Tegalan Simbok

Tegalan Simbok

Tegalan Simbo
Oleh
: Reza Agustin

Sepetak tegalan milik Simbok, sekarat. Tak ada satu pun tanaman yang tumbuh di sana, bahkan rumput sekalipun. Simbok gulana. Aku pun sama. Masa liburan sekolah telah usai. Kembali ke rutinitas sebagai seorang pelajar sama halnya dengan mengurangi jatah makan seluruh anggota keluarga. Kendati anggota keluarga itu hanya ada aku dan Simbok.

“Lia enggak usah sekolah lagi, ya, Mbok. Lia mau bantu Simbok mengurus tegalan sama buruh cuci aja,” ujarku suatu malam, ketika Simbok pulang dari mencuci dan menyetrika pakaian tetangga terdekat. Jaraknya hampir setengah kilometer dari gubuk kecil kami.

“Jangan, kamu masih kelas dua SMP. Sebentar lagi naik kelas tiga, sia-sia perjuangan Simbok kalau kamu enggak mau lanjut. Minimal kamu harus lulus SMP kalau mau kerja di pabrik, Simbok enggak mau kamu bantu Simbok mengurusi tegalan itu.”

Mungkin Simbok dendam dengan tegalan yang telah sepenuhnya mengering itu. Tanahnya yang kini pecah-pecah dan terbelah seperti mengolok. Kalau kamu enggak kawin sama buruh tani kere itu, enggak akan begini jadinya. Mungkin kalau tanah-tanah kering itu bisa bicara, mereka akan menyemprot Simbok dengan kata-kata demikian.

Orang-orang bilang, dulu Simbok cantik luar biasa. Simbok seorang sinden. Ia kondang, kendati hanya setingkat kecamatan di masa mudanya. Berbondong-bondong juragan blantik, anak lurah, sampai pria-pria uzur mengirimkan lamaran. Namun semua lamaran itu ditepis Simbok. Demi cintanya kepada pria yang sangat bersahaja. Bapak.

Sudah berapa lama Bapak tak kembali. Sewindu mungkin, aku pun nyaris melupakan rupanya kalau tidak melihat potret lawas pernikahan Simbok dan Bapak. Foto itu telah dimakan usia, mulai berwarna kuning dan ada bintik-bintik di sudut-sudutnya. Konon, tegalan yang nyaris mati itu adalah hadiah yang diberikan Bapak kepada Simbok sebagai mahar. Bapak pun hanya mampu membelikan Simbok cincin seberat satu gram. Harusnya masih melingkari jari manis Simbok, tetapi cincin itu sudah ditukar dengan uang seragam SMP.

Mungkin karena tegalan itu satu-satunya peninggalan Bapak, maka Simbok masih ada niatan untuk merawatnya. Walau beberapa bulan belakangan, Simbok mulai malas mengurus tegalan itu. Ia mulai bekerja sebagai buruh cuci yang upahnya pasti. Menjadi petani tegalan tak akan membawa untung. Apalagi jika kemarau sudah datang.

“Kalau saja Simbok enggak mendengar kata bapakmu, Nduk.” Simbok menatap langit malam yang bertabur bintang. Malam itu bersih tak ada awan sehingga langit bisa menampakkan seluruh keindahannya. Malam itu juga menjadi pertanda bahwa esok tak akan ada hujan. Kemarau masih berlanjut. Sudah ada dua bulan.

“Bapak bilang apa ke Simbok?” tanyaku sembari memijat betis Simbok. Ketika sampai di tumit, aku sedikit kaget. Tumit itu persis seperti tegalan Simbok.

“Bapak bilang supaya Simbok jangan jual tegalan itu. Harta satu-satunya yang Bapak punya selain gubuk kita yang enggak ada listriknya ini. Tapi sekarang Simbok menyesal.”

“Simbok menyesal karena enggak berani jual tegalan itu?”

Simbok lantas mengangguk. “Ada orang yang mau beli, Nduk. Kalau kita jual tegalan itu, kita bisa pindah ke desa terdekat. Mengontrak di sana buat beberapa tahun. Kita juga bisa menikmati listrik seperti orang lain.”

Simbok telah melupakan kata-katanya malam itu tentang penyesalan. Hari-hari setelahnya pun Simbok beraktivitas seperti biasa. Pun denganku. Kecuali tegalan Simbok yang telah mati. Namun Simbok sudah tak memiliki penyesalan lagi. Sore ini, ketika rintik hujan membasahi tanah tegalan itu, seorang pria duduk di teras gubuk. Ia membawa sebuah mobil dan berdandan klimis.

Simbok lantas menangis di kakinya. Baru kuketahui orang itu sebagai Bapak yang telah pergi sewindu lamanya. Pulang dari merantau dan benar-benar jadi orang. Ketika wajahku yang semringah disambut pelukan hangat Bapak. Tangis Simbok tak kunjung berhenti. Mungkin karena Simbok telah menjual tegalannya.

 

Reza Agustin, lahir dan besar di Wonogiri sejak 20 Agustus 1997. Kunjungi Facebook dengan nama yang sama, Instagram: @Reza_minnie, dan Wattpad: @reza_summ08.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply