Arah Angin (Episode 2)

Arah Angin (Episode 2)

Arah Angin (Episode 2)
Oleh: Uzwah Anna

(POV Nilam)

Di luar hujan deras disertai angin kencang. Tatkala itu pula ponselku berdering. Kulihat sebuah nama di layarnya: Angin Ribut. Dia adalah teman sekaligus orang yang sudah kuanggap sebagai saudara. Nama aslinya adalah Angin Tanjung Arum. Hanya saja aku lebih suka memanggilnya Angin Ribut. Mengapa demikian? Ya, seperti yang banyak diketahui … Angin adalah sesosok gadis yang keras kepala dan sangat banyak bicara. Tak jarang dia berdebat dengan ayahnya karena selalu berbeda prinsip. Jika ditelusuri lebih lanjut, sebenarnya watak keras Angin dituruni dari sang ayah. Beruntung dia memiliki ibu yang sangat bijaksana, yang selalu memilih diam demi ketentraman dan perdamaian dalam rumah tangga. Maka tak heran jika perempuan yang fisiknya mirip sekali dengan sang putri semata wayangnya itu selalu mendorong Angin berdiam diri di lantai atas ketika ayahnya sedang marah-marah. Tujuannya agar masalah segera selesai—jika tak ada tanggapan berarti. Namun, jika Angin ikut campur—meski sejatinya gadis ini berada di posisi benar, membela ibunya—maka dipastikan perkara akan melebar. Ayahnya akan selalu menyalahkan wanita berperangai halus itu, “Kau tidak bisa mendidik putrimu, heh? Mana ada seorang putri yang melawan ayahnya sendiri!”

Tidak hanya sekadar kalimat-kalimatnya yang menyakitkan. Namun, ucapan tersebut selalu dibarengi dengan sebuah tamparan atau pukulan brutal. Oleh sebab itu Bibi Sekar—begitu aku biasa memanggil ibunya Angin—selalu memilih berdiam diri daripada melakukan pembelaan. Sebab dia sangat paham karakter sang suami: tak suka disela ketika bicara dan selalu menganggap dirinya benar.

Kuraih ponsel di atas meja dan menggeser tombol warna hijau ke kanan. Seperti biasa, tanpa salam maupun basa-basi, Angin langsung bertanya, “Hei kau senggang, tidak?”

Sebagai kawan lama, tentu aku sudah sangat paham dengan gaya bicara Angin. Di malam hari begini, setiap kali telepon, pasti tak akan menanyakan hal remeh-temeh. Sudah bisa kutebak, pasti sekarang dia kabur lagi dari rumah.

Tentang kabur, sebenarnya Angin tak pernah serius kabur dari rumah. Jika ada masalah dengan ayahnya, atau sedang kesal dengan sikap Bibi Sekar—yang terlalu lunak dan selalu mengalah—dia selalu meneleponku. Sebab memang tak ada lagi seseorang yang dia percaya selain aku. Entah apa yang ada dipikirannya sehingga selalu mempercayakan ‘segala sesuatunya’ padaku yang ceroboh bin teledor ini. Seperti halnya gadis perfeksionis dan berwatak keras lainnya, Angin sering kali memarahiku sebab ini-itu. Bahkan, dia bilang akan memecatku sebagai kawan!

Edan!

Jika kalian tanya, Apakah aku tak pernah sakit hati dengan sikap Angin?

Seceroboh-cerobohnya diriku, tentu saja aku masih memiliki hati. Pun juga aku seorang perempuan yang identik dengan sifat sensitif. Aku bukan malaikat. Jadi, tidak hanya pernah, tapi sering sakit hati oleh ucapannya. Namun, mau bagaimana lagi, Angin dan Bibi Sekar sudah kuanggap sebagai keluarga sendiri. Aku tak bisa berlama-lama mendiamkan Angin. Selalu, ketika kesal dengannya, maka segera saja kublokir nomornya. Namun sayang, aku tak bisa berlama-lama mendiamkan gadis bawel tersebut. Ada saja ulahnya agar aku sesegera mungkin merobohkan tembok perseteruan dengannya.

Sejak aku menjadi yatim piatu, mereka berdualah yang mengurusku. Bahkan, jika bukan karena ayahnya Angin, mungkin aku masih tinggal di rumah mereka sekarang.

Baru saja aku akan menjawab pertanyaan dari sambungan telepon di seberang sana, tetapi kucingku yang bernama Mimi sedang di teras. Dan sepertinya ada kucing jantan sedang ingin mengencaninya.

Selain Angin dan Bibi Sekar, Mimi juga sudah kuanggap sebagai keluarga. Banyak orang yang mencibir kenapa seekor kucing kuperlakukan sebagaimana keluarga. Jawabku, “kenapa tidak?” Toh, meski seekor kucing Mimi juga makhluk ciptaan Tuhan. Dia bernyawa dan memiliki hati. Hanya saja tak mampu berbicara layaknya manusia. Selain itu, di kontrakan ini, hanya Mimi-lah yang menemaniku.

Aku tak ingin Mimi beranak sebelum usianya genap dua tahun. Aku tak rela jika Mimi hanya dijadikan pemuas nafsu si kucing jantan yang kerap kali mengencani berbagai kucing betina itu, lantas anggora berbulu putih milikku ini dicampakkan begitu saja ketika sedang mengandung janin hasil perbuatan bajingan jantan itu.

“Mimi, tak kuizinkan kau berkencan sebelum aku menemukan pangeranku.” Kurengkuh Mimi dalam gendongan. Lantas mengusir si jantan sialan itu menggunakan sapu. “Jangan coba-coba mendahuluiku, paham! Kau masih terlalu kecil untuk mengenal asmara, Mimi.” Telunjuk kugoyang-goyangkan di depan wajahnya. Kuharap dia paham akan perkataanku.

Mimi hanya menjawab, “Meong ….” lantas dia melesakkan kepalanya di sudut sikuku. Mencari kehangatan dan mengusir dinginnya angin malam dan hujan. Atau mungkin dia sengaja merayuku agar berhenti memarahinya? Entahlah. Yang pasti sikap Mimi mampu membuat emosiku melunak.

“Hei, kau senggang, tidak! Tinggal jawab aja apa susahnya, sih?” suara Angin meninggi.

Ah, iya. Karena terlalu fokus dengan si kucing jantan itu, aku jadi mengabaikan Angin. Beruntung tadi kutekan loud speaker, jadi suaranya yang macam guntur langsung terdengar.

“Iya, aku senggang. Kenapa? Kau kabur lagi?” tanyaku setelah meraih ponsel di atas meja.

“Udah tau nanya,” jawabnya sengit. Tuh, benar ‘kan? Dasar tukang kabur!

“Ya, udah, langsung ke sini aja.”

“Ogah. Males ah, ke kontrakanmu. Engap! Bisa mati aku di situ karena kehabisan napas. Aku sedang cari angin segar.”

Sialan!

Dih, bisa-bisanya dia bilang begitu. Apa si Bawel itu lupa setiap kali kabur, menginap di mana? Ya, di sini. Mungkin Angin sudah menderita amnesia dan alzeimer sekaligus.

Mendengkus kesal, lantas kutanya, “Terus?”

“Segera datang ke sini!” ucapnya singkat. Dasar gadis menyebalkan. Dia lebih menunjukkan sikap memerintah daripada meminta. Mungkin si Bawel itu mengira dirinya seorang ratu yang bisa memerintah para abdinya seenak udelnya sendiri.

“Di mana?”

“Jembatan layang!”

“Lu ngajakin gua jadi cabe-cabean di sono?” Sengaja aku menggunakan bahasa slang karena saking kesalnya.

“Lagian masih nanya. Ya, di tempat biasalah ….”

“Tapi di sini sedang hujan.”

“Sejak kapan kau dikutuk menjadi kerupuk, heh? Jangan manja! Ambil mantel, pakai helm. Dan segera datang ke sini. Kutunggu!”

Tit! Saluran telepon mati seketika.

Dih, ini bocah memang sangat menyebalkan. Dia tak memberiku kesempatan untuk menolak. Sesuai sarannya, kuambil jas hujan dan helm lantas men-starter motor menuju kafe di mana kami biasa melepas penat.

***

Biasanya perjalanan bisa kutempuh hanya dalam dua puluh menit. Akan tetapi karena sudah malam dan hujan, aku baru sampai setelah hampir empat puluh menit.

Kuparkir motor tak jauh dari pohon trembesi yang berjajar di pinggir jalan. Daun beserta pucuk-pucuknya bergoyang seirama semilir angin malam. Beruntung ketika sampai di sini hujan sudah sepenuhnya reda. Atau mungkin di sini memang tak turun hujan? Entahlah. Yang pasti jalan aspal di sini tak tergenang air. Hanya sedikit basah—yang tak berarti sama sekali. Kulihat Angin sedang duduk di seberang pohon trembesi. Dia memandang langit tanpa bulan dan bintang. Dari raut wajahnya seakan dia menyimpan banyak kegundahan, sehingga tak menyadari kedatanganku.

Iseng, lantas kutepok pundaknya dari belakang, “Udah lama, Non? Tengah malam begini ngelamun. Kesambet kangguru pakai kain kafan baru tau rasa kau!”

Tak kusangka sapaanku barusan mendapat respons yang berlebihan dari Angin. Dia hampir saja terjungkal saking kagetnya. “Asem! Kau ingin buat jantungku copot, heh?”

“Bisa nggak yang dicopot ginjal aja? Sekarang lagi marak jual-beli ginjal,” jawabku datar.

“Asem!” ujar Angin berang.

“Berapa lama lagi kau akan bertahan di sini, heh? Kau mau mengumpankan badanmu pada angin malam? Aku kedinginan. Pengen minum cokelat hangat,” ajakku menuju ke dalam kafe.

Sebenarnya Angin enggan masuk. Dia masih menikmati dersik yang membuai rambutnya. Akan sangat lama dan terlalu mendrama jika aku kembali bersuara. Maka tanpa ba-bi-bu, langsung saja kutarik lengannya masuk ke kafe. Mataku berkeliling mencari tempat duduk. Namun, tiba-tiba saja pandanganku dan Angin terpaku pada sesosok pria paruh baya yang sedang berdiri di depan kami seraya meletakkan tangan kanannya pada pinggang gadis cantik nan bahenol serta berpakaian cukup … seksi.

Sedikit bergetar, Angin berseloroh, “Ayah ….”

Bersambung ….

Episode 1 (sebelumnya)

Uzwah Anna, lahir, tumbuh dan besar di sebuah pelosok kampung di Kabupaten Malang. Gemar kulineran bakso dan soto. Pecinta kudapan tape goreng, tahu isi dan cilok. Suka berkebun buah dan bunga. Mawar merah merupakan bunga terfavorit!
FB: Uzwah Anna

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply