Bidadari Penakut
Oleh: Rachmawati
Lampu-lampu di ruang pengap ini baru saja dimatikan. Semua penonton sudah duduk rapi bersama kekasihnya masing-masing. Popcorn dan soft drink juga sudah pasrah untuk dinikmati. Hellboy mulai diputar di layar besar ruangan. Adegan awal film baru dimulai, para gadis sudah menjerit kaget dan ketakutan. Permulaan yang tragis menurutku. Seorang ratu dipenggal kepala, kaki, tangan dan dipisahkan setiap anggota tubuhnya dengan sadis. Hampir semua gadis dalam bioskop menjerit, tidak terkecuali kekasihku, Mutiara Malika—yang aku lebih lebih senang memanggilnya Rara.
Tangan dan kakinya dingin, gemetaran, bibirnya pucat. Astaga, gadis ini terlihat cantik sekali. Sungguh aku tidak berbohong. Kubuka kedua tanganku, membiarkan tubuhnya yang ketakutan merasuk ke dadaku. Aku mengelus rambutnya, aroma parfum baby pink menebar dari tengkuknya yang jenjang menyusup ke dalam paru-paruku. Darahku melesat dari jantung sampai pangkal nadi.
“Kenapa takut?” aku berbisik di telinganya. Napasnya masih belum tenang, terasa hangat dileherku.
“Aku enggak akan bisa tidur malam ini, aku takut darah”
Kurasakan telapak tangannya semakin dingin, tangannya meremas jaketku. Entah, ada sesuatu yang membuatku bergairah.
Aku tak mengerti, kenapa ada gadis yang berlebihan saat melihat darah atau adegan potong memotong anggota tubuh. Rara adalah adik dari sahabatku, aku memacarinya sejak dia lulus SMA. Rara menyelamatkan hidupku di saat aku terjatuh dalam kubangan cinta buta. Gadis yang selalu datang kepadaku dengan rona semangat, selalu riang dan menggairahkan. Tak kusangka kecantikan yang selama ini kulihat belum ada apa-apanya dibandingkan dengan kecantikannya malam ini, kecantikan yang membuatku rela melakukan apa saja.
Rasa takut ternyata melahirkan kecantikan yang luar biasa. Bibirnya bergetar pucat pasi di antara samar-samar lampu ruangan kedap suara. Aku tak pernah mendapati kecantikan seperti ini. Wajah polos dengan penuh permohonan untuk dilindungi.
Aku mulai senang memunculkan rasa takut pada kekasihku, setiap kali pertemuan selalu kuusahakan membuatnya takut, karena aku merasa menjadi orang paling dicarinya. Karena dia akan membutuhkan aku, membutuhkan kedua tanganku untuk mengusir rasa cemas, mencari dadaku untuk bersembunyi, menunggu kalimat–kalimatku untuk meredakan suaranya yang histeris.
Aku mulai browsing cara–cara menciptakan rasa takut pada seseorang, dan aku selalu berhasil mempraktikannya pada kekasihku. Aku mengujinya, meletakkan seekor ayam dengan kepala terkulai penuh darah di halaman rumahnya. Aku tahu betul kapan mama dan abangnya tidak di rumah, benar saja, ponsel di tanganku bergetar, aku tersenyum mendapati wajahnya memenuhi layar ponselku.
“Ada apa, Sayang?” Aku pura-pura tidak tahu menahu tentang ayam mati itu.
“Abang cepat ke rumah, Rara takut,” suaranya bergetar.
Aku sudah berdiri di belakangnya sebelum ponsel dimatikan. Astaga, aku menikmati lagi wajah cantik ini, kecantikan yang alami. Aku melihat bidadari. Dipadukan wajahnya yang jujur, balutan kaus polos dan celana pendek ketat yang membentuk lekuk dan tonjolan yang indah, aku menemukan kembali bidadari. Rara menjatuhkan tubuhnya yang gemetar ke dadaku, dengan ikhlas aku menerimanya, mengelus punggungnya dengan lembut. Bahkan aku menikmati bulu-bulu halus di seluruh tangan dan tengkuknya yang berdiri sempurna. Aku tak ingin melewatkan wajah ketakutannya dengan sia–sia.
“Aku takut, aku ingin muntah.” Gadis yang selama ini kukenal ceria ternyata menyembunyikan kecantikan yang memukau, yang dia munculkan hanya saat takut.
“Tenanglah, Sayang, akan kuatasi ayam nakal ini.” Aku menawarkan pertolongan dengan halus. Kulepas perlahan pelukannya, wajahnya tak mau menatap ke mana-mana, matanya masih menutup di antara bulu mata yang melengkung. Detak jantungnya dapat kurasakan melewati setiap sentuhanku. Aku tertegun menikmati wajahnya yang terlampau indah, cantik sekali.
Rara mengangkat wajah, duduk manis di sofa depan TV. Aku merasa menjadi Superhero baginya. Rambut panjangnya basah oleh keringat, aku selalu merasa jatuh cinta, setiap kali melihatnya takut. Kupegang kedua bahunya, menenangkannya dengan kalimat apa pun yang kupunya. Diam-diam aku bergairah dibuatnya.
Rasa takutnya telah menjadi candu akan pertolonganku. Setiap takut menyergap aku akan selalu menjadi orang pertama yang dicarinya. Apalagi abangnya sudah menikah dan memilih pindah ke rumah baru dengan istrinya. Rara menjadi ketergantungan padaku, dan itu yang kuharapkan.
Saat menjemputnya pulang kuliah, ada kerumunan ramai di sekitar traffic light. Aku dapat menebak yang terjadi di depan sana: kecelakaan. Kemacetan tidak dapat dihindari, motor besarku kepalang sudah berada tepat di belakang korban kecelakaan. Kali ini aku tidak sengaja menciptakan wajah takut pada kekasihku. Tangannya meremas pinggang dan perutku hingga membuat napasku sedikit sesak. Aku melirik ke belakang, mencuri wajah takutnya. Kecantikan yang sempurna. Kedua matanya terpejam kuat, getaran dadanya beradu keras di punggungku. Aku mengelus-elus lututnya yang gemetar. Seperti biasa aku menjadi pahlawan penolong dan sandaran baginya. Kulihat wajahnya yang pucat, ingin sekali aku menciumnya.
Tubuhnya masih gemetar, segala kalimat sudah kukerahkan untuk mengusir rasa paniknya. Namun sia-sia, matanya basah, keringat mengucur dari dahi dan menuruni pelipisnya. Kududukkan tubuhnya yang wangi di sofa rumahnya. Wajahnya ditutup dengan kedua tangannya. Lama-lama aku tidak tega juga melihatnya.
Kupeluk kekasihku, kubuai dalam getar jantung yang bergemuruh, wajahnya pasi namun tetap bersinar, bibirnya yang pucat terlihat lebih seksi.
“Mandi dulu sana, aku tungguin di luar sampai selesai.” Aku menyakinkan Rara bahwa aku tak akan meninggalkannya walau sekejap matanya. “Atau, mau menunggu Mama pulang?”
Aku menawarkan, tapi Rara memegang tanganku lebih kuat. Aku baru menyadari bahwa seorang gadis bisa mendatangkan kekuatan fisik yang kuat melebihi laik-laki. Buktinya malam ini Rara membuat tubuhku tertahan di sofa, aku tidak bisa melawan, sama seperti kekasihku tak dapat melawan rasa takutnya.
“Oke, kalau enggak mau mandi, tidur aja dulu di sini. aku enggak akan ke mana-mana, aku janji.”
Aku menikmati lagi wajah bidadari di hadapanku. Aku kembali lagi menjadi satu-satunya orang yang berharga untuknya.
Minggu sore adalah hariku libur bekerja, aku sedang sibuk membersihkan kamarku, merapikan gitar dan buku-buku yang berserakan di kasur. Ponselku berdering, aku dapat menebak dari mana sumber telepon itu. Rara, dia pasti membutuhkan bantuanku, entah untuk mengusir rasa takut atau membantunya menyelesaikan apa pun yang tidak bisa diselesaikannya sendiri.
“Ada apa, Sayang?”
“Abang cepat ke rumah, saluran wastafel mampet, tolong Rara, ya.” Suaranya yang ceria membuatku bersemangat untuk bergegas ke rumahnya, hanya butuh melewati dua rumah tetangga untuk sampai di rumahnya.
Mama sedang berusaha membersihkan kotoran dalam wastafel, memastikan tidak ada kotoran yang menyumpat di dalamnya.
“Ada tang?” Aku meletakkan ponselku di meja makan rumah Rara.
Mama beranjak mencari tang dan keperluan yang kuminta, Rara melepas celemek dari tubuhnya, kausnya yang ketat membentuk dadanya yang indah. Aku menyeka keringat di dahi. Mengalihkan pandanganku pada pipa di bawah wastafel. Aku mulai membongkarnya, bau busuk terurai hampir di seluruh ruangan dapur. Aku memutar knie lebih keras untuk segera mengakhiri rasa penasaran kami.
Crak!
Cairan merah pekat terpancar keluar dari pipa wastafel, tepat mengenai seluruh dada Rara yang berdiri di belakangku. Bangkai tikus tersangkut di pipa, terjepit dan tertekan tang yang kuputar.
***
Aku berdiri termangu, menunggu Rara siuman dari pingsan yang cukup lama. Aroma alkohol memenuhi ruang rawat inap. Wajahnya begitu teduh, napasnya teratur dan konsisten. Aku mencium pipinya, membisikan kata-kata yang disukainya. Tiba-tiba aku merasa takut, lantai yang kupijak terasa tidak mampu menahanku. Belum ada satu hari aku kehilangan wajah ketakutannya, namun aku merasa kehilangan dirinya. Aku takut Rara akan menghilang untuk selamanya. Mainanku, kekasihku.
“Rara takut, Bang.” Rara mengambil posisi duduk. Wajahnya ayu. Kecantikan yang alami, membuatku lagi-lagi bergairah.
“Apalagi yang kamu takuti, Sayang. Aku akan selalu ada untukmu.”
Aku mengelus rambutnya, merapikan helai demi helai yang terjuntai di dahinya. Rara menangis, aku semakin senang melihatnya. Ketakutan, membuat wajahnya makin memesona, membuat perasaanku sebagai pahlawannya teraduk-aduk.
Aku ingin menggigit bibirnya, mencumbuinya. Jika itu kulakukan pasti akan sangat menyenangkan, akan ada kehangatan dan debar-debar perlawanan dari gadisku. Mungkin itu akan membuatnya tenang. Aku meraba punggungnya, aroma parfum bercampur keringat dari tengkuknya mengajak hasratku semakin ingin masuk ke dalamnya.
Aku menciuminya, bibirnya terasa hangat dalam kulumku. Kedua tangannya menahan dadaku. Kubiarkan ada pemberontakan kecil darinya. Tangannya membelai dada, leher dan berakhir meremas-remas rambutku. Aku yakin ini adalah ciuman pertamanya. Aku dapat merasakan ketakutannya mereda, debaran jantung yang ketakutan berubah menjadi desahan yang mengagumkan. Aku dapat melihat bulu-bulu halus di punggungnya melalui baju medisnya yang agak longgar. Tubuhnya mulai hangat, tangan dan kakinya tidak lagi dingin.
“Rara takut kehilangan Abang,” suara Rara berdesir tepat di gendang telingaku. Dadaku membuncah., aku berjanji akan membuatnya lebih takut lagi. Bukan karena aku laki-laki yang jahat. Tapi tiba-tiba aku tidak berdaya, kaki dan tubuhku melemas. Aku takut, aku sangat takut. Aku pucat pasi menahan ketakutan, takut kehilangan kekasihku.
Brebes, 23 Juni 2019
Rachmawati Ash. Lahir dan besar di Semarang, menyukai berbagai bunga dan tamanan hias.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata