Kotak Amal (Episode 1)
Oleh: Karna Jayakarta Tarigan
Lelaki itu berjalan menyusuri jalanan beraspal kasar yang bergelombang. Melewati persawahan yang membentang luas sepanjang mata memandang. Pohon-pohon yang hijau rindang, berdiri tegak dan daun-daunnya melambai. Dalam langkahnya yang tenang itu, bayangan pepohonan jatuh sebentar ke tubuhnya, lalu berpindah kembali ke pemiliknya, aspal kasar yang berdebu.
Sekumpulan bebek yang sedang bercanda riang tampak berjalan beriringan di pematang. Bebek-bebek itu berjalan dengan lincah dan teratur. Beriringan dan seirama. Sejenak ia menghentikan langkahnya, kemudian bibirnya tersenyum. Tak lama, seorang bocah gembala yang mengikuti iring-iringan itu muncul dari belakang. Mata anak itu kurang awas, sehingga terjatuh ke dalam lumpur. Kali ini ia tertawa terpingkal-pingkal. Lepas. Seperti kebebasannya di beberapa hari ini.
Sudah beberapa waktu, ia memang tidak pernah menapakkan kakinya kembali ke desa ini. Entah setahun, dua tahun, atau lebih. Ia lupa menghitungnya. Sudah terlalu lama. Lelaki itu bahkan tidak ingat, terakhir kali mendengar gemericik air yang mengaliri sawah. Jika saja ia tidak melihat anak gembala tadi buru-buru membersihkan tubuhnya ke kali kecil. Ada sedikit kenangan masa kecil, saat ia bersama teman-teman nyemplung dan berenang di kali kecil yang dangkal, yang airnya berwarna kecokelatan. Masa-masa yang menyenangkan. Sebelum semuanya berubah. Sekelam malam.
Ia pulang, tetapi bukan kepulangan seekor burung yang hendak menjumpai sarang, bukan juga hendak menemui seseorang kekasih yang dirindukan, atau untuk memungut kembali beberapa kenangan manis yang tersisa di kepala.
Lelaki itu tahu pasti, tempatnya bukan di sini. Ia hanya datang untuk meminta maaf. Meminta maaf kepada dua orang yang pernah memberikan cinta dan kasih sayang dengan tulus, dua orang yang selalu mengajarkan akhlak dan budi pekerti, dua orang yang sering kali mendapat banyak kesulitan akibat ulah-ulahnya. Ia hanya ingin memeluk dalam-dalam tubuh Bapak dan ibunya, lalu mencium punggung tangan mereka, seraya mengatakan: maafkan aku, Bu, Pak ….
***
Beberapa hari yang lalu, surat pembebasannya datang. Seorang sipir tua yang ramah, menunjukkan selembar kertas putih dari balik amplop cokelat. Ia bebas bersyarat. Jadi, lelaki itu bisa kembali menghirup udara luar penjara. Sebelum saling berjabat tangan sebagai tanda perpisahan, sipir tua yang rupanya salah seorang sahabatnya, memeluk dan berkata, “Mulailah dengan sesuatu yang baru. Jauhi teman-teman lamamu. Aku tidak ingin melihatmu lagi berada di sini, untuk yang ke sekian kali.”
Ia hanya tersenyum. Diam. Lalu mencium tangan kanan sipir tua sebagai tanda hormat. Ia hanya berkata dengan nada yakin, “Insya Allah, Pak. Aku akan selalu mengingat pesan-pesan Bapak. Percayalah ….”
***
Beberapa kilometer lagi, ia akan tiba ke rumah. Suara azan yang menggemakan panggilan salat terdengar dari jauh. Sayup-sayup memanggilnya, seolah membisikkan sesuatu. Ada kerinduan yang meluap-luap. Ada kedamaian yang bisa ia temukan. Menjumpai Tuhan, Sang Pemilik kehidupan. Semakin ia berjalan, suara orang yang sedang memuja Tuhan semakin terdengar, lebih kencang dan dekat dengan kupingnya. Berarti sebentar lagi ia akan menjumpai musala. Hanya ia lupa tepatnya berapa lama lagi kaki-kakinya akan mengantarkan keinginannya memasuki pekarangan kecil musala itu.
Melewati tikungan jalan, kebun durian yang luas, lalu barisan rumah penduduk yang berderet rapi. Atap musala itu menyembul dari balik deretan pohon-pohon jati yang tinggi menjulang dan sebuah gubuk sederhana milik marbot yang masih seperti dulu, berdiri dengan kokoh.
Lelaki itu lalu memasuki pekarangan musala. Salat berjamaah telah usai. Ia terlambat. Duduk sebentar sambil menyeka keringat. Kemudian ia membuka tali sepatu. Matanya bergerak, memindai sebentar ke sekitar musala. Tak banyak yang berubah sebenarnya. Hanya kusen tua yang telah sedikit dimakan rayap. Dan sedikit tambalan semen pada tembok yang telah ditutupi cat tebal berwarna putih. Pun, lantai ubin yang berwarna abu-abu, masih seperti dulu. Tidak pernah berganti keramik yang bermotif, layaknya musala di dalam penjara yang sering ia kunjungi. Namun, tempat ini sungguh menyimpan banyak kenangan. Hari pertamanya belajar mengaji ada di sini dan salat Tarawih pertamanya juga di sini.
Ia mengambil napas, lalu mengembuskannya perlahan. Tak ingin berlarut-larut dalam kenangan, ia segera menggulung lengan kemejanya. Satu gambar tato ular naga yang melingkar, tak sengaja terlihat di lengan kirinya. Ia berjalan menuju pancuran samping, bergegas mengambil air wudu. Seorang lelaki tua muncul dari balik pintu kamar mandi dan tersenyum. Ia balik membalas dengan satu senyuman juga. Sepertinya ia mengenali orang tersebut, tetapi siapa, ya, pikirnya. Namun, ia segera menyelesaikan wudunya. Ia tak ingin ketinggalan salat lebih lama lagi.
Bersambung ….
Karna Jaya Tarigan, seorang Penulis pemula yang terdampar di Facebook untuk berkarya.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata