Arah Angin (Episode 1)

Arah Angin (Episode 1)

Arah Angin (Episode 1)
Oleh: Devin Elysia Dhywinanda

(POV Angin)

Rumahku selalu sunyi—keheningan bakal membuatmu nyaman menikmati film melankolis di teater kecil sebelah utara, melancarkan pasokan inspirasimu sembari bersantai di tepi kolam renang, bahkan membuat tawa pelanmu bergema sampai lantai atas—tetapi, entah kenapa, aku justru membenci suasana seperti itu. Yah, bukannya mengharapkan drama bising seperti yang diputar di layar kaca … aku hanya menganggap keheningan sebagai tanda kepasrahan seseorang dan aku membenci hal itu. Jadi, daripada muak dengan situasi seperti itu, aku lebih suka mencari ke luar rumah, menghabiskan waktu dengan bercanda sampai gila, kendati—aku tahu—hal itu tidak menyelesaikan masalah.

Ketika pertama kali menunjukkan penolakanku, Ibu bertanya kepadaku, apa yang membuatku tidak nyaman dan apakah ia telah melakukan kesalahan. Ibu bahkan meminta maaf atas kesalahan yang telah ia perbuat—jika memang ia membuat kesalahan. Itu terjadi ketika aku sedang penat menghadapi ujian semester dan kukatakan kepadanya untuk berhenti meminta maaf atas sesuatu yang tidak ia lakukan; berhenti juga untuk diam, menuruti semua perlakuan Ayah.

“Ibu tidak salah dan tidak sepantasnya Ibu terus-terusan mengalah.”

Itu kali pertama aku berkata cukup keras kepada Ibu. Ibu sendiri bergeming sejenak, lantas menjelaskan dengan suara rendah bahwa pertengkaran tidak selalu menjadi jawaban atas suatu permasalahan; bahwa orang dewasa memiliki sekian alasan untuk melakukan sesuatu. Aku serta merta mengernyit. Kukatakan bahwa kendati masih terlalu bocah untuk memahami kondisi rumit macam itu, setiap hal memiliki batasan, batas tolerir, masing-masing, dan kupikir sudah waktunya Ibu sampai pada fase tersebut.

“Aku muak karena pura-pura tidak mengetahui masalah ini. Ibu juga harusnya tahu perasaan macam itu.” Aku mengalihkan pandangan ke arah ruang tamu. “Ibu lelah. Kumohon katakan sekali saja bahwa Ibu lelah.”

Aku tidak suka adu mulut dengan ibuku sendiri—semua akan berakhir dengan Ibu yang tersenyum, mengiakan semua perkataanku, lantas kembali pada sosoknya dahulu. Namun, aku tidak bisa selamanya diam, membiarkan keheningan menggerogoti perasaanku atau Ibu.

Oleh karena itu, aku berontak dalam diam. Terus-terusan.

“Aku pamit keluar.”

Namun, rumahku masih saja sunyi … sampai aku benar-benar muak dan hanya ke sana untuk tidur, mandi, serta makan. Dunia luar tidak terlalu ramah, memang, tetapi setidaknya tidak ada yang menjeratku untuk terus-terusan mengkhawatirkan seseorang.

Lantas, Sabtu malam, beberapa waktu setelah memulai perang dingin dengan Ibu—ketika aku hendak masuk ke kamarku—Ibu dan Ayah membuat kegaduhan. Lakon Ayah memuakkan, seperti biasa, dan kuputuskan untuk diam di lantai atas, berdoa agar ada keramaian lain yang menandakan perlawanan Ibu.

Akan tetapi, semua berakhir sunyi. Lagi dan lagi.

Aku menunggu sampai pria bertubuh tegap itu pergi, lantas turun, menemui Ibu.

“Ibu harusnya tidak menuruti perkataan Ayah,” kataku sambil menatapnya sayu. “Aku sudah dewasa. Dan, aku tahu mana yang harus diiyakan, mana yang tidak; mana yang memang kebutuhan Ayah dan bukannya keinginan Ayah. Aku juga tahu pilihan terbaik yang bisa kita putuskan. Aku tahu kalau Ibu,” ucapanku tertahan sejenak, “ah, sudahlah. Ibu sudah lebih dewasa dari aku, ‘kan?”

Kami berhenti membuat gaduh. Aku pergi mengendarai motor, menembus keramaian jalan khas malam hari, menuju kafe yang biasa kudatangi. Bersama asap knalpot, hawa dingin menusuk kulit, dan suara bel kendaraan, aku berpikir, apakah menjadi dewasa berarti memilih bersikap pasif, mengikuti arah angin, membiarkan hati merongrong tidak keruan?

Ah, entahlah.

Purnama sempurna naik ketika aku sampai di kafe yang pelatarannya didominasi oleh warna merah. Di sampingnya, terdapat taman kanak-kanak yang lengang. Tidak ada orang di sana, tetapi aku dapat membayangkan keceriaan khas bocah berumur lima sampai enam tahun—masa ketika kau tidak sepenuhnya mengerti dunia dan sekadar mengikuti arus tanpa inisiatif untuk melawan. Akan lebih mudah bila semua seperti masa itu, tetapi tidak. Dan, itulah yang membuatku mengacak rambut. Kacau.

Angin berembus kencang, memainkan dedaunan pohon trembesi di seberang jalan, ketika kuputuskan menelepon seseorang.

“Hei, kau senggang tidak?”

Lawan bicaraku diam cukup lama.

Bersambung ….

Episode 2 (selanjutnya)

Devin Elysia Dhywinanda, gadis kurang kerjaan yang perlu menyalurkan sesampahan dalam otaknya (tenang, dia masih pelajar dan cukup waras, kok). Lahir dan masih bermukim di Ponorogo sejak 10 Agustus 2001. Mau kepoin dia? Cekidot!
FB: Devin Elysia Dhywinanda
E-mail: curlyglassesgirls@gmail.com

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply