiri.
“Wah keren, makasih. Pas banget nih lagi pengen makan banyak.”
Pembicaraan seputar liburan dan masa-masa SMA bergulir begitu saja di antara mereka berdua. Semacam nostalgia yang menyenangkan. Seperti obat galau yang ampuh bagi rasa sakit Diana.
“Eh, kenapa jarang banget nimbrung di grup?”
“Huumh, males aja.”
“Padahal seru lho, Na.”
“Hehe.”
“Ya udah, pamit dulu ya. Cek WA deh, nanti kita ketemu di reuni ya,” Radit beranjak setelah bersalaman dengan Diana dan mamanya.
Sebenarnya, aneh seorang Radit yang sudah lama sekali tak bertemu Diana tiba-tiba datang ke rumahnya. Mungkin mau pamer kalau sudah liburan ke Korea? Ah, terlepas dari itu semua, yang terpenting Diana sekarang merasa mendapat sedikit hiburan. Kemudian, tentang reuni, ia sendiri rupanya tidak ingat sama sekali. Diana sadar, bahwa ia telah mengasingkan diri dari orang-orang. Bahkan teman-temannya sendiri. Saat bersama Gio, ia hanya terfokus pada lelaki itu. Hari-harinya hanya dihabiskan untuk memikirkan Gio.
Mungkin sudah saatnya ia bangkit. Melupakan semua kenangan tentang Gio dan memulai hari baru di tahun yang baru dengan penuh kebahagiaan.
Dengan sedikit ragu, ia mengetik di grup WhatsAap teman-teman SMA: [Malam tahun baru, bakar-bakaran di rumahku yu!]
Setelahnya, banyak komentar yang menanggapi pernyataannya. Satu demi satu, obrolan demi obrolan, berlangsung. Ia semakin merasa beruntung telah ditemui oleh Radit. Meskipun ia merasa laki-laki itu sedikit aneh, namun mampu membuatnya bertekad untuk bangkit.
Mungkin, akan ada banyak kesempatan baru bagi Diana. Dan memang akan selalu ada ….
Di Ujung Tahun, 2018
Imas Hanifah Nurhasanah. Bercita-cita jadi penulis sejak kecil. Lahir di Tasikmalaya, 24 Desember 1996. Saat ini, tinggal Tasikmalaya. Penyuka jus alpukat ini, bisa dihubungi via akun facebooknya: Imas Hanifah atau akun IG: @hanifah_bidam. Baginya, menulis dan membaca adalah sebuah kebutuhan.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata