Perpisahan yang Sederhana
Oleh: Nurul Istiawati
Aku menyempatkan menghirup udara dalam-dalam sebelum Ilham memarkirkan sepeda motornya di halamam depan. Kami bergerak pelan dan penuh pertimbangan lalu berdiri di ambang pintu mengamati keriuhan rumah makan langganan kami. Seorang pelayan mengatakan bahwa ada dua orang yang berulang tahun dan membawa anak-anak panti sehingga rumah makan tampak lebih ramai.
Kami beralih ke rumah makan seberang karena Ilham menginginkan tempat yang lebih tenang untuk bercakap-cakap. Di tepi jendela, kami duduk di meja khusus dua orang berhadapan. Aku bersikeras menghindar bertatap mata dengannya. Aku sudah tahu apa yang akan ia bicarakan. Pembicaraan yang terasa menyakitkan beberapa bulan belakangan ini.
Ilham menekuni daftar menu, lama sekali. Kubayangkan seperti malaikat yang meneliti satu per satu kesalahan manusia.
“Mau makan apa?” tanyanya.
“Terserah.”
“Minum?”
“Terserah.”
Ilham memutar bola matanya. “Dasar perempuan,” gumamnya pelan.
Ilham memanggil pelayan dan menyebutkan makanan yang ia pesan. Aku sibuk memainkan jari di atas meja sehingga tak begitu mendengarkan percakapan mereka.
“Jadi, bagaimana kabar Wildan?”
Sudah kuduga Ilham akan menanyakan hal ini meskipun aku tak ingin membicarakannya.
“Baik.”
“Kelihatannya, hubunganmu dengannya jauh lebih baik dibanding hubungan kita, Ra.”
Ilham menyapukan pandangannya ke luar jendela.
“Kamu cemburu, Ham.”
“Tidak.”
“Akuilah.”
“Aku serius, Ra.”
“Aku juga.”
“Kudengar kalian masih dekat hingga sekarang.”
“Itu hanya masa lalu.”
“Hanya masa lalu?” Ilham menatapku curiga.
“Kamu tipikal pria posesif yang rela mengitari bumi bahkan sampai terjungkir hanya untuk mengorek masa lalu pacarmu.”
“Wajar jika aku ingin tahu semua masa lalumu, Kinara. Aku pacarmu.”
“Bisakah kita bicarakan hal lain, Ham?” tanyaku.
“Tentang apa misalnya?”
Mataku menatap jalanan. “Yuri. Bagaimana dia?”
“Ah, gadis itu … kamu tahu, aku tak ingin menikah dengannya.”
“Tapi kamu menghendakimya, Ham.”
“Bukan aku! Mama yang menginginkannya. Perjodohanku dengan Yuri takkan terjadi seandainya kamu menerima lamaranku.
“Kamu tahu betul alasanku menolakmu, Ham.”
“Ya, aku tahu.”
“Kenapa kamu tak meninggalkanku sejak waktu itu?”
“Sejak kamu di rumah sakit dan dokter memvonismu? Aku tak sepecundang itu, Ra.”
“Aku takkan sakit hati jika kamu melakukannya. Maksudku … kamu akan jauh lebih bahagia jika hidup dengan perempuan lain.”
Binar di mata Ilham menyurut seketika. “Tak kusangka kamu berpikir sejauh itu, Ra.”
“Mamamu takkan menerimaku sebagai menantu, Ham.”
“Kata siapa? Kamu perempuan yang baik dan manis. Mama menyukaimu dan aku mencintaimu. Apa masalahnya?”
“Tapi aku sakit, Ham. Kanker ini terus menggerogoti tubuhku dan kemungkinan terbesar aku tak bisa memberimu keturunan.” Napasku memburu dan kurasakan mataku mulai basah.
“Masih ada alternatif lain. Adopsi, misalnya.”
“Aku hanya ingin mengingatkan bahwa kamu anak tunggal, Ham. Jika kamu menikahiku dan aku tak melahirkan anak, maka putus sudah riwayat keluargamu. Keluargamu tak bakalan punya penerus.”
“Aku tak minta jadi anak tunggal, Ra!”
“Sama. Mamamu juga tak minta jadi anak tunggal. Papamu juga tak mau jadi anak tunggal. Namun pada kenyataannya kalian semua anak tunggal, Ham.”
“Oh. Oke.”
Ilham terdiam hampir lima belas menit lamanya, tenggelam dalam pikiran. Aku akhirnya memenjarakan sepi dengan membuka suara yang diiringi getar.
“Ham … mari kita putus.”
“Lucu sekali kita berakhir dengan cara seperti ini. Kamu ingat ini tanggal berapa?”
“Empat belas.”
“Empat belas April, hari kita jadian, Ra. Apa kamu tahu berapa lama kita pacaran?”
“Enam tahun, tepat hari ini.”
“Hubungan panjang yang yang sia-sia.”
Setengah mati aku berusaha bicara balik. Kata-kata tersangkut di tenggorokanku yang kepayahan menahan isak.
“Aku minta maaf.”
“Untuk apa?”
“Untuk kesia-siaan selama enam tahun ini.”
“Tak apa. Setidaknya ada kepastian mengenai akhir hubungan kita.”
“Boleh aku bertemu mamamu, Ham?”
“Tak perlu. Aku akan jelaskan semua padanya.”
“Sekali saja ….”
“Tak usahlah!”
“Aku mohon, Ham.”
“SUDAH KUBILANG TAK USAH!”
“Oke! Oke!”
Waktu seperti membeku. Ia mematung beberapa saat. Lalu kudengar tarikan napasnya. Ilham meneguk habis sisa minuman di gelasnya.
“Apa kau ingin memesan minuman lagi?”
Aku menggeleng pelan.
“Aku akan mengantarmu pulang.
“Aku akan pulang sendiri.”
“Ra, biar aku mengantarmu untuk terakhir kalinya.” Ilham memohon dan aku hanya diam. Ia tahu betul tabiatku, diam berarti iya.
Dadaku sesak sekali. Langit berwarna jingga di luar sana tetapi di rumah makan ini semuanya tampak kelabu.
Ilham memanggil pelayan lagi. “Hitung semuanya, Mbak,” katanya. Pelayan itu lantas balik ke kasir lalu datang kembali ke meja kami membawa nampan kecil berisi secarik kertas kecil. Ilham menatap kertas itu, menarik dompet dari saku celananya, dan menaruh beberapa lembar uang di atas nampan bersama secarik kertas tadi.
Kami tak banyak bicara saat perjalanan pulang. Seperti dua orang asing yang bisu. Tak ada lagi percakapan mengenai hal kecil atau pelukan saat motornya menerobos kemacetan. Aku turun melepas helm dan memberinya lambaian tangan. Kami mengakhiri perjalanan enam tahun cinta kami hanya dengan lambaian tangan. Perpisahan yang begitu sederhana. Sesederhana pertemuan kami dulu diĀ perpustakaan.
Kenangan demi kenangan berkejaran di pikiranku, menyiksaku hingga tengah malam. Enam tahun. Perjalanan panjang tetapi terasa singkat hanya karena sebuah lambaian perpisahan. Momen menyenangkan di masa lalu berubah menjadi luka yang memedihkan.
“Ra, coba deh berdiri sebentar,” pintanya suatu hari.
Aku berdiri dan dia menempelkan tangan di atas kursi yang kududuki.
“Wah, panas,” katanya. “Itu artinya kamu akan punya banyak anak.”
“Mitos,” ucapku.
“Kalau ada penelitian yang membuktikan hal itu benar, kamu harus menikah denganku.”
Itu adalah percakapan saat kami baru berpacaran selama tiga bulan. Aku tak ingin mengingatnya. Tetapi percakapan itu muncul begitu saja di kepalaku. Semestinya aku berharap ia akan bahagia bersama Yuri. Namun itu adalah harapan yang pasti melukai perasaanku sendiri. Aku telah menolaknya dan kami berpisah sebab keadaan yang mengharuskan kami untuk memilih jalan masing-masing. Meski sudah tak sejalan, aku hanya ingin ia tahu bahwa tak ada perempuan yang sanggup mencintainya sebesar cintaku padanya. (*)
Tangerang, 04 Juli 2019
Nurul Istiawati, gadis 18 tahun yang hobi dengerin musik klasik.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata