Arah Angin (Episode 6)
Oleh: Lutfi Rose
(POV Sekar)
Sepertinya apa yang dia katakan benar. Perlahan tanganku meraih pisau di atas meja. Bisikan itu semakin kuat terdengar di telingaku, “Ayo lakukan! Ayo! Ini yang terbaik untukmu! Kau akan bebas.” suara itu terus memberondongku dengan sebuah perintah yang sama.
Ya! Dia benar, dia benar bahwa aku akan mengakhiri semuanya. Suamiku akan terbebas dariku dan Angin tidak akan sedih karenaku. Semua air mata akan berhenti terurai, semua luka akan berhenti terburai. Tanganku mulai menggores kulit bagian luar, rasanya sedikit perih, hanya sedikit, belum ada darah yang keluar. Kembali aku mengulang dengan lebih dalam, sedikit lebih perih, tapi kurasa ini akan sebentar saja. Ya! Setelah ini semua akan benar-benar berakhir. Ada sesuatu yang terasa merembes di pergelangan tanganku, hangat. Tiba-tiba ribuan bintang berpendar dalam kepalaku, yang lambat laun hilang, menyisakan kegelapan. Aku merasakan tubuhku sempoyongan. Aku berusaha melangkah meski tak tahu arah langkahku ke mana, tanganku menggapai-gapai kosong. Suaraku tercekat di tenggorokan, saat kudengar seseorang meneriaki namaku. Aku berusaha untuk menerkah, mencoba menggunakan indra pendengar dengan baik, sepertinya seseorang yang aku kenal, tapi siapa? Tanganku menggapai tapi tak sampai, samar kurekam wajah itu. Sayangnya, aku tak sanggup meraihnya.
“Angin, di mana Angin?” kalimatku seolah kembali tertelan. Entah dia mendengarku dengan benar atau tidak. Aku tahu dia mengatakan sesuatu, tapi aku tak sanggup merekamnya dengan baik, kemudian semua berubah menjadi gelap. Benar-benar gelap.
***
Semua tampak putih berkabut. Di mana sebenarnya diriku? Kabut putih yang seolah tak berujung yang menciptakan rasa damai, tak ada kesedihan yang kurasakan selama ini menyesakkan dada. Semua seakan lenyap saat ini, aku merasa ringan dan bebas. Ada cahaya berpendar beberapa meter dari tempatku. Aku mencoba melangkah mendekatinya, akan tetapi cahaya itu seperti makin menyala ketika aku makin mendekat. Ada sebuah ruangan kosong dengan segala benda berwarna putih, sebuah ranjang putih dengan bantal dan selimut yang juga putih. Apakah ini surga? Mungkinkah semudah ini masuk ke surga?
Aku mengerjap beberapa kali berusaha beradaptasi dengan apa yang ada di hadapanku. Saat membuka mata yang ke sekian kali kulihat ada sesosok pria mengenakan baju yang serba putih. Dan … tunggu, sepertinya aku mengenalnya.
“Bapak?” seruku.
Pria itu tersenyum, wajahnya berseri dengan kulit putih, rambut yang seluruhnya telah memutih, hidungnya mbangir[1], dengan bibir tipis di atas rahangnya yang kokoh, serta gurat-gurat kerutan di dahinya yang dahulu sering kusentuh. Aku tahu pasti itu bapak, orang yang dulu menjagaku bertahun-tahun sepeninggal Ibu, sosok lelaki yang membuatku percaya: meskipun tak ada seorang ibu, aku bisa tumbuh menjadi wanita tangguh dan berbudi.
“Apa yang kau lakukan di sini, Nak?”
“Bawa aku pergi, Pak. Dunia tak seindah yang kau ceritakan. Aku lelah. Bawalah aku bersamamu,” pintaku sambil berusaha meraih tangannya lalu mengecupnya takzim.
“Apa yang kau katakan, Nak? Di sini bukan tempatmu. Masih banyak orang yang membutuhkanmu di dunia. Jalan pintas bukan pilihan benar, Nak. Tuhan sudah memberi yang terbaik. Lalu hanya sedikit ujian untukmu, apa kau akan kalah?” Bapak tampak menampilkan wajah penuh kekecewaan, muram tanpa senyuman. Meski demikian kekecewaan tak mampu menyembunyikan rasa ibanya. Mata lelaki itu begitu teduh laksana embun yang membasahi rerumputan di pagi hari, mengiringi sinar mentari yang hangat menyapa dunia, damai sekali.
“Aku tak sanggup, Pak. Aku sudah lelah,” ujarku kemudian.
“Lihatlah di sana!” Tangan bapak mengarah pada sebuah lubang hitam yang tiba-tiba terbuka di dekatnya. Tampak beberapa wanita meraung-raung dengan memegang perutnya, mereka tampak begitu kelaparan. Di samping mereka, bayi-bayi yang terus menangis tanpa henti.
“Itu adalah wanita-wanita yang telah meninggalkan anak-anaknya tanpa ilmu, Sekar. Apakah kamu yakin telah meninggalkan Angin dengan bekal yang cukup untuk hidup di dunia, Nak?” ucapnya seraya menyentuh rambutku lembut.
“Belum saatnya, Nak. Belum sekarang. Pulanglah …! Pulanglah … sekarang. Tuhan masih memberikan kesempatan padamu untuk melakukan yang terbaik. Bertahanlah untuk anakmu!”
Tubuh Bapak menguap, meluruh menjadi satu bersama kabut yang terus menipis. Seketika semua berubah menjadi terang.
***
Belum sanggup aku membuka mata ketika aku mendengar suara yang tak bisa aku rekam, ada tangisan, ada umpatan, dan itu … suara Angin. Angin memanggilku. Kebodohan apa ini? Ya! Bapak benar: aku tak boleh seperti ini, aku harus bertahan demi Angin, aku harus kuat.
Seluruh tubuhku terasa lemas sendi-sendiku seolah tak punya tenaga, tulang-tulangku terasa patah semua. Ketika sebuah tangan merengkuhku dalam pelukannya. Perlahan aku membuka mata, basah menyentuh pipiku. Aku mengenali aroma tubuh ini, “Anakku …,” ucapku lirih.
“Ibu! Ibu!” Angin makin erat merengkuh tubuhku.
Sesosok wajah di balik bahu Angin menatapku dengan sendu. Menampilkan wajah yang berbeda dari biasanya. Apa yang dia pikirkan?
Keterangan:
[1] mancung
Bersambung ….
Lutfi Rose, memiliki nama asli Lutfi Rosidah, sebuah nama pemberian Ayah. Nama yang juga dipakai di sebagian besar akun media sosialnya. Seorang ibu rumah tangga berpenghasilan, memiliki tiga orang putri dan seorang putra, tetapi masih imut. Hihi ….
Penulis berasal dari Kota Apel dan tetap istiqomah di tanah kelahiran. Seorang pejuang gombal yang ingin mewujudkan mimpi masa kecilnya menjadi seorang penulis. Semoga terealisasi.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata