Pada Ulang Tahun Pernikahan
Oleh: Eda Erfauzan
Cinta ibarat hujan, turun tanpa suara. Datang tiba-tiba tapi sanggup membuat sungai meluap (Paulo Coelho)
Aku pernah ada di titik itu, memberi terlalu banyak maaf karena cinta yang meluap. Luapan air yang kini membawa laki-laki itu menjauh. Masih kutatap punggungnya dengan mata basah, rinai hujan makin mengaburkan sosoknya hingga tak ada lagi yang terlihat.
Konon seekor katak yang diletakkan dalam panci berisi air kolam di mana selama ini ia tinggal, akan tetap diam dalam panci sekali pun panci itu diletakkan pada kompor menyala dan air perlahan menjadi panas. Katak itu seakan mati rasa, ia tak bereaksi dengan suhu air yang meningkat juga perubahan di sekitarnya. Saat air mendidih ia pun mati. Tetapi jika katak dimasukkan dalam panci saat air mendidih, maka ia akan lompat keluar dengan kulit terkelupas dan hidup.
Seperti itulah mungkin hidupku bersama Alam. Lelaki pilihan yang awal-awal pernikahan begitu lembut, penuh cinta dan mampu membuatku merasa jadi wanita utama hingga cinta dalam hatiku meruah. Bahkan saat ia mulai melayangkan tangan tiap kali marah atau merasa tidak nyaman. Aku masih berkata tak apa-apa. Pun ketika lebam dan memar mulai menetap hingga beberapa hari.
Aku seperti katak yang tak menyadari jika air tempatnya berendam mulai panas. Terjebak dalam rasa nyaman yang entah. Kekerasan Alam kian meningkat dan mulai membuatku luka, fisik serta hati. Tetapi selalu ada maaf setelahnya, Alam menjadi laki-laki paling lembut. Laki-laki yang memohon maaf, matanya berkaca-kaca lalu semua luka disentuh hati-hati, dengan kelembutan sempurna. Lebamku dikompres, luka dibersihkan dan diberi obat. Tatapannya berpendar penuh cinta, selalu aku kembali luruh. Dalam pelukannya aku laksana mutan yang menyembuhkan diriku dengan cepat. Dalam dekapannya luka-lukaku mengatup.
Siang itu aku bertemu Ning dan tanpa sengaja mengaduh saat membuka mulut untuk menyuap gado-gado kesukaan kami. Sudut bibirku terasa perih begitu pun mukosa pipiku. Sisa tamparan Alam semalam.
“Kenapa?” Matanya menyelidik
“Sariawan.” Aku memaksakan senyum.
Ning meletakkan sendok, menatapku tajam lalu melanjutkan makannya. Aku berdebar, Ning pasti mulai menerka. Aku jadi tertutup dan menjauh dari teman-teman setelah menikah. Hanya beberapa yang masih sering bertemu dan Ning salah satunya. Ini sebuah pola, otaknya pasti berpikir cepat.
Ning dulu aktivis di sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat dengan konsentrasi memberdayakan perempuan dan kerap menangani masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Ia sempat kehilangan minat untuk menikah ketika mendapati sebagian perempuan justru menderita dalam pernikahan mereka. Tetapi Allah mahabaik mempertemukan jodohnya, seorang laki-laki yang memahami ketakutan-ketakutannya dan Ning pun meninggalkan pekerjaannya.
Saat wudu bersama, ketika aku menggulung lengan gamis ia melihatnya.
“Senja?” Tatapannya bergantian antara wajahku dan bulatan berwarna ungu sebesar bola kasti di lengan juga kulit terkelupas di ujung siku.
Usai salat aku menangis dalam pelukannya. Selama ini aku menyimpan ketakutan dan rasa malu untuk menceritakan apa yang kualami.
“Bodoh! Kau menyiapkan dirimu menjadi martir[1]. Apa susahnya meneleponku!” ujarnya geram.
“Aku … mencintainya, Ning.”
“Dan menukarnya dengan nyawamu?”
Aku menggeleng dan tahu maksud kata-katanya, tetapi ini tentang keluargaku. Rasanya seperti membuka aib sendiri jika bercerita pada orang lain. Ah, mereka pasti menyarankan untuk pergi dan meninggalkan Alam. Sejak menikah, Alam-lah duniaku, pusat hidupku, jadi, bagaimana aku bisa meninggalkannya?
Semua berubah pada tahun keempat pernikahan kami. Ning dan suaminya datang saat berjuta kunang-kunang berputar di sekelilingku, ketika gelap mulai menyelimuti dan aku terhuyung dalam balutan cairan lengket dan anyir.
Aku tersadar di sebuah ruangan bercat ungu muda dengan aroma lavender. Seluruh tubuhku terasa sakit. Leher dan tangan tak bisa digerakan.
“Akhirnya, terbuka juga matamu, Senja. Welcome!” Ada senyum lega di wajah Ning.
Aku berusaha membuka mulut tetapi rahangku terasa kaku.
“Jangan bicara dulu, dengerin aku aja, ya,” bujuknya.
Malam itu entah kenapa Ning terpikir untuk ke rumahku padahal malam mulai larut. Ada sesuatu yang membuatnya resah dan aku-lah yang terlintas dalam pikirannya. Ia dan suaminya perlu mendobrak pintu untuk masuk ketika mendengar teriakan Alam dan lirih suaraku, mereka menemukanku sudah separuh sadar bersimbah darah.
Dibantu beberapa tetangga yang kemudian datang, mereka membawaku ke rumah sakit sementara Alam ke kantor polisi.
Dua hari aku tak sadarkan diri. Tujuh jahitan di kepala, memar di sekujur tubuh, patah pergelangan tangan, dan leher menggunakan cervical collar. Lebih dari itu, aku kehilangan calon bayiku. Entah apa saja yang digunakan Alam untuk memukulku dan apa pemicunya. Ning bilang Alam masih bebas karena ada jaminan dari keluarganya. Ah, aku tak dapat lagi mengenali perasaanku, semua terasa kebas, kosong bahkan rasa sakit itu pun seperti meninggalkanku. Sendiri dan hampa.
Beberapa hari setelah keluar rumah sakit, laki-laki itu datang dengan permohonan maaf, tangis dan sebentuk cincin cantik bermata ruby merah delima. Dia terlihat terpukul dan sangat menyesal.
Leher masih disangga, tangan masih kugendong karena gipsnya belum dilepas dan kepala masih sering berdenyut nyeri tetapi melihat tatapan berbalur cinta dan wajah penuh sesal itu hatiku perlahan menghangat. Mataku basah.
“Malam itu harusnya menjadi ulang tahun pernikahan yang tak terlupakan. Kau, aku dan calon bayi kita.”
Cess!
Kata-katanya laksana air es menyiram bara yang mulai memerah. Aku seperti tertampar, rasa panasnya memaksaku bangun dari tidur panjang. Tanpa sadar melirik jari-jariku yang terlihat besar di bawah balutan gips, menggerakkan leher yang terasa kaku. Aku mundur, nyeri di perut seakan kembali terasa. Calon bayi kita. Kata-kata itu menikamku.
Air tempatku berendam mulai terasa panas. Ayo Senja, bangun! Buka matamu! Lihat siapa yang menikahimu selama ini.
“Honey ….”
Kutatap Alam dengan bingung. Ke mana menguapnya rasa indah tadi? Alam menjadi sosok asing di depanku. Aku tak lagi percaya, laki-laki ini. Dia … dia telah membunuh anakku. Aku terisak.
“Honey ….”
“Pergilah! Lepaskan aku.”
“Kau tahu, aku tak bisa jauh darimu.
“Karena kau belum membunuhku seperti yang kau lakukan pada anak kita.” Tangisku pecah.
“Senja ….”
“Pergilah Alam! Bawa cincin itu jika kau ingin memberiku hadiah. Beri aku surat cerai.” Susah payah aku mengucapkannya, seperti ada sesuatu yang tajam, bergerigi menikamku, lalu benda itu ditarik perlahan-lahan. Sakit dan perih.
Dia menatapku tak percaya, menggeleng dengan tangan terkepal, ada riak aneh di matanya, sekejap. Riak yang selalu terlihat saat ia memukulku. Alam menendang meja, hatiku bergetar melihatnya tapi tidak, cukup sudah. Ia menyugar rambut, mengibaskan tangan ke udara, dan sekali lagi menatapku dengan aneh lalu membalik seraya memegang kepala. Sungguh, hatiku retak usai mengatakannya. Andai aku bisa sekuat ini sebelumnya.
Hujan masih menyisakan titik-titik yang jatuh satu per satu di titian atap. Empat tahun pernikahan. Pada tanggal, hari, dan bulan yang sama bukan perayaan untuk mengenang perjalanan cinta kami yang terjadi tetapi malam penuh nestapa hingga perpisahan menjadi pilihan. Aku harus melompat, sebelum terlambat meski kulitku terkelupas. Aku masih punya kesempatan memilih jalan hidupku dan itu tidak dengan Alam lagi.(*)
Eda Suhaedah/Eda Erfauzan, penyuka dongeng klasik dunia yang tersesat di rimba aksara.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata
[1] Orang yang mengorbankan dirinya untuk orang lain