Secangkir Teh Kematian (Episode 3)

Secangkir Teh Kematian (Episode 3)

Secangkir Teh Kematian (Episode 3)
Oleh: Veronica Za

Suara jeritan terdengar sedetik setelah sebuah truk melintas. Beberapa orang yang berada di sekitar kampus menoleh penasaran bahkan sebagian berlari menghampiri.

Revan bergeming dengan tangan masih menggantung di udara. Tatapannya kosong ke arah jalanan tempat truk pengangkut tanah tadi lewat. Perlahan, bibirnya membentuk senyuman penuh arti.

“Dasar sopir gila!” maki Salma yang kini berada di tengah jalan. Tinjunya teracung ke arah truk yang hampir menghilang di persimpangan.

Revan terkesiap mendengar teriakan Salma. Suasana berubah gaduh oleh suara bisik-bisik dan tawa dari mahasiswa yang tadi penasaran. Satu per satu dari mereka mulai membubarkan diri tanpa ada niatan membantu. Salma menggerutu ketika melihat genangan air bercampur tanah kini berpindah ke tubuhnya karena ulah sopir truk itu.

“Aaah … bajuku basah semua. Bagaimana aku pulang nanti?” keluh Salma.

Revan terdiam. Dalam benaknya ia berpikir harusnya gadis itu sudah tergeletak bersimbah darah sekarang. Beruntung jika Salma tewas di tempat. Dengan begitu impas, bukan? Hampir saja tangannya berhasil menuntun gadis itu menemui ajal. Semua gara-gara sopir itu!

“Salma. Ayo, ke rumahku!” tawar Revan tiba-tiba. Salma yang terkejut, menoleh. Ada keraguan saat ia melihat senyum Revan yang tak wajar. Entah hanya perasaannya saja atau apa, ia merasa ada yang aneh. Hanya saja saat ini ia tak memiliki pilihan lain. Akhirnya, Salma mengangguk dan berjalan beriringan menuju indekos di belakang kampus mereka.

Salma membersihkan diri setibanya di indekos Revan. Tak terlalu besar tapi cukup nyaman untuk ukuran mahasiswa. Sebenarnya Salma merasa tak nyaman mandi di rumah seorang laki-laki. Untung saja, Revan pamit untuk ke minimarket sehingga ia bisa leluasa mandi dan berganti pakaian yang sudah disiapkan sebelumnya. Kaus oblong dan celana training yang kebesaran milik Revan.

”Santai saja,” terdengar suara bariton di belakang Salma saat ia tengah duduk dengan canggung di ruang tamu. Revan berlalu ke dapur dan kembali sambil membawa nampan di tangannya. Dua cangkir teh tersaji di sana. “Minum,” ujarnya dengan senyuman yang sama misteriusnya.

Salma mengangguk kaku. “Maaf merepotkan. Harusnya reuni kita tidak seperti ini. Baru saja bertemu setelah sekian lama tapi aku malah begini.”

Revan tertawa. Ada lesung pipit di salah satu pipinya yang membuat laki-laki itu tampak lebih menarik. Untuk beberapa detik Salma terpana. Gadis itu tersentak kala mendengar tawaran minum teh untuk yang kedua kalinya.

“Diminum dulu tehnya. Bukankah kamu suka sekali dengan teh?” Revan mengambil cangkir miliknya kemudian menyesap sedikit demi sedikit. Matanya masih tertuju pada Salma yang juga siap meminum tehnya. Senyum picik tersungging di balik cangkir berwarna putih gading itu.

“Kamu akan tahu rasanya menjemput ajal, sahabat kecilku tersayang!” batin Revan pongah. Ia yakin kali ini akan berhasil. Teh yang sudah ia campur racun tanpa rasa itu akan segera menyapa organ dalam tubuh Salma.

“Ah, aku lupa kalau malam ini akan ada acara makan bersama keluarga klien Papa. Aku harus pergi sekarang juga. Maaf, Revan, aku duluan, ya!” racau Salma panik. Papanya akan sangat marah jika ia datang terlambat. Kolega bisnis ini adalah orang penting bagi perusahaan.

“Tehnya?” Revan menahan pergelangan tangan Salma. Ia tak mau usahanya gagal lagi.

“Maaf, Re. Tidak ada waktu lagi. Terima kasih bantuannya hari ini.” Salma bergegas mengambil tas dan menghilang di balik pintu, meninggalkan Revan yang menahan kesal karena menerima kegagalan dua kali berturut-turut dalam sehari.

“Sial!”

***

Revan maupun Salma jarang bertemu setelah kejadian hari itu. Mereka disibukkan oleh serangkaian administrasi dan persiapan masuk kuliah. Setelah dua hari menikmati OSPEK yang melelahkan dengan berbagai aktivitasnya, malam ini merupakan malam terakhir yang biasa disebut malam keakraban atau “makrab”. Perkemahan dua hari tiga malam yang diadakan di Bogor itu kini berada di puncak acara.

Karena acara kali ini adalah unjuk bakat, maka mahasiswa berkumpul menjadi satu lingkaran mengelilingi api unggun. Para senior dan junior berbaur meramaikan suasana.

“Salma!” panggil Revan yang melihat Salma masuk ke dalam tendanya.

“Eh, Revan? Kenapa?” Salma urung masuk dan berbalik menatap sahabat masa kecilnya itu.

“Kamu mau tidur?”

“Tidak. Aku mau mengambil ponsel.”

“Aku ingin bicara sama kamu. Beberapa hari ini terlalu sibuk untuk kita. Apa kamu mau jalan-jalan sebentar? Tidak jauh, kok!” ajak Revan.

“Tapi …,” belum sempat menjawab, Revan menggenggam tangan Salma dan menariknya ke sisi tebing berpagar. Salma terdiam dan menurut saja. Terlebih lagi, ia merasakan debaran yang berbeda saat tangannya masih terkungkung dalam jemari Revan. Untung saja gelap, kalau tidak rona merah ini tak dapat disembunyikan, pikir Salma.

Pemandangan kota Bogor di malam hari dari atas bak langit yang dipenuhi bintang-bintang. Berkelap-kelip menambah pesona. Tak ada suara yang keluar dari keduanya. Membisu dalam pikiran masing-masing. Salma tak sadar, jika debaran itu ia tujukan pada orang yang salah.

“Aku kangen masa-masa kita kecil dulu. Andai saja dulu aku tidak pindah. Mungkin kisah kita akan berbeda saat ini.” Revan melepaskan genggamannya kemudian melangkah perlahan ke sisi tebing tanpa pembatas.

“Aku juga. Mulai sekarang kita bisa bersama-sama lagi. Seperti dulu!”

Beberapa langkah lagi Salma mencapai Revan yang ia pikir masih sama dengan bocah gembul tujuh tahun yang lalu. Sahabat yang menemani dan menjaganya sepenuh hati.

“Aakkh!”

Tiba-tiba Salma oleng. Kakinya terantuk sesuatu yang besar, membuatnya terperosok ke tepi jurang. Dalam kepanikannya, Salma berhasil berpegangan pada akar pohon yang mencuat ke luar tanah.

“Revan! To … long,” suara Salma tenggelam ditelan keterkejutannya. Ia yakin, ia pasti salah lihat. Matanya pasti terhalang oleh air mata. Tak mungkin ia melihat Revan—sahabatnya—tersenyum begitu lebarnya.

Bersambung ….

Episode 2 (sebelumnya)

Episode 4 (selanjutnya)

Veronica Za, penyuka roman-komedi. Karyawan swasta yang bermimpi menjadi seorang penulis. Pernah mengikuti beberapa event menulis di FB. Salah satu hasil event yang dibukukan adalah Antologi Mithomania Challenge berjudul Bias Nyata. FB/IG: Veronica Za, Wattpad: VeronicaZa7, Email: veronica160.vk@gmail.com

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply