Ayahku Kuli
Oleh: Fitri Fatimah
Sejak kabar soal Ayah mengalami kecelakaan tersebar, rumah kami terus ramai didatangi orang-orang yang membesuk. Pagi ini pun tak terkecuali. Beberapa sepeda motor telah berbaris di depan pagar halaman rumah kami. Pemiliknya adalah para paman dengan kulit cokelat legam, nyaris gosong, tampak kontras dengan mata dan gigi mereka yang nantinya akan kelihatan tiap melontar tawa. Ini adalah jenis kulit yang aku sangat familier, kulit hasil sering terpanggang terik matahari dan angin pelabuhan. Kulit yang juga ada pada Ayah. Paman-paman ini adalah teman Ayah sesama pekerja kuli. Dan aku tidak begitu menyukai mereka.
Bukan, bukan lantaran mereka tidak membawa buah tangan sebagaimana tamu-tamu yang lain, atau lantaran mereka tak berpakaian rapi dan malah hanya mengenakan celana selutut dan kaus hadiah rokok—sama seperti khas baju kerja ayah—atau karena setelah memanggil salam mereka langsung menggeloyor sendiri ke dalam rumah, ke dipan tempat Ayah berbaring. Aku tidak akan mengeluhkan soal sopan santun paman-paman yang beberapa adalah ayah dari teman-teman sepermainanku, karena Ayah dan mereka karib, dan memang beginilah bagaimana laku para karib.
Aku tidak begitu menyukai paman-paman ini, juga Ayah sebenarnya, lebih karena mereka adalah kuli. Tepatnya, aku tidak menyukai pekerjaan kuli.
Begini, biar kuceritakan satu-satu alasannya.
Sebagai kuli Ayah memiliki jam kerja yang entah. Kadang siang, kadang subuh, kadang tengah malam, bisa kadang kapan saja. Kadang ketika lampu di rumah kami telah dimatikan, ketika hanya ada dengkur di udara, lalu tiba-tiba sunyi itu dipecah oleh bunyi tiang listrik yang hanya ada dua di pelabuhan kami. Tiang listrik itu diketuk-diketuk—biasanya menggunakan batu—hingga menimbulkan denting memekakkan, dan itu adalah isyarat bahwa ada pekerjaan bagi para kuli. Lalu Ayah akan bangun, gerasak-gerusuk menanyakan pada Ibu ini jam berapa. Jam setengah dua, aku mendengar serak jawaban Ibu dari kamar sebelah.
Biasanya setelah Ayah berangkat kerja, dan Ibu pergi mengunci pintu kembali, aku sudah tak bisa tidur lagi. Denting seng dari tiang listrik seolah masih bertalu-talu di telingaku. Di saat-saat seperti itu aku sering berharap seandainya para paman kuli memiliki isyarat pemanggil yang lain, yang lebih tak berisik, entah apa. Mungkin yel-yel seperti ketika kemarin aku ikut MOSBA di sanawiyah, atau mungkin dengan mengetuk satu per satu rumah paman kuli lainnya, atau tak perlu isyarat pemanggil apa-apa tapi lebih ke jam kerja yang normal: pada pagi hari, bukan malam ketika seharusnya Ayah telah menyerahkan diri pada istirahat. Ngomong-ngomong saat itu benda seperti ponsel masih terbilang mewah, biasanya hanya pak kades dan juragan kapal yang memilikinya. Seorang kuli, tentu tidak.
Jam kerja Ayah yang entah-entah juga membuatku sering telat berangkat sekolah. Jam tujuh kadang Ayah masih belum datang dari pelabuhan. Ketika kutanyakan—lagi—pada Ibu, bahkan meski aku tahu jawabannya, dan Ibu tahu aku tahu jawabannya, hanya saja mungkin untuk menabah-nabahkanku, Ibu akan mengulang sahutannya, “Sabar, Ayah masih belum selesai menaikkan kopra.” Dan aku akan mulai menghentak-hentakkan kaki dan mata berkaca-kaca, tahu aku pasti mendapat hukuman berdiri lagi di luar kelas.
Sekolahku cukup jauh dari rumah. Bahkan kalau aku berkeras hati dan memilih jalan kaki, berangkat dari subuh pun aku tetap akan sampai terlambat. Pernah aku bilang pada Ayah dan Ibu, seandainya aku punya sepeda mini, sehingga aku bisa menggenjot pedal sendiri dan tak perlu bergantung pada Ayah. Tapi jawaban mereka selalu seragam, “Nanti, nanti kalau kita sudah punya rezeki.” Untuk sekarang cukuplah berpuas diri dengan diantar-jemput Ayah pakai motornya yang … butut. Aku tak tahu motor ini keluaran tahun berapa, tapi sepertinya bahkan lebih tua dari umurku, karena warna dan stikernya telah mengelupas di sana sini, mesinnya payah, businya sering minta diganti, boros bensin, bunyi kenalpotnya juga meletup-letup dan menimbulkan asap yang mengepul pekat.
Kadang ketika menunggu jemputan Ayah sepulang sekolah—ya, selain sering telat mengantar, Ayah juga sering telat menjemputku—aku sering hampir ingin menangis. Wajahku tegang menahan air mata, kerongkonganku tercekat, aku serasa ingin bersungut-sungut. Ke mana Ayah, kenapa belum datang juga, aku sudah kelaparan. Tapi pada akhirnya, ketika Ayah muncul, niat kesalku urung, aku malah jatuh iba. Ayah muncul dengan kaus hadiah rokok yang di bagian punggungnya basah kuyup dengan keringat, bahkan angin di sepanjang jalan rupanya tidak berhasil mengeringkannya. Ayah bilang dia tadi sedang mengangkut batu ke kapal, dan kalau pekerjaannya ditinggal separuh-separuh, jatah upahnya juga akan dipotong oleh si mandor. Aku tidak perlu diberi tahu lebih lanjut apa akibatnya itu. Pasti melibatkan Ibu yang keesokannya akan pergi ke tetangga, berhutang beras dan sedikit uang untuk uang sakuku.
Dan ya, tentu, hal itu pulalah yang membuatku tidak begitu menyukai pekerjaan Ayah. Sebagai kuli, seberapa lama pun dia berada di pelabuhan, seberapa banyak kopra dan batu yang diangkutnya, keluarga kami tetap … Ibu melarangku menyebut kata miskin, jadi kurasa kalimat “hidup serba harus sangat-sangat hemat” agak mewakiliki. Tak terhitung berapa banyak penghematan di sana sini yang harus kami lakukan.
Misalnya saja, kalau ada sumbangan di kelas, atau bayaran buku, aku harus sudah bilang dari jauh hari, supaya entah bagaimana Ibu bakal mengatur uang dan menyisihkannya untukku. Atau bahwa lauk semacam daging adalah hal mewah yang sangat langka di dapur kami. Atau satu-satunya kesempatan aku pergi ke pasar untuk membeli baju baru adalah ketika lebaran. Dan lain-lain lagi. Tuhan, maafkan kalau aku terlalu banyak mengeluh. Tapi intinya aku mengerti kenapa Ayah lebih memilih menuntaskan pekerjaannya dibanding mengantar-jemputku dengan tepat waktu.
Meski, mengerti bukan berarti membuatku kemudian sepenuhnya sabar. Tahukah kalian bagaimana rasanya jadi murid terakhir yang tersisa di sekolah, ketika ke kiri ke kanan memandang, yang ada hanya kelas-kelas kosong, jejak-jejak sepatu di koridor, terik matahari dan angin kering yang menerbangkan plastik-plastik sisa bungkus jajan. Aneh rasanya mendapati sekolah yang satu jam sebelumnya sangat ramai tapi kini jadi lengang. Bahkan ibu kantin yang biasanya paling akhir pulang, telah lama selesai berkemas. Benar-benar hanya tinggal aku sendirian.
Kalian tidak akan tahu bahwa ketika akhirnya dari kejauhan aku bisa menangkap bunyi letup-letup kenalpot, juga asapnya yang mengepul bau, betapa leganya aku mendapati kehadiran sepeda butut ayah itu.
Sedangkan alasan lain—ini yang terakhir—kenapa aku tidak begitu suka Ayah bekerja jadi kuli, adalah karena ini pekerjaan yang kasar, sementara umur Ayah tak muda lagi.
Umur Ayah telah melampaui setengah abad. Apabila dia bekerja di kantoran, di masa-masa ini dia pasti sudah bisa mengajukan surat pensiun. Tapi tak ada pensiunan ataupun tunjangan hari tua dalam pekerjaan ini. Kau bekerja, kau mendapat upah. Kau berhenti bekerja, bahkan meski telah mengabdikan diri berpuluh tahun, maka selesai pula upah. Sesederhana itu.
Pernah suatu ketika aku melihat seorang kuli yang digotong dari pelabuhan karena mengalami kecelakaan. Darahnya menetes pada aspal bersamaan dengan jejak basah air laut. Katanya dia terpeleset saat menyeberangi papan penyambung antara dermaga dan kapal, dan terjatuh ke laut, kepalanya membentur jangkar.
Aku mual memikirkan bahwa suatu hari mungkin Ayah yang akan berada di posisi itu. Bahwa mungkin di detik-detik Ayah meniti papan, kakinya mungkin akan mengalami kram, atau angin menerpa tubuhnya teramat kencang, membuat keseimbangannya goyah, lalu Ayah jatuh dan … seperti kuli tadi, menghantam jangkar. Aku mau mual.
Aku tidak begitu suka, ralat, aku tidak suka pekerjaan Ayah.
Pernah aku mengusulkan pada Ibu, kenapa Ayah tidak mencari pekerjaan lain saja, yang lebih ringan, yang sedikit punya mara bahaya, dan ya, kalau bisa yang bayarannya lebih besar. Tapi Ibu hanya diam, menatapku dengan senyum yang tak sampai matanya. Setelah lebih banyak nanti umurku, aku akan tahu bahwa pekerjaan seperti itu tidak ada, setidaknya di pelabuhan kami ini.
Lalu di antara hari yang terus bergulir, dari sekian banyak skenario buruk yang telah kukhawatirkan, kubayangkan, akan menimpa Ayah, aku tidak menyangka bahwa yang kemudian menjadi penyebabnya mengalami nahas sama sekali bukan karena pekerjaannya yang kuli.
Menurut beberapa saksi, katanya Ayah berkendara terlalu kencang sehingga dia tidak sempat mengerem ketika ada kendaraan lain yang menyeberang dari jalan pertigaan. Ayah mengalami kecelakaan justru ketika hendak menjemputku di sekolah.
Kali ini aku mual benaran. (*)
Sumenep, 17 Juli 2019
Fitri Fatimah, suka membaca dan mencoba menulis. FB: Fitri Pei.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata