Suatu Hari di Tengah Hujan Deras
Oleh: Nurul Istiawati
Air dari langit mulai berjatuhan. Malam ini hujan turun. Seperti malam-malam yang lalu. Menyenangkan. Membuat suasana menjadi tenteram. Kuedarkan pandangan, melihat beberapa orang tergesa membuka payung, melindungi diri dari rintik yang mulai deras. Selama beberapa minggu ini, hujan tak hanya membawa air, tetapi juga kenangan.
Aku duduk menanti seseorang di sebuah bar kecil dengan pencahayaan remang. Dari jendela bar, kalian bisa melihat pemandangan jalan yang ramai persis di depannya. Jalan besar itu terbelah oleh pembatas berwarna krim. Ada lampu putih setiap lima meter ditemani pot dari semen serta rumpun bunga.
Di seberang jalan, berjejer rapi gerai foto kopian dan toko buku. Beberapa orang berpenampilan seperti mahasiswa tampak sedang menunggu di kursi putar.
Aku menghela napas panjang. Sejumlah kenangan mulai beterbangan di dalam kepalaku. Termasuk kenangan tentang Juan. Lelakiku.
“Hai, Aletta,” suara lembut perempuan membuyarkan lamunanku.
Aku mendongakkan kepala mencoba menatap sosoknya. Jadi, inilah dia. Dia, Nayya. Perempuan yang juga dicintai Juan.
“Hai,” aku membalas jabatannya dengan canggung. Aku tak bisa melepaskan pandangan dari perempuan itu. Kuteliti tiap jengkal wajahnya. Senyum yang menggantung di bibir ranumnya, alis tebal, bola mata hitam yang berjodoh dengan kelopak mata eloknya. Helai-helai rambut cokelat bergelombang menjuntai ke pundaknya. Dan satu lagi, pundak ulir nan indah dan pinggang ramping yang hanya dimiliki oleh bidadari. Cantik. Pantas saja Juan menganggap perempuan itu berharga. Dan dia memiliki Juan.
Tidak adil! Dia boleh memiliki segalanya. Karier cemerlang, kecantikan wajah, kemewahan, kecuali Juan. Dia tak boleh memilikinya, Juanku. Sejenak ada rasa sakit yang menghantam dadaku, terasa menusuk sampai ke ulu hati.
“Kenapa kau ingin menemuiku?”
Aku menyapukan pandangan ke seberang jalan. “Kau tahu kenapa, Nay.”
“Tidak.”
“Ini tentang Juan.”
“Apa hubungannya dengan aku?” Nayya memasang muka sedatar mungkin. Seolah-olah aku tak tahu tabiat busuknya. Untuk pertama kalinya, aku menatap mata Nayya dengan tajam.
“Kau bercanda? Semuanya jelas ada hubungannya denganmu,” aku menahan diri untuk tidak meninggikan intonasiku.
“Dari mana kau tahu semuanya?”
“Bukan urusanmu!” Lagi. Tatapanku lebih tajam dari suaraku, suara seseorang yang dikhianati.
“Aku datang ke sini untuk menemuimu baik-baik.” Nayya tampak sudah tak tahan dihujam tatapan menusuk dariku. “Jadi, Aletta, lebih baik aku pergi jika sikapmu begini.” Dia mulai beranjak dari kursi.
“Jangan!” ucapku tegas. Satu kata. Mampu menghentikan gerakan Nayya.
“Aku tahu tentang hubungan kalian dari ponsel Juan,” suaraku tercekat di tenggorokan. Aku berdeham pelan mengumpulkan suara lalu kembali kutajamkan tatapanku, “Di dalam ponsel itu, lebih dari delapan ribu pesan mesra kalian masih tersimpan, sejak tiga tahun lalu.”
Hening. Hening yang terasa menyesakkan.
“Sejak kapan kalian memulainya?”
Nayya memalingkan muka, “Aku tak harus menjawabnya.”
“Kau harus menjawabnya!” suaraku meninggi karena kehilangan kesabaran. “Aku berhak tahu sejak kapan perselingkuhan ini dimulai di belakangku!”
“Apa kau sungguh ingin tahu? Juan sangat menjaga perasaanmu, tak ingin kau terluka.”
“Dia sudah berselingkuh dan itu melukaiku!”
Hening kembali, tetapi kali ini lebih menyesakkan.
Aku mulai mengatur napasku. “Apa kau tahu bahwa Juan telah memiliki calon istri? Bahwa dia akan mengikat janji seumur hidup denganku?”
“Ya, aku tahu sejak awal.”
“Dan kau tetap meneruskan hubungan menjijikkan ini dengannya, perempuan macam apa kau ini?”
Mampus! Kalimat terakhirku menampar keras Nayya. Hanya sebuah kalimat, tetapi tamparannya akan terasa ke jantung.
Aku berpikir, perempuan macam apa dia? Ya, perempuan macam apa yang membuka hati kepada lelaki yang telah menjadi hak milik orang lain, yang dengan sepenuh hati membalas peluk cinta dari lelaki bercalon istri. Perempuan gatal, perebut lelaki orang, perusak hubungan orang. Semua istilah buruk kusematkan padanya.
“Aku mencintainya, Aletta.” Nayya menatapku dengan memohon. Kurasa, dia sudah tak tahan dengan penghakiman yang mengiris perasaannya. Nayya hanya ingin mencintai, apa salah?
“Apa Juan mencintaimu?”
“Kurasa iya, ‘aku mencintaimu, Mungil’, begitulah yang selalu ia katakan.”
Kesedihan benar-benar menikamku. Kenyataan ini mendobrak air mata yang susah payah kubendung dengan elegan. Mataku menerawang. “Juan juga sering mengatakan kalau dia mencintaiku,” gumamku. “Setiap kali bertemu, di telepon, dan saat kami bersama, dia selalu mengatakan itu.”
“Oh. Baguslah,” ucap Nayya dengan raut muka menahan cemburu.
“Terlalu sering. Sampai-sampai aku merasa ucapan itu seperti sapaan biasa. Kau tahu, seperti ucapan selamat pagi, selamat siang, atau selamat malam,” sambungku dengan rasa bergemuruh. “Kini aku tahu kenapa.”
“Juan mencintaimu, Aletta,” bisiknya serak.
“Kalau dia mencintaiku, takkan mungkin ia berselingkuh.”
“Tidak, jangan kau berpikir begitu, aku tahu Juan lebih mencintaimu … percayalah.”
“Aku membaca pesan kalian berkali-kali. Bagaimana dia berkata-kata lembut dan romantis kepadamu. Dan dia tak pernah begitu padaku. Menyusun kata-kata romantis … begitu puitis. Seolah-olah dia terlahir kembali menjadi Juan yang berbeda. Jauh berbeda.” Aku mulai terisak. Benda sebening kaca dari mata ini turun lebih deras dari hujan di luar bar. “Tidak mungkin dia mencintaiku.”
“Dia mencintaimu, sekali lagi kukatakan … dia sangat mencintaimu.” Nayya mempertegas suaranya. “Juan tidak pernah romantis dan puitis kepadamu karena mungkin kau tidak nyaman dengan kasih sayang seperti itu. Menurutnya, kau jauh lebih bahagia dengan tindakan tulus dibanding kata-kata puitis. Aku tahu dia sangat mencintaimu.”
“Tetapi dia berselingkuh! Bukankah itu berarti … dia lebih mencintai perempuan simpanannya dibanding aku.”
“Tidak,” gumamnya.
“Tidak?”
“Sebanyak apa pun dia mengatakan bahwa dia mencintaiku. Dia takkan mau dan takkan sanggup meninggalkanmu demi aku. Bagi Juan, kaulah tempatnya pulang, pelabuhan terakhirnya adalah kau, dan wanita yang setengah mati ingin dibahagiakan seumur hidupnya adalah kau.”
“Apa buktinya, Nay?”
“Juan pernah dihadapkan dua pilihan, antara kau atau aku. Dan dia memilih kau ….” Nayya meringis menahan kenyataan yang pasti meremas jantungnya.
“Teruskan.”
“Suatu hari aku kecelakaan dan membutuhkan banyak darah. Golongan darah kami sama, aku tak peduli itu. Aku tidak meminta darahnya. Yang kuingin hanya dia menemaniku, di sampingku.” Nayya memejamkan mata cukup lama, mencoba mengusir kepedihan yang menyeruak. “Juan menemaniku memang, tapi ada yang mengganjal hari itu. Dia tampak gelisah. Ada yang mengganggu pikirannya. Aku tahu, hari itu adalah ulang tahunmu, Aletta. Juan memikirkanmu dan harus menghabiskan waktu denganmu, bukan denganku.”
Kami terdiam. Saling menunggu. Kemudian bibir Nayya bergetar. “Tapi waktu itu aku kesakitan, tubuhku lemas kehilangan banyak darah, wajar jika aku egois … aku butuh Juan. Saat itu aku memohon hingga menangis. Namun justru Juan meminta maaf dan pergi meninggalkanku. Demi dirimu, perempuan yang dicintainya.”
Hening. Kami tenggelam dalam pikiran masing-masing. Aku ingat, hari itu Juan datang dengan senyum ceria dan wajah cerah, membawa liontin emas sebagai hadiah. Hari itu kami menghabiskan waktu bersama-sama. Menonton film, makan malam romantis dengan lilin aroma mawar dan iringan violin, hingga di malam hari kami duduk berdua saling memeluk erat di sofa. Malam itu, aku mengatakan seluruh isi hatiku bahwa aku sangat mencintai Juan. Betapa aku bahagia memiliki calon suami sepertinya, betapa beruntungnya aku memiliki pasangan sempurna. Juan hanya diam lalu menenggelamkan wajahnya ke pundakku, memelukku sedemikian erat.
Aku akhirnya memenjarakan sepi dengan membuka suara yang diiringi getar. “Kau tetap mencintainya, Nay?”
“Aku mencintainya semudah bernapas. Sebab itulah aku berusaha menerima kenyataan. Mengerti bahwa Juan datang tanpa kepastian, mengerti bahwa Juan merahasiakan aku demi menjaga hatimu, serta mengerti bahwa kaulah prioritasnya. Aku mencintainya, karena itu aku mencoba memahami semuanya.” Nayya tersenyum padaku. Senyum yang menguatkan, senyuman perempuan yang sama-sama kehilangan.
“Hubungan ini mungkin menjijikkan bagimu, tetapi aku bangga memiliki perasaan seperti ini. Perasaan mencintai tanpa mengharapkan apa pun,” lanjutnya.
Seharusnya aku marah pada perempuan itu. Harusnya aku mencaci-makinya. Hari-hari lalu aku telah menyiapkan makian dan siap menghunusnya dengan ribuan hinaan, tetapi entah kenapa aku justru tersentuh padanya.
“Sangat beruntung berada di posisimu, Aletta,” ucapnya miris.
“Apanya yang beruntung dari dikhianati?”
“Setidaknya kau menerima cinta Juan dengan pengetahuan seolah-olah hanya kau satu-satunya perempuan yang dicintai. Sedangkan aku menerima cintanya dengan pengetahuan bahwa ada dirimu, perempuan yang lebih dicintai Juan.”
“Itu adalah kebohongan termanis, membuatku menderita.”
“Kita sama-sama menderita. Bedanya, kau menderita di akhir. Sedangkan aku menderita sejak awal.”
Aku terdiam. Nayya benar.
“Aku merasa Juan semakin berubah. Seperti menjauh dariku,” ucapku lirih.
“Mengapa begitu? Bukankah dia selalu di sampingmu? Kaulah prioritasnya, nomor satu baginya.”
Aku mendesah. “Memang dia selalu di sisiku. Kapan pun aku minta. Aku bisa memeluknya kapan saja. Tetapi …,” Aku berusaha mengumpulkan suara yang mulai serak. “tetapi hatinya tidak berada di sana. Tubuhnya bersamaku, namun keberadaan hatinya terasa sangat jauh. Dan sekarang aku tahu kenapa. Hati Juan hanya untukmu, Nay. Bukankah menyakitkan menggenggam tangan seseorang tapi tak mampu menyentuh hatinya?”
“Ya, aku memang memiliki hatinya. Tetapi aku tak bisa memeluknya saat merindukannya. Aku tak bisa menggenggamnya kapan pun aku mau. Aku tak berhak atas tubuh dan waktunya … itu juga menyakitkan. Lebih menyakitkan dari apa pun.”
Kami saling terdiam meratapi dua pilihan yang sulit. Yang satu memiliki hati, yang satu hanya memiliki tubuh. Dua pilihan yang berujung menyakitkan.
Aku mencoba tersenyum meski guratan kelelahan tampak di wajahku. Kulirik jam di tangan lalu berdiri. “Kurasa ini saatnya aku pergi.”
Nayya mengangguk pelan. “Hujan deras di luar dan jalanan masih ramai. Berhati-hatilah.”
Aku tertegun, tak menyangka kalimat itu keluar dari bibir perempuan itu. “Ya, kau juga.”
Aku melangkah ragu. Kemudian terdiam sejenak, berbalik menghampiri Nayya kembali.
“Bisakah kau hadir di pemakaman esok pagi, Nay?”
“Aku?”
“Umm … kau juga berhak datang setelah kehilangan waktu menemaninya di masa kritis, di rumah sakit. Lagi pula … lagi pula Juan akan bahagia di alam sana, saat melihatmu hadir di pemakamannya.”
“Terima kasih, Aletta.”
Perempuan itu berdiri merengkuh pundakku, memelukku sebelum mengucap kalimat sampai jumpa. Pelukan hangat dari perempuan yang rela dibagi cintanya.
***
Tanganku menyentuh kaca mobil yang berembun sisa hujan tadi. Seketika dingin menyerang jariku, menjalar ke telapak tangan, mengalir melalui pergelangan, melewati siku, kemudian bahu, dan tiba di hatiku. Membekukan perasaan. Membekukan kenangan.
Malam ini, di tengah hujan deras, aku telah menyelesaikan apa yang seharusnya selesai. Dan untukmu Juan, tenanglah di alam sana. Di bawah langit ini, aku tetap mencintaimu, tak peduli siapa pun yang sebenarnya kamu cintai.(*)
Tangerang, 27 Juni 2019
Nurul Istiawati, gadis 18 tahun yang hobi dengerin musik klasik.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata