Jawaban Keluh Kesah Fatimah

Jawaban Keluh Kesah Fatimah

Jawaban Keluh Kesah Fatimah
Oleh: Evamuzy

Lagi-lagi aku mendengar suara pintu yang dibanting keras-keras. Untung saja gendang telingaku ini kebal. Tidak ringkih seperti cicak kurus di ujung pintu, yang sekali pintunya tertutup, dia terjepit lalu mati. Untungnya lagi, aku tidak punya riwayat sakit jantung. Aku sehat walafiat.

“Kakak mutung lagi, Ummi?” tanyaku pada perempuan cantik yang berdiri di balik meja dapur sedang memotong kentang.

Dia mengangguk kepala sambil memasang wajah cemberut yang dibuat-buat. Ummi memang selalu begitu. Tidak pernah sekalipun tersulut api saat anak-anaknya ada yang membuat ulah. Padahal kami saja geram saat melihat salah satu dari kami tiba-tiba menjengkelkan. Seperti saat ini, saat Kakak membanting pintu kamarnya keras-keras.

Aku memang bukan anak manis, apalagi penurut. Namun, kata Ummi dan Abi, aku lebih jarang mengambek dibanding Kakak. Bagiku memang mengambek itu melelahkan. Aksi tutup mulut dari bicara dan makan itu hanya membuat susah diri sendiri saja. Aku tidak suka itu.

“Karina sudah buat PR?” Di sela-sela mencuci ayam, Ummi bertanya. Tanganku masih sibuk membantunya memotong-motong wortel. Siang ini, Ummi akan membuat sup dengan daging ayam. Sementara Abi sedang ada acara kumpul-kumpul bersama bapak-bapak kompleks di rumah Pak RT setiap Minggu siang.

“Sudah. Semalam waktu Ummi panggil Adik buat makan malam, Adik baru saja selesai bikin PR.”

“Anak pinter,” kata Ummi dari tempatnya.

“Habis ini kita temui Kakak di kamarnya, yuk, Dik?”

Ajakan Ummi kujawab dengan anggukan kecil dan senyuman.

“Ummi nggak mau gitu, marah atau bersikap sedikit keras ke Kakak supaya Kakak tidak lagi sedikit-sedikit ngambek begini?”

Ummi hanya menggeleng. Lagi-lagi menggeleng, lagi-lagi tersenyum. Ummi … engkau ini punya stok berapa juta kesabaran, sih?

***

“Kakak … makan, yuk. Ummi sudah bikin sup ayam yang enak. Makan bareng, yuk,” ajakku saat masuk ke dalam kamar Kakak, tentu bersama Ummi.

Tak ada jawaban. Kakak tetap bergeming memeluk guling. Membelakangi kami.

“Sayang … Ummi minta maaf. Ummi tahu Kakak lelah, tapi kalau ditambah ngambek begini, bukannya akan bertambah lelahnya. Kasihan badannya Kakak. Makan, yuk.” Giliran Ummi yang beraksi. Ummi memang tidak pernah lelah bersikap halus kepada kami.

“Kakak ….” Aku mencoba membantu.

Masih tetap diam.

“Sayang ….” Suara Ummi lagi.

Tetap tak ada reaksi. Ih, lama-lama Kakak menyebalkan! Tidak tahu apa kalau aku dan Ummi sudah capek-capek memasak.

Pelan-pelan Ummi duduk di tepi ranjang Kakak, membelai lembut gadis berusia enam belas tahun itu.

“Kakak … Ummi minta maaf, ya. Bukan Ummi tidak tahu Kakak lelah, tapi Ummi ingin Kakak jadi wanita yang tangguh.”

“Ummi, kan, bisa cari orang buat bantu-bantu pekerjaan rumah. Kakak capek. Dari pagi harus menyiram bunga di teras, mengepel lantai, juga harus cuci piring. Ditambah Ummi minta Kakak bantu memasak. Ummi kenapa tidak pakai jasa pembantu saja? Abi pasti bisa membayarnya.” Akhirnya … Kakak bersuara juga.

“Sayang … Bukan begitu.” Ummi menarik napas sekali lagi. Sementara aku mulai ikut duduk di sampingnya. Kakak tetap pada aksi tutup mulut.

“Ummi dan Abi ingin kalian menjadi manusia yang kuat. Tidak bergantung pada orang lain. Kalian tahu, Siti Fatimah juga dulu pernah mengeluh seperti ini. Lalu mau tahu bagaimana reaksi Baginda Nabi?”

Kalau sudah begini, pasti Ummi akan menceritakan sebuah kisah yang bagus kepada kami. Aku jadi antusias. Duduk mendekat ke Ummi.

“Bagaimana, bagaimana, Ummi? Karina tidak sabar menunggu cerita Ummi.”

“Jadi dulu, ketika Fatimah sudah menikah dengan Sayyidina Ali, lalu hidup di rumah mereka sendiri yang tidak jauh dari rumah ayahnya. Fatimah tiba-tiba hampir menangis, mengadu kepada sang suami. Pasalnya dia merasa sangat letih bekerja seharian. Menimba air, mencari kayu bakar, memberi makan hewan ternak, menggiling gandum. Meski semua pekerjaan juga telah dia bagi dengan Ali.”

“Hmm. Ternyata Siti Fatimah juga bisa merasa lelah ya, Ummi?” tukasku. “Lalu apa yang dia lakukan? Marah-marah?”

Ummi tersenyum lebar. “Tentu tidak. Dia meminta kepada suaminya agar menemui Baginda Nabi, lalu meminta ayahnya memberi satu budak untuk membantu mengerjakan pekerjaan rumah mereka.”

“Pasti Baginda Nabi memenuhi permintaan Fatimah. Bukankah beliau sangat menyayangi anaknya?”

Ummi menggeleng lemah. “Tidak selamanya. Beliau adalah seorang pemimpin yang bijaksana. Karina mau tahu jawaban sang Nabi?”

Aku mengangguk cepat. Tak sabar ingin tahu.

“Baginda Nabi memberikan doa dan zikir kepada Siti Fatimah dan suaminya, untuk mereka baca dan hafalkan. Berharap Allah yang Maha Penyabar memberikan rasa sabar ke hati anak dan menantunya. Sehingga semua keletihan mereka berdua tidak sia-sia. Jadi, memberikan mereka seorang budak yang akan membebaskan mereka berdua dari letihnya menyelesaikan pekerjaan rumah, bukanlah keputusan bijak. Baginda Nabi ingin anaknya menjadi hamba Allah yang sabar, tidak mudah mengeluh dan kuat.”

“Siti Fatimah dan Sayyidina Ali menerima itu?” tanyaku.

“Tentu. Sejak saat itu mereka mengamalkan nasihat ayahnya. Dan semua pekerjaan terasa lebih ringan, sebab mereka kerjakan atas keinginan mendapat rida Allah. Mereka yang melakukan sesuatu untuk mencari rida-Nya, tentu akan diberikan kemudahan, Sayang.”

“Berikan Karin doanya, Ummi. Supaya Karin tidak mudah mengeluh saat ada banyak PR dari ibu guru.”

Ummi tersenyum lagi. “Berzikir, Sayang. Kerjakan semuanya demi Allah, bukan semata-mata karena takut dihukum ibu guru.”

Aku geli mendengar kalimat terakhir Ummi. Benar juga. “Baiklah, Ummi. Mulai sekarang, Karin akan mengerjakan segalanya semata-mata karena Allah. Karin akan belajar itu.”

Ummi mengacak rambutku dengan sayang. Tiba-tiba ranjang tidur berbunyi, rupanya Kakak bangun dan segera berhambur memeluk Ummi.

“Maafkan Kakak, Ummi. Kakak malu. Mulai sekarang Kakak akan akan belajar itu juga. Belajar sabar,” kata Kakak dalam pelukan Ummi.

Ummi mengelus lembut punggung Kakak dalam dekapannya.

“Oke, deh. Mulai sekarang aku juga akan membantu tugas Kakak. Bagaimana?” tanyaku kepada Kakak.

“Oke. Kamu yang menyiram bunga-bunga di depan, ya. Setuju?” timpal Kakak melepas pelukannya dengan Ummi.

Menyiram tanaman di depan? Kedengarannya seru. Siapa takut. “Ah, siap.”

Kami pun akhirnya tertawa bersama. Begitulah, Ummi. Kata dia, cara terbaik untuk membalas kesalahan adalah dengan nasihat. (*)

 

Evamuzy. Bungsu dari empat bersaudara. Paling anti dengan sandal basah.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply