The Blue Eyes Man (Episode 2)

The Blue Eyes Man (Episode 2)

The Blue Eyes Man (Episode 2)
Oleh: Eda Erfauzan

“Mimpi digigit ular itu artinya akan dipertemukan dengan jodoh, Lily. Semoga besok atau lusa kau dipertemukan dengan pangeran baik hati.”

Entah mengapa, tiba-tiba kalimat sang Nenek melintas di ingatannya.

“Hei …!” Pria itu kembali melambaikan tangan.

Lily mengangkat wajah. “Maaf.”

Pria itu mengembuskan napas lega. “Kupikir itu pingsan gaya baru.”

Lily mengernyit. “Pingsan gaya baru?” tanyanya bingung.

“Ya, berdiri bengong sekian menit dengan mata terbuka lebar.” Pria itu berjongkok, mengumpulkan kembali bunga tulip Lily yang tercecer.

Di tempatnya Lily nyaris tergelak. Itu bukan pingsan tapi terpesona dengan dirimu, Mas, batinnya. Eh … Mas? Kalaupun harus pingsan Lily akan memilih pingsan elegan ala Snow White agar siumannya karena disadarkan sang pangeran dengan cara romantis.

Pria itu kembali berdiri dan menyerahkan bunga tulip yang telah dikumpulkannya pada Lily.

Wajah manis gadis itu berubah muram memandang bunga-bunga tulip di tangannya. Dua kuntum bunga patah, satu kuntum kehilangan kelopak, dan beberapa tergores kelopak bunganya. Nyonya Camilla pasti kecewa. Lily merasa gagal. Paman dan Bibi Alvin pasti sedih, ia tidak bisa menjaga kepercayaan mereka. Tidak mampu memberikan layanan berkualitas pada pelanggan toko.

“Hei, jangan sedih begitu. Aku akan ganti bungamu.”

“Ini bunga pesanan orang dan sudah tidak ada stok lagi di toko,” Lily menjawab pelan.

“Kalau begitu, aku temani ke rumah pelangganmu, nanti aku yang jelaskan. Ke mana akan kau antar?”

Lily menyebutkan nama Nyonya Camilla  dan alamatnya.

Pria bermata biru menghampiri sepeda Lily, “Well, ini tampaknya kuat untuk dikendarai berdua.”

Ia mendirikan sepeda Lily, meluruskan arah setang, dan menepuk-nepuk jok depan serta belakang.

“Kau duduk di kursi penumpang, ya, aku yang gowes.” Ada senyum dan tatap menggoda di wajah tampannya.

“Hei, mau duduk manis di belakang atau jalan kaki mengikutiku?” Kata-kata pria itu menyadarkan Lily yang tak bereaksi, ide pria itu memboncengnya ke rumah Nyonya Camilla cukup mengejutkan, dengan kaku ia duduk di boncengan.

“Aku, Roe. Kau?”

“Lily.”

“Susu Hera yang tumpah ke bumi.”

“Apa?”

Mendengar Lily bertanya nyaris berteriak, Roe tertawa.

“Kau tak pernah dengar? Dalam mitologi Yunani, Lily atau bunga lily itu berasal dari susu Hera, istri Zeus, yang tumpah ke bumi setelah ia melempar Hercules. Zeus membuatnya pingsan saat menyusui Hercules yang merupakan anak Zeus dengan Alcmene, perempuan bumi.”

“Kenapa kau bercerita itu padaku?”

“Karena namamu Lily.”

Di boncengan Lily merasa hatinya menghangat. Sepanjang jalan meski  tak bisa melihat reaksi Lily, Pria itu mengajak Lily mengobrol, dan ternyata Roe pria yang menyenangkan hingga lama perjalanan tak lagi terasa.

“Yups, sampai …!”

Entah gerakan Roe yang mendadak atau Lily yang larut dalam lamunan, saat Roe menghentikan laju sepeda, kepala Lily menumbuk punggung Roe. Karena kaget spontan satu tangannya memeluk pinggang pria itu.

Suara siulan dan batuk yang disengaja memerahkan wajah Lily, bahkan meski ia belum melihat sumber suaranya. Gadis itu menegakkan tubuh dan rasa malunya seperti menguap ketika memandang bangunan megah di depannya.

“Ini?”

“Rumah Nyonya Camilla, Bibiku. Ayo!”

Roe mengajak Lily menapaki undakan menuju teras, menghampiri dua pria yang tak kalah tampan dari Roe. Tampaknya merekalah pemilik siulan dan batuk tertahan tadi.

“Bunga untuk Bibi Camilla, Roe?” tanya salah satu dari mereka.

Roe mengangguk.

“Bibi sedang keluar bersama Paman, tolong kau simpankan di tempat biasa ya, Roe.” Satu dari mereka tersenyum dan menatap Lily.

“Oh ya, Ly, kenalkan sepupu-sepupuku. Jan dan Ken.”

Astaga, apakah menggunakan soft lens juga sudah menjadi tren para pria? Lily menatap takjub.  Mata Jan berwarna hijau, kadang berubah hijau gelap seperti mata biru Roe. Mata Ken berwarna kuning mengarah cokelat. Rambut pirang Jan tampak paling panjang karena dibiarkan tergerai melewati pundak. Rambut Ken berwarna hitam dan hanya sedikit melewati bawah telinga, tampaknya ia paling muda. Ketiganya memiliki pandangan hangat, rahang kokoh, senyum menawan, hidung bangir, alis tebal, dan aura yang mengundang rasa percaya serta rasa nyaman. Mungkin ini namanya ketampanan dari dalam seperti perempuan, memiliki inner beauty. Ups!

“Senang, bertemu kalian.” Lily menjabat tangan Jan dan Ken bergantian.

“Sial, aku lupa menutup gerbang transisi.” Tiba-tiba Roe berbalik dan kembali menyerahkan bunga tulip di tangannya pada Lily, separuh berlari ia melintasi halaman. Roe mengamati sesuatu yang tak tertangkap oleh pandangan Lily, terlihat marah lalu berteriak memanggil Jan dan Ken. Dua pria itu bertatapan, Jan mengedikkan bahu dan mereka bergerak cepat menyusul Roe.

Lily mengedarkan pandang, tiga pria itu tak terlihat lagi, tak ada suara. Samar Lily seperti mendengar suara mendesis yang segera berganti tiupan angin. Ia meletakkan bunga tulip di atas meja. Sesuatu yang tadi tak terlihat, menarik perhatiannya, terhalang posisi Jan dan Ken rupanya ada beberapa tangkai lily aneka warna di meja rendah. Putih, merah muda, merah, kuning, dan biru. Di samping bunga-bunga itu bertumpuk rapi kertas-kertas. Samar suara desis itu kembali terdengar. Lily mengamati, tak ada apa-apa.

Dia kembali fokus pada bunga-bunga di atas meja, ada bunga putih, terletak agak terpisah, bentuk bunganya mirip lonceng, kuntum-kuntumnya menjuntai indah pada tangkai kecil yang berjejer di dahan yang lebih besar, Lily mengulurkan tangan untuk menyentuh bunga itu. Namun gerakannya tertahan di udara karena sesuatu yang bergelung di bawah meja menggeliat dengan kepala terangkat, desis itu kembali terdengar.

“Jangan …!”

Itu teriakan Jan.

Lily yang terkejut berusaha mundur. Ia nyaris tergelincir ketika merasa seseorang menahan tubuhnya sebelum ia terjengkang, masih sempat dilihatnya lidah bercabang terjulur dan mata berkilat di depannya.

“Itu lily of the valley, agak beracun makanya dipisah dari bunga lainnya.” Roe menjelaskan seraya menatap Lily, memastikan gadis itu baik-baik saja.

Meski terkejut dan memucat, Lily cepat menguasai diri. Ia tersenyum pada Roe. Merasa sudah waktunya ia pamit.

“Hm … sudah waktunya aku kembali ke toko. Senang bertemu kalian. Terima kasih Roe, Jan, Ken.”

“Kami yakin setelah ini, akan lebih sering berkunjung  ke toko Paman dan Bibi Alvin.” Ken tersenyum hangat.

“Jangan khawatir soal bunga tulip Bibi Camilla,” Roe menambahkan.

“Terima kasih.” Lily mengangguk sopan.

Roe mengantar Lily hingga gerbang dan berpesan untuk hati-hati. Ketika gadis itu telah hilang dari pandangan, ia berbalik, satu tangan mengambil sesuatu di saku celananya. Pita kecil Lily yang terjatuh, ia menimangnya sejenak, tersenyum lalu kembali memasukkannya dalam kantong. Jika ia tidak muncul mendadak dan mengagetkan Lily, mungkin Aurora sudah sekarat terlindas gadis itu.

Bersambung ….

Episode 1 (sebelumnya)

Episode 3 (selanjutnya)

Eda Suhaedah/Eda Erfauzan, gemar membaca dan hingga kini masih menyukai  dongeng-dongeng klasik dunia. Mulai menulis di buku harian sejak SMP dan masih terus belajar untuk menghasilkan karya yang baik.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply