A Bakery for Dragon
Oleh: Putra Mahardhika
Terbaik 2 Lomba Cerpen Fantasi Lokerkata
Musim gugur 2006 telah tiba. Hujan mengguyur bangunan-bangunan di kawasan Madison Park, Seattle, dengan deras, tidak terkecuali Indigo’s Bakery Cafe yang dikelola oleh Keanu Bridgers.
Lampu-lampu temaram di dalam kafe membuat deretan roti yang tertata di rak-rak kayu terlihat hangat dan mengundang. Dari balik kaca jendela, Phoebe Bridgers, putri semata wayang Keanu yang berusia 11 tahun, duduk diam, memandangi dunia luar yang gelap dan basah. Pikirannya menerawang jauh, sementara ayahnya tampak sibuk sendirian di area dapur.
Dulu Phoebe tidak setega itu; dulu ia adalah asisten paling rajin dan penggemar nomor satu dari Indigo’s. Kini aroma kue yang baru matang, wangi gurih manis yang disukai hampir semua orang, malah membuatnya muak. Mungkin karena tempat itu terlalu banyak menyimpan luka. Setiap sudutnya mengingatkan Phoebe pada ibunya, sosok ramah yang selalu tersenyum sambil membantu ayahnya memanggang roti, tetapi telah direnggut paksa dari sisinya–lima tahun silam–akibat kanker otak.
Kesedihan Phoebe makin menjadi-jadi saat di sekolah ia sering dijadikan sasaran perundungan oleh teman-temannya. Mereka menganggapnya aneh karena ia tidak pernah mengikuti kegiatan sepulang sekolah atau bermain bersama. Mereka memanggilnya dengan julukan-julukan kejam yang selama ini ia sembunyikan dari telinga Keanu. Lantaran sudah tak tahan lagi, suatu hari Phoebe memohon kepada ayahnya itu supaya mereka pindah ke kota lain. Namun, permintaan tersebut langsung ditampik.
“Ibumu mewariskan kafe ini kepada kita, Phoebe. Dan aku tak bisa meninggalkannya begitu saja,” jawab Keanu dengan nada lembut sekaligus tegas.
Tentu saja Phoebe kecewa. Sangat kecewa. Andai sang ibu masih hidup, pikirnya, ia tidak perlu mengalami segala kerumitan ini.
Perasaan terasing dan kesepian membuat Phoebe perlahan membenci roti-roti yang dipanggang di Indigo’s. Setiap hari rasanya selalu sama: bangun pagi, berangkat ke sekolah, kembali ke kafe, membantu ayahnya memasak dan membersihkan perkakas, lalu ditutup dengan tidur sendirian di kamar. Tanpa teman, tanpa hal baru.
Hingga akhirnya, pada malam yang dingin itu, hidupnya berubah. Hujan yang terus turun membuat suasana semakin sunyi. Keanu tengah bersiap untuk menutup kafe ketika sorot mata Phoebe menangkap sesuatu yang aneh dari balik jendela. Sesosok makhluk kecil dengan sayap yang basah kuyup berdiri di sana, mengintip ke arah roti yang tersusun rapi di rak.
“Dad, ada sesuatu di luar.” Phoebe berbisik sambil menunjuk ke arah jendela.
Keanu mengernyit. “Apa yang kamu lihat, Phoebe?”
“Sepertinya … aku menemukan naga kecil,” jawab Phoebe, tak yakin dengan apa yang baru saja diucapkannya.
Keanu tertawa lirih. “Naga? Mana ada naga di sini.”
Namun, Phoebe merasa tak salah lihat. Sosok itu memang seekor naga berukuran mini dengan sisik keunguan yang memantulkan cahaya lampu. Ekornya panjang mirip buntut ular dan berujung seperti api kecil yang hampir padam.
Sekali lagi Phoebe mengintip lewat jendela. Ia mendapati naga itu fokus menatap deretan roti di rak, seperti gelandangan yang perutnya belum terisi berhari-hari. Tubuh naga itu terlihat gemetar, mungkin karena kedinginan dan kelelahan.
Tanpa berpikir panjang, Phoebe meraih sepotong roti, kemudian membuka pintu kafe dan menghampiri makhluk kecil itu.
“Hei, kau lapar?” ujarnya spontan.
Naga itu mendelik, menyeringai, sejenak mengamati Phoebe dengan tatapan penuh waspada.
“Jangan takut. Aku bukan orang jahat.”
Pelan-pelan Phoebe mencoba mendekat. Naga itu mendesis, berniat memperingatkan, tetapi suaranya lemah.
“Oke, oke. Aku hanya ingin memberimu ini. Makanlah.”
Sepotong roti terulur. Makhluk itu mulai mengendusnya, lalu dengan cepat menggigit dan menarik penganan itu hingga jatuh ke lantai depan jendela kafe yang menyatu dengan anak tangga. Walau roti pemberian Phoebe menjadi basah oleh air hujan, naga kecil itu tampak begitu menikmatinya.
“Kau mau lagi?”
Naga kecil itu menoleh, matanya kembali tertuju kepada roti-roti di dalam kafe dengan pandangan penuh harap. Lagi-lagi Phoebe mencoba mendekat, kali ini ia memberanikan diri untuk mengelus kepala naga itu. Sang naga yang lugu diam saja menerima sentuhan demi sentuhan, bahkan ia yang berganti mendekati gadis itu.
“Naga yang pintar. Sudah kubilang, kan, aku bukan orang jahat. Aku tidak sama seperti teman-temanku,” gumam Phoebe.
Keanu, yang penasaran putrinya sedang apa, menghampiri mereka. Meskipun awalnya terkejut, melihat betapa kecil dan lemah naga itu, ia akhirnya menyetujui ide Phoebe untuk memberi makhluk itu sepotong roti lagi.
“Ini buatan tanganku sendiri. Semoga kau suka,” ujar Keanu sembari menyodorkan sepotong roti ke arah naga itu.
Dengan cepat naga kecil itu melahap roti yang diberikan. Matanya membulat, tatapannya berubah cerah, dan ekornya mengibas-ngibas tanda ceria. Phoebe terkekeh melihatnya.
“Kau lucu sekali. Aku akan memanggilmu Rustle.”
“Aaaakkk!” pekik Rustle, berdiri seraya merentangkan sayapnya, seolah-olah ingin bilang ia menyukai nama tersebut.
Sejak peristiwa itu, setiap malam Rustle datang ke kafe mereka. Ia selalu muncul setelah hujan turun atau saat kota sudah benar-benar sepi. Phoebe mulai merasa bahwa Rustle adalah satu-satunya teman sejatinya, seseorang yang memahami perasaannya yang sunyi.
Namun, kebersamaan mereka tak berjalan mulus. Kota kecil tempat Phoebe tinggal menolak kehadiran Rustle. Suatu malam, salah seorang pelanggan yang melintasi kafe melihat sosok Rustle yang sedang bercanda dengan Phoebe di luar jendela. Ia berteriak ketakutan dan segera menyebarkan kabar bahwa Indigo’s Bakery Cafe memelihara seekor naga.
Desas-desus segera menyebar. Orang-orang mulai menghindari Indigo’s, bahkan beberapa dari mereka menatap Keanu dan Phoebe dengan ketakutan setiap kali bertemu di jalan.
Indigo’s Bakery Cafe terletak di sebuah kota kecil yang sejak lama memiliki legenda menakutkan tentang makhluk-makhluk bertaring dan bersisik yang disebut naga. Konon, puluhan tahun silam, seekor naga besar pernah mendiami hutan di luar kota. Dalam satu malam yang mengerikan, api melahap sebagian besar desa. Banyak yang percaya bahwa api itu adalah amukan naga yang murka kepada manusia.
Kisah itu begitu melekat di benak warga, diwariskan turun-temurun melalui bisikan-bisikan di perapian saat malam. Bagi mereka, kehadiran naga bukan sekadar dongeng, tetapi simbol kesialan serta malapetaka. Setiap kali seseorang menyebut kata “naga”, mereka akan berkasak-kusuk, berubah waswas, dan buru-buru menyingkirkan tatapan dari balik jendela, takut makhluk itu benar-benar datang menjemput. Itulah sebabnya, ketika kabar tersebar bahwa Indigo’s Bakery Cafe sering didatangi seekor naga, kepanikan sontak menyelimuti hati penduduk.
“Phoebe, kita harus lebih berhati-hati. Warga kota tidak akan menerima Rustle seperti kita,” kata Keanu, nadanya serius.
“Tapi, Daddy, Rustle tidak berbahaya. Dia hanya lapar dan suka roti. Aku tahu karena aku sudah menghabiskan banyak waktu bersamanya,” jawab Phoebe keras kepala.
Keanu menarik napas dalam. Ia tahu Phoebe merasa terikat dengan naga kecil itu. Di sisi lain, ia juga tahu betapa berbahayanya jika penduduk kota memutuskan untuk mengambil tindakan.
Suatu malam, beberapa warga kota datang ke kafe membawa obor dan senjata seadanya. Mereka ingin memastikan naga itu pergi dari kota mereka untuk selamanya. Phoebe ketakutan dan berusaha melindungi Rustle yang gemetaran di bawah meja kafe.
“Pergilah, Rustle,” bisik Phoebe dengan air mata mengalir di pipinya. “Kau harus pergi sebelum mereka menyakitimu.”
Rustle meringkik lirih, suaranya sedih. Ia menggesekkan kepalanya ke tangan Phoebe, seakan-akan mengucapkan selamat tinggal. Dengan berat hati, Rustle mengepakkan sayap kecilnya dan terbang menjauh, menghilang di balik hujan dan kabut.
Setelah kepergian Rustle, Indigo’s Bakery Cafe terasa jauh lebih sepi. Phoebe kembali pada hari-harinya yang hampa dan kesepian. Namun, kini ada yang berbeda dalam dirinya. Rustle telah meninggalkan kenangan hangat dan keberanian untuk menghadapi dunia. Ia sadar bahwa tidak semua orang bisa memahami atau menerima pertemanan yang ia jalin dengan naga kecil itu, tetapi setidaknya ia tahu bahwa Rustle akan senantiasa ada di hatinya.
Dan pada malam-malam hujan berikutnya, Phoebe sering menatap ke luar jendela, berharap suatu hari nanti Rustle akan ‘pulang’ ke sisinya. Meskipun ia tahu bahwa mungkin hanya ada dirinya di sana, hati kecilnya selalu menunggu keajaiban.(*)
JBR, 27 Oktober 2024
Komentar Juri, Imas:
Kisah yang hangat, begitu kesan pertama yang saya simpulkan dari cerita ini. Bermula dari tokoh utama yang memiliki kesedihan, kemudian kembali menemukan harapan dan keceriaan dari seekor naga kecil. Walaupun kemudian di akhir terasa meninggalkan kesan bittersweet, akan tetapi menurut saya, di situlah letak salah satu keunggulan cerita “A Bakery for Dragon” ini.
Tidak ada kesalahan ketik, kalimat-kalimatnya pun terbilang asyik, serta dipadukan dengan ide yang sederhana dan menarik, cerita ini betul-betul layak berada di deretan juara.