Segitiga (Episode 1)

Segitiga (Episode 1)

SEGITIGA (Episode 1)

Oleh: Karna Jayakarta Tarigan

 

Aku. Kamu. Dia. Seperti segitiga sama sisi. Tiga garis yang sama panjangnya, kemudian ditarik lurus membentuk sebuah bidang yang melancip. Kami yang saling melengkapi, kami yang saling menguatkan, di setiap himpitan kesulitan. Juga berbagi derai tawa, di tengah himpitan penderitaan yang kerap kali menusuk hingga perih. Kami adalah satu segitiga dengan kaki-kaki yang kukuh.

Kamu, dia, dan aku adalah waktu. Waktu yang telah mempertemukan, waktu jua yang menautkan. Tak ada seorang pun di antara kami yang pernah bermimpi bertemu, bahkan menduga akan selalu bersama. Tiga orang yang menjadi sebegitu dekat. Seerat satu ikatan sapu lidi. Menyatukan yang tercerai-berai.

Persahabatan memang bisa diawali dari mana saja. Boleh beranjak dari sebuah permusuhan, atau diawali dengan sebuah perkenalan. Bahkan bisa juga dipertemukan oleh kebetulan-kebetulan. Tidak salah, ‘kan? Kami bertiga adalah kebetulan-kebetulan yang tak terduga. Anak-anak yang kebetulan dilahirkan dengan ketidakberuntungan; jalanan yang secara kebetulan telah menyatukan; jalanan yang kebetulan menjadi ladang penghidupan. Padang pengharapan.

*

Kami bertemu pada suatu pertikaian yang tidak sengaja: antara aku dan dia. Kami yang sedang beradu cepat menaiki bus kota. Berlomba-lomba adu kaki menginjak pintu belakang. Memperebutkan harapan. Untuk mengamen terkadang memang dibutuhkan kecepatan berlari yang luar biasa. Laiknya seperti seekor kijang yang lincah. Dan satu di antara kami berdua memang tak ada yang mau mengalah satu sama lain.

Di saat kami telah bersiap-siap untuk saling melemparkan kepalan tangan. Tiba-tiba kamu datang menghentikan keributan. Pertarungan urung dilakukan. Berhenti sejenak untuk mendengar ocehan seorang gadis kecil.

“Berhenti! Mobil kan banyak. Ngapain ribut-ribut. Kayak anak kecil aja,” begitu katanya.

Lho, kami juga kan anak kecil, sama kayak kamu, kataku dalam hati. Ya, anak kecil yang dewasa sebelum waktunya, anak kecil yang bertempur dengan kerasnya kehidupan. Tak pernah ada satu pun orang dewasa yang peduli, meski sebuah nasib buruk telah melemparkan anak-anak ke jalanan.

*

Aku. Aku adalah seseorang yang mendendam pada kehidupan. Seorang anak yang dibuang oleh ibunya sendiri pada umur … entahlah. Pada waktu itu, aku pun masih takut tidur sendirian. Anak kecil yang masih sangat belia untuk mengerti kehidupan. Bahkan hanya untuk belajar menaik-turunkan pengait resleting. Kata orang, ibuku adalah seorang kupu-kupu malam, katanya … entah apa artinya, aku pun berusaha keras menerjemahkannya, tetapi tetap saja aku tak mengerti apa artinya. Ini teramat sulit untuk anak seusiaku.

Pernah satu kali aku bertanya pada seorang perempuan cantik menor yang berdiri tepat di bawah lampu jalan. Apa arti ungkapan itu dan dia hanya tersenyum sambil membisikkan sesuatu di telingaku, “Wani piro,” begitu katanya dengan bisik penuh arti, sambil telunjuknya mencuil sedikit ke bawah pusarku.

Dan akhirnya, aku memang tidak pernah mendapatkan jawaban yang sebenarnya. Lagipula untuk apa aku repot-repot, bersusah-payah mencari jawaban itu. Toh, Ibu pergi di suatu hari yang bahkan aku lupa, kapan persisnya.

Perempuan itu dengan sengaja pergi meninggalkan aku, anaknya. Demi seorang laki-laki tampan yang membawanya kabur entah ke mana. Katanya, ia cuma pergi sebentar. Lalu memberikan sedikit ciuman di pipi dan memberi uang sangu di kepalan tanganku. Kemudian Ibu berjalan menuju mulut gang tanpa menengok ke belakang sedikit pun. Aku cuma bisa menangis berhari-hari setelahnya. Terluka. Dan dimulailah satu episode hidup paling getir dalam hidup. Belajar terbang tanpa seorang burung yang mengajari bagaimana cara mengepakkan sayap.

Aku lalu mendapat pelajaran bertahan hidup lebih awal dari seharusnya. Ini bahkan lebih buruk dari sepasang pengantin baru yang perempuannya mendadak bunting dan lelakinya terpaksa harus bekerja atau mengerjakan apa saja, demi membeli dua kantong nasi bungkus, dan membayar satu bulan di muka, rumah petak mungil sangat sederhana.

Pada akhirnya aku menjadi tahu, bahwa mengemis dan mengais-ngais tempat sampah, adalah hal-hal pertama yang harus dilakukan untuk sekadar mengisi perut. Daripada gengsi tetapi lapar.

Setelah beberapa waktu, akhirnya aku menemukan sebuah cara lain yang lebih tepat, untuk mendapatkan uang sedikit lebih banyak. Aku mengamen. Sebuah bentuk ekspresi baru orang-orang yang sedang mengalami kesusahan hidup. Kombinasi dari “mengemis dan bernyanyi asal-asalan”. Sambil menyelam minum air, pikirku. Mendapatkan uang sambil menjual suara. Beberapa orang pernah mengatakan suka akan suaraku. Katanya, sepintas terdengar sama merdunya dengan seorang penyanyi cilik yang terkenal. Jadi aku bukan mengemis sebenarnya, walau aku sebenarnya tidak memedulikan itu. Aku hanya peduli uang!

*

Kamu. Kamu masih lebih beruntung di antara aku dan dia. Kamu masih memiliki ayah dan ibu. Sepasang suami istri yang masih berharap-harap cemas menanti kedatanganmu, jika kepulanganmu sedikit terlambat. Mereka akan menunggumu di bahu jalan, sambil bertanya-tanya kepada pengamen lainnya yang mereka temui. Sedang di mana kamu? Meski kami juga sesungguhnya tahu, bahwa mereka—sebenarnya—lebih peduli pada uang hasil mengamen yang kamu kumpulkan seharian, daripada mengkhawatirkan kamu, anaknya. Namun, kami selalu menjaga mulut dan tidak pernah ingin membicarakan perihal itu kepadamu. Pikir kami, setidaknya kamu masih bisa menemukan sebuah tempat yang bernama “rumah” untuk pulang, ketika dinginnya malam beranjak datang. Atau menemukan dekapan selimut tebal untuk menghangatkan badan, tatkala cuaca sedang tidak bersahabat.

Sedang aku dan dia, cuma bisa bersembunyi di bawah emperan toko sambil mengisap sebatang rokok bergantian untuk memanaskan badan. Kami tidak pernah mempunyai sebuah tempat aman, layaknya satu kepompong besar yang mampu menghangatkan dan melindungi kulit tipis dan tubuh kecil ringkih kami. Sekali lagi, hanya jalanan satu-satunya tempat pelarian dan persembunyian yang paling memungkinkan. Namun, aku juga dia, tidak pernah merasa iri atau cemburu. Bahkan biasanya kami selalu mencari-cari keberadaan kamu. Seperti rasa kehilangan yang sangat. Lalu mencoba bertanya dalam hati, sedang apa kamu di hari ini?

Tetapi kami selalu berpikir positif, bahwa kamu masih tetap lebih mendingan. Toh, mereka masih bisa mencarimu dengan alamat yang jelas, jika ada razia Satpol PP yang sedang menangkapi anak-anak jalanan. Kelak akan ada seseorang yang memberi tahu, di mana tepatnya tempat tinggalmu. Itu jauh lebih bagus. Jadi kami bisa menumpang alamat, kelak jika kami tertangkap juga. Betul, ‘kan?

*

Dia. Dia yang selalu berada di antara aku dan kamu. Suara cemprengmu menghangatkan jiwa-jiwa kami yang kesepian. Meski suaramu kadang terdengar seperti bunyi knalpot bocor, jika mood-mu mendadak hilang. Sebagai teman, kami akhirnya tahu, saat itu kamu harus bersusah payah mengumpulkan uang kontrakan.

“Masak aku juga yang harus membayarnya!” cerocosmu nyaring dan begitu terus seharian diulang-ulang. Kami cuma bisa manggut-manggut mendengar keluhannya. Begitulah kejahatan orang dewasa, memindahkan beban kepada sang anak.

Biasanya setelah lelah dan penat sehabis mengamen sepanjang hari, kami menghabiskan waktu bersama-sama. Menghibur diri. Beberapa teman lainnya yang senasib, selalu bernyanyi dengan riang dan gembira bersama kami, sambil berbagi lagu-lagu baru yang belum kami mengerti beberapa chord-nya. Salah satu kelebihan dia adalah, dia terjun ke jalanan semenjak dia masih menjadi seorang bayi berwarna merah. Lebih tepatnya, menjadi bayi sewaan. Mungkin kupingnya telah terbiasa mendengar semua jenis senandung lagu semenjak balita. Bisa jadi …. Entah siapa kedua orangtuanya, tak pernah ada seseorang pun mampu mengingatnya. Di jalanan, gembel, pengemis, bahkan pengamen, datang setiap hari dan muncul silih berganti. Tak ada habis-habisnya. Begitulah wajah kemiskinan kota yang sebenarnya.

Aku dan kamu pun sering menanyakan langsung kepada dia, siapa orang tuanya? Barangkali ia mampu mengingat sedikit. Ia hanya menggeleng tegas. ”Tak tahu,” begitu saja jawabnya.

Tetapi jika aku dan kamu menanyakan tentang lagu-lagu terbaru, atau “lagu-lagu busuk”, dia langsung otomatis menjawab pasti, tanpa ragu! Dia akan menjelaskan semuanya, secara lengkap dan utuh. Bahkan lengkap dengan beberapa versi dan gaya bernyanyi. Yang paling menarik adalah gaya banci kaleng-nya. Aku, kamu, dan juga semua orang yang hadir, akan tertawa terbahak-bahak melihat aksi gaya seronoknya yang lemah gemulai menggemaskan.

*

Tahun-tahun yang menyedihkan berlalu dengan cepatnya. Seperti laju bus kota yang sedang melaju kencang tanpa halangan di atas jalan bebas hambatan. Aku, kamu, dan dia telah berubah. Tumbuh berkembang seperti bunga-bunga liar yang bermekaran di pinggir jalan tanpa pernah dikehendaki. Kamu menjelma menjadi seorang gadis cantik, dia menjelma menjadi seorang pangeran jalanan yang tampan. Dan aku … aku hanya berubah sedikit. Tetap menjadi pangeran, ah, aku malu mengatakannya. Maksudku seperti Pangeran Kodok. Lebih mudah membuat gambaran sederhananya. Seorang lelaki kecil yang jelek, pendek atau bogel, yang hanya bertambah beberapa centimeter sedikit, dengan kulit yang hitam legam terpapar cahaya matahari. Jadi tidak salah, jika aku mengatakan seperti itu. Lainnya, suara tenorku tetap sama, melengking dan nyaring. Boleh dibilang nyaris tak ada perubahan yang signifikan. Seandainya bisa memilih, tentu saja aku lebih memilih bermetamorfosis menjadi seorang lelaki tampan yang wajahnya sering muncul di televisi, sekali waktu aku pernah menonton dramanya yang menyedihkan. Aku lupa siapa namanya.

Seperti waktu yang selalu merambat dengan cepat. Ada kebiasaan baru yang mengubah diriku, kamu, dan dia. Aku jadi lebih sering mengintip-intip wajahmu yang menawan. Mataku juga sesekali berani menatap dadamu. Memandang dengan takjub. Jujur saja, aku tak mengerti tentang perasaan ini. Perasaan ini datang dengan tiba-tiba. Apa hanya aku yang pernah mengalaminya? Namun, salahku adalah, aku tak pernah bertanya kepada orang lain untuk memastikan. Malu. Dan perasaan ini berusaha kutepis jauh-jauh. Tetapi nyatanya, aku selalu saja gagal fokus jika kamu mulai mengajak berbincang-bincang. Mulutku menjadi mengerucut. Gagap dan gugup. Tak seperti biasanya.

Tetapi yang membuat semuanya terlihat berubah adalah, ketika kamu dan dia lebih sering menghilang, jika waktu untuk berkumpul bersama tiba. Jarang-jarang ada acara nongkrong yang lengkap dengan kalian. Aktivitas ini mulai terasa hambar. Aku mulai terbiasa menerima ketidakhadiran kalian, seperti awal mula terjun ke jalan. Aku juga mulai belajar menghibur diri sendiri dan bagaimana cara mengusir kesepian. Pada akhirnya aku mulai belajar berteman dengan sesuatu yang lain, meskipun aku juga telah mempunyai teman lainnya dalam keseharian. Sesuatu yang lain itu aku anggap bisa menghibur hati, sanggup menemani kapan saja, dan di mana saja. Meski ia harus dibeli dengan uang. Jangan khawatir, di jalanan juga ada banyak orang yang kesepian. Sama sepertiku. Mereka mau patungan membelinya. Sesuatu yang lain itu bernama: minuman oplosan.

Bersambung….

Karna Jaya Tarigan, seorang penulis pemula. Pengagum Michael Crichton.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply