Arah Angin (Episode 5)

Arah Angin (Episode 5)

Arah Angin (Episode 5)
Oleh: Uzwah Anna

(POV Nilam)

“Oke, oke … sekarang jangan berpikir apa-apa dan langsung pulang, ya? Ja—jangan nangis di jalan. Pokoknya tahan sampai di rumah, ya,” pintaku pada Angin.

Entah, sekarang gadis keras kepala itu berada di mana. Dia pergi begitu saja setelah melampiaskan kemarahannya pada ayahnya dan Tante Puspa, tanteku.

Tak berselang lama, tanpa basa-basi, aku pun pergi. Sempat beberapa kali Tante Puspa memanggil namaku, menahan agar aku mau mendengar penjelasannya.

Heh, penjelasan? Penjelasan macam apa lagi? Bagiku … apa yang tampak di mata barusan lebih jelas daripada sebuah kata-kata yang akan diucapkan oleh adik dari ibuku itu. Bibir bisa berbohong. Tapi mata … mata tak akan pernah berbohong.

Setelah menutup sambungan telepon, aku segera bergegas ke rumah Angin. Perasaanku was-was. Takut terjadi sesuatu pada Bibi Sekar. Kutarik gas sekencang-kencangnya—tak ubahnya semacam orang kalap. Hingga beberapa kali hampir celaka. Aku berpacu dengan waktu.

Sampai di rumah Angin, aku langsung masuk karena pintu tak terkunci—bahkan sedikit terbuka. Kupanggil dan kucari Bibi Sekar. Masuk ke ruang tengah, ke kamarnya, ke beranda—tempatnya biasa merenung. Bahkan seluruh sudut ruangan di rumah ini sudah kumasuki. Namun, tak ada. Ah, hanya satu tempat yang belum kuperiksa, dapur!

Aku langsung bergegas ke ruangan yang kini terasa sangat sunyi tersebut. Sebab Bibi Sekar sudah jarang berkunjung ke tempat itu. Tempat yang dulu menjadi favoritnya—untuk meracik dan memasak berbagai macam menu kesukaan suami dan putrinya—kini hanya menjadi ruang lengang, selengang gudang yang tak pernah disinggahi. Bibi Sekar menjadi malas mencoba macam-macam masakan baru. Karena percuma. Masakannya hanya akan berakhir di tempat sampah. Sebab baik suami maupun putri tunggalnya lebih memilih mengisi perut di luar rumah.

Jantungku seakan berhenti berdegup ketika menemukan Bibi Sekar dalam keadaan sekarat. Perempuan ayu tersebut tergeletak di pojok dapur. Wajahnya pucat. Darah mengalir dari pergelangan tangan kirinya. Dia sempat mengerang seraya melihatku. Bibirnya mengucapkan namaku—dengan suara sangat lirih—dan menanyakan di mana Angin berada. Lantas terpejam tak sadarkan diri.

Aku gugup. Bingung mesti berbuat apa. Bahkan berkali-kali ponsel terjatuh ketika akan menelepon ambulans.

Ayah Angin datang. Dia langsung ke dapur karena mendengar teriakanku—mencoba membangunkan Bibi Sekar.

***

Setelah saling berdiam diri di dalam ambulans, kini aku dan ayah Angin juga masih bungkam meski duduk bersebelahan di luar ruang ICU. Aku syok dengan rentetan kejadian malam ini, secara mendadak bertemu dengan orang yang selama ini telah menghilang, bahkan aku telah menganggapnya mati. Tante Puspa mengetahui bahwa adik dari ibuku itu telah menjadi selingkuhan ayah Angin, serta percobaan bunuh diri Bibi Sekar dengan cara mengiris urat nadi.

Aku hampir frustasi memikirkan semua ini.

Lamat-lamat terselip perasaan tak enak hati pada Angin, terutama Bibi Sekar. Meski bukan kesalahanku, tetapi Tante Puspa masih bertalian saudara denganku. Tentu ada beban tersendiri pada diriku.

Baiklah … aku paham, Tante Puspa tak tahu bahwa setelah kedua orangtuaku meninggal, Bibi Sekar-lah yang merawatku. Tentu saja, bagaimana bisa dia tahu tentang hal ini? Sebab setelah ayah ibuku tiada, dia langsung menghilang. Tak peduli dengan keponakannya yang sebatang kara. Lantas, sekarang dia tiba-tiba muncul membuat perkara sedemikian rupa.

Berpikir demikian, tiba-tiba kepalaku terasa berat. Seakan sedang dipukuli oleh berbagai pertanyaan yang sulit kucerna. Kenapa harus Tante Puspa yang menjadi wanita lain ayah Angin? Kenapa aku dan Angin mesti bertemu mereka malam ini, di kafe biasa kami melepas penat? Kenapa Bibi Sekar harus memilih jalan pintas untuk melepas penderitaan batinnya? Bukankah selama ini beliau selalu tampak tegar dan kuat meski diterpa berbagai macam masalah? Apakah Bibi sekar tahu bahwa selingkuhan suaminya adalah Tante Puspa, tanteku? Dan … setelah peristiwa ini … apakah Angin dan Bibi Sekar masih mau bertatap muka denganku, atau … mereka justru akan membenciku?

Argh …!

Aku menepuk-nepuk kepala sendiri. Pusing dan berat. Sementara ayah Angin hanya melihatku. Beberapa kali dia memintaku untuk tenang, wajahnya cemas. Entah cemas karena kondisi istrinya atau cemas karena dia kira aku kesurupan? Atau … dia takut aku gila!

Tenang … apa bisa aku tenang dalam keadaan semacam ini? Yang benar saja!

Tunggu, baru kali ini ayah Angin bersuara lembut seperti itu di depanku. Biasanya, jangankan menyapa, tersenyum pun, tidak! Dia selalu menatapku dengan pandangan sinis, seakan aku gembel yang mengemis dan akan merampas seluruh hartanya. Lalu, kenapa sekarang pria berengsek itu berubah manis? Apa karena dia merasa bersalah karena telah berselingkuh dengan tanteku?

Jujur, selama ini, meski kesal, aku tak pernah membenci ayah Angin. Kerena bagaimanapun juga dia adalah suami dan ayah dari dua orang yang menganggapku sebagai keluarganya sendiri, yang bahkan tak ada pertalian darah di antara kami. Aku selalu menghormatinya. Namun, tidak untuk sekarang! Rasa hormatku seakan menguar begitu saja setelah tahu kebusukannya malam ini.

Angin tergopoh-gopoh menghampiri kami—aku dan ayahnya. Wajahnya kusut masai.

“Bagaimana keadaan Ibu?” tanyanya padaku tanpa memedulikan ayahnya.

Belum sempat kujawab, tetapi dokter sudah keluar dari ruang ICU. Tentu saja kami bertiga langsung menyerbunya dengan pertanyaan yang sama, “Bagaimana keadaan Bibi Sekar?”

Dokter menjelaskan bahwa baru saja dia dan timnya berhasil menghentikan pendarahan Bibi Sekar.

“Beruntung beliau segera dibawa ke rumah sakit sehingga mendapat penanganan yang cepat. Sekarang beliau sudah bisa dipindahkan ke ruang lain. Itu artinya keadaanya bisa dikatakan membaik.”

Kami bertiga mengembuskan napas lega, hampir bersamaan. Lantas membuntuti tim medis menuju ruang inap yang akan ditempati oleh ibunya Angin.

“Terima kasih, Dokter,” ucap ayah Angin seraya menjabat tangan dokter tersebut.

“Berterimakasihlah pada Tuhan. Saya hanya perantara,” sambung pria berwajah teduh itu, sangat rendah hati. “Untuk sementara pasien mesti menginap di sini. Agar pemulihannya berjalan lebih cepat,” pungkasnya. Lantas dia pamit pergi setelah mempersilakan kami masuk ke ruangan di mana Bibi Sekar di rawat.

Angin langsung memeluk ibunya yang terbaring lemah, masih belum siuman. Dia menangis sesenggukan seraya mengucapkan penyesalan mendalam sebab selama ini tak peduli dengannya. Gadis keras kepala itu berujar bahwa bukan maksudnya untuk abai. Hanya saja dia muak dengan sikap Bibi Sekar yang selalu mengalah pada ayahnya.

Aku turut hanyut dalam kepedihan yang diungkapkan oleh Angin. Ayah Angin juga, dia meneteskan air mata di sisi ranjang tempat istrinya terbaring. Mungkin dia menyesali segala macam perbuatan buruknya pada Bibi Sekar selama ini.

Mungkin Bibi Sekar akan terenyuh ketika melihat suaminya bersedih seperti sekarang. Tentu saja. Karena Tuhan memang mengaruniakan kelembutan hati pada wanita malang itu.

Tapi tidak denganku!

Watakku memang tak sekeras Angin. Namun, meski bagaimana, aku tetap memiliki kebencian. Aku benci pada pria berengsek itu. Bukan, bukan karena dia telah berselingkuh dengan Tante Puspa, aku sudah tak peduli pada wanita jalang itu. Tetapi aku benci karena pria itulah yang membuat wanita yang sudah kuanggap sebagai ibu, kini mesti terbaring lemah semacam ini.

Kenapa Tuhan tak segera mencabut nyawanya saja, sih? Biar Bibi Sekar dan Angin hidup sebagaimana manusia sewajarnya. Yang bisa bahagia tanpa ada duri di dalam keluarganya.

Di saat suasana sedang dramatis seperti ini, tiba-tiba saja ada yang mengetuk pintu. Kami kira itu adalah salah satu tim medis. Namun betapa terkejutnya kami bertiga, ketika mengetahui wanita itu adalah … Tante Puspa.

Mau apa dia ke sini?

 

Bersambung …

Episode 4 (Sebelumnya)

 

Uzwah Anna, tumbuh, lahir dan besar di sebuah pelosok kampung di Kabupaten Malang. Gemar kulineran bakso dan soto. Pecinta kudapan tape goreng, tahu isi dan cilok. Suka berkebun buah dan bunga. Mawar merah merupakan bunga terfavorit.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply