Papan Perut Buncit

Papan Perut Buncit

Papan Perut Buncit
Oleh: Triandira

Saat Budi menulis, kepalanya langsung pusing seperti sedang menaiki komidi putar di pasar malam. Ia belum hafal beberapa huruf meski sudah sebulan belajar di sekolah. Karena itulah ia jarang menyelesaikan PR yang diberikan oleh bapak-ibu guru.

“Itu salah, seharusnya kamu menulis huruf b bukan d,” kata Mia.

Budi tidak peduli dengan ucapan teman barunya itu. Baginya, b dan d sama saja. Mereka sama-sama memiliki perut buncit seperti ibu-ibu hamil yang pernah lewat di depan rumah. Hanya saja, satu menghadap ke kiri dan satunya lagi menghadap ke kanan. Jadi Budi menganggap kalau b dan d seperti saudara kembar. Namun, Mia yang cerewet mengomel lagi dan meminta Budi agar membetulkan jawaban miliknya.

“Ayo, cepat!” perintah si gadis sambil menyodorkan karet penghapus ke temannya.

“Tidak mau!” balas Budi dengan suara yang tak kalah keras, kemudian menutup buku dan memasukkannya ke dalam tas. Mia kaget sekali dan langsung bertambah kesal. Mereka pun tidak jadi mengerjakan PR bersama.

Setelah Budi membereskan peralatan menulisnya, Mia pulang dengan muka cemberut. Lagi-lagi Budi tidak peduli dan malah pergi ke kamar. Bermain robot-robotan sampai akhirnyamengantuk dan tertidur lelap.

***

“Tidak apa-apa, Sayang. Nanti kita belajar lagi, ya. Sampai Budi pintar seperti teman yang lain. Oke?”

Budi mengangguk, tetapi ia sedikit khawatir. Sepertinya Ayah dan Ibu sama-sama sedih karena ia mendapatkan nilai jelek di sekolah. Padahal sudah dua bulan ia menjadi siswa kelas satu dan seharusnya bertambah pintar. Namun ternyata, keadaan Budi masih tetap sama seperti dulu. Buku tulisnya masih penuh dengan catatan merah, sebagian besar tugas juga belum selesai dikerjakan dan ia menjadi siswa yang paling tertinggal di sekolah.

“Dasar bodoh!” cela seorang teman. Budi sering dihina seperti itu, tetapi ia tidak pernah marah atau mengadukan perbuatan si teman kepada Ayah dan Ibu di rumah. Pikir Budi, daripada nanti mereka berkelahi, lebih baik diam saja atau bermain dengan temannya yang lain.

***

Di sore hari yang mendung, tanpa sengaja Budi bertemu dengan Mia. Gadis itu masih terlihat kesal dan enggan berbicara kepadanya, bahkan untuk sekadar menyapa. Budi diam saja, tetapi ia jadi khawatir saat melihat Mia sedang belajar mengayuh sepeda.

Delapan! Delapan kali Mia terjatuh dan Budi merasa kasihan. Jadi ia bergegas menolong.

“Sini!” pinta bocah lelaki itu sambil memegang sepeda Mia. Ban depannya sedikit bengkok dan tidak bisa dinaiki lagi, jadi Budi mengantar pulang Mia dengan berjalan kaki.

“Terima kasih, Budi, sudah mengantarku pulang,” ucap Mia sambil menyodorkan sesuatu. Mereka pun berbaikan. “Oh ya, ini untukmu. Dulu aku sering memainkannya, tapi sekarang tidak lagi.”

“Ini … apa?”

Puzzle.”

Puzzle?”

“Ya. Puzzle.”

***

Nama mainan yang Mia berikan sangat sulit diingat. Selain itu, Budi lebih tertarik pada gambar lucu yang ada di tiap potongan puzzle. Jika disatukan, potongan-potongan tersebut akan menampilkan gambarseekor bebek yang sedang berenang di kolam. Bebek itu menghadap ke kanan. Paruhnya terbuka lebar seperti sedang berbicara. Bebek itu pun mirip dengan tokoh kartun yang sering ia tonton di TV. Kemudian, pada bagian tepi puzzle ada gambar dedaunan. Daun-daun itu sama hijaunya dengan tanaman hias milik Ibu di rumah.

Budi suka gambar itu dan Mia berkata, “B untuk bebek dan d untuk daun.”

Sejak itu, Budi jadi bisa membedakan antara huruf b dan d. Ketika menulis, ia juga tidak merasa pusing lagi. Hebatnya lagi, saat Mia atau teman-temannya yang lain bertanya mengenai huruf-huruf itu, Budi sudah bisa menjawabnya dengan benar. Dengan membayangkan gambar puzzle yang ia punya.

Bebek pada mainan itu menghadap ke kanan seperti perut buncit pada huruf b. Aha! Ternyata yang kembar adalah mereka, bebek dan huruf b. Bukan b dan d yang berlainan arah, begitu pikir Budi.

Ibu dan Ayah mengangguk. Begitu pun dengan Mia. Bukan, bukan karena mereka setuju dengan apa yang Budi katakan. Tetapi mereka percaya, saat ini, cara itulah yang paling memudahkan Budi untuk belajar mengingat. Mereka juga percaya, suatu hari nanti Budi bisa mengerjakan soal dengan benar. Tanpa harus membayangkan gambar apa pun terlebih dahulu.

Oh ya, ada satu lagi yang tak kalah penting untuk diketahui. Daripada menyebutnya sebagai puzzle, Budi lebih suka menyebut mainannya dengan Papan Perut Buncit.(*)

 

Malang, 24 Juni 2019.

Tri Wahyu Utami, gadis penyuka durian yang saat ini tinggal di Kota Apel. Mulai aktif menulis sejak Agustus 2017. Beberapa karyanya telah tergabung dalam antologi bersama penulis lain. Salah satunya adalah antologi Kisah Tengah Malam: 13 Purnama dan Orang-Orang Bermata Kelam. Jika ingin menghubunginya bisa melalui akun FB dengan nama Triandira, email: wahyutriandira1@gmail.com

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply