Hujan yang Tidak Pernah Ingkar Janji
Oleh: Erlyna
Allena menatap langit yang menghitam, sambil memutar-mutar gagang payung yang mengembang di pundak. Sesekali mulutnya mengerucut, pertanda gadis tujuh belas tahun berwajah manis itu mulai bosan.
“Kanan … kiri … kanan … kiri ….” Ia mulai memutar-mutar payung sambil bersenandung.
Matanya yang bulat kembali menatap langit, merayu awan-awan hitam sekali lagi.
“Hah!”
Kesabarannya habis. Ia bergegas melipat payung lalu memasukkannya ke dalam ransel. Dengan langkah lebar ia melangkah mendekati Honda tua warisan orangtua, lalu melaju membelah malam.
Sepanjang perjalanan pikirannya kacau. Seolah-olah, sebuah tangan dengan kuku-kuku tajam memaksa masuk ke dalam kepala dan meremas-remas isinya.
“Menyebalkan!”
Setibanya di dalam kamar indekos yang sudah ditempati selama tiga tahun, Allena langsung merebahkan tubuhnya. Udara malam ini sangat dingin, membuat kepala pusing dan seluruh tubuh gatal-gatal, menyisakan noda kemerahan di antara kulit tubuhnya yang kuning langsat.
Setelah beberapa menit memejamkan mata, gadis yang selalu tampil kasual itu bangkit dari ranjang. Kakinya yang panjang melangkah mendekati lemari berwarna biru muda yang menempel dengan dinding. Sibuk mencari sesuatu.
Brak!
Sebuah buku dengan sampul berwarna hitam terjatuh tepat di atas kaki kirinya. Mata gadis itu melotot seperti hendak meloncat keluar. Tanpa menunggu lama, ia melempar buku yang baru saja jatuh di atas kaki ke sudut kamar. Perasaannya semakin tidak keruan.
“Persetan dengan ramalan cuaca!”
Tok! Tok! Tok!
Allena menatap pintu kamarnya sekilas, lalu kembali merebahkan tubuh ke atas ranjang.
“Oiii! Kamu barusan jatuh dari tempat tidur?” Seorang gadis berambut panjang membuka pintu sambil memiringkan kepala, memastikan pemilik kamar baik-baik saja.
Allena tetap diam. Telentang dengan bantal menutupi wajahnya.
“Ya ampun, kenapa lagi? Masih galau menunggu hujan? Sudah kubilang jangan terlalu peduli sama ramalan cuaca ….”
“Pergi sana!”
“Hih! Kamu itu, ya. Kalau sedang marah sama sekali tidak bisa diajak bicara.”
“Biarin!”
Bukannya pergi, gadis berambut panjang yang sejak tadi berdiri di antara pintu setengah terbuka itu melangkah memasuki kamar. Dipandanginya Allena yang bergeming dengan posisi anehnya.
“Hei! Gadis yang tergila-gila sama hujan. Apa salahnya menunggu lagi? Ramalan cuaca itu, kan, bukan Tuhan. Pasti juga punya kesalahan.”
“Aku sudah menunggu hampir dua minggu lebih. Setiap hari aku membawa payung. Setelah pulang kerja aku juga selalu mampir ke danau itu hingga langit gelap dan tidak bisa kuprediksi lagi. Aku juga tidak bisa fokus mengerjakan pekerjaan. Aku ….”
“Oke … oke … oke. Aku paham sekarang. Namun, Al, memangnya kamu tidak sumpek bicara dengan bantal menutupi wajah seperti itu?”
“Gita!!!”
* * *
Hari berikutnya, Allena kembali datang ke tepi danau. Ini tempat yang paling disukainya untuk bertemu dengan hujan pertama di bulan Juni. Allena selalu menantikan momen-momen saat ia pertama kali mencium wangi petrichor, saat rinai pertama membasahi ujung payungnya, saat air danau yang tenang perlahan membentuk cekungan-cekungan kecil. Allena selalu membayangkan itu semua hingga terbawa ke dalam mimpi. Allena bahkan mempersiapkan perasaannya jauh-jauh hari sebelum Juni datang.
Allena mulai bosan. Ditatapnya langit yang kali ini terlihat lebih mendung dari biasanya. Allena mendekati bibir danau, lalu berjongkok. Untuk sesaat, gadis itu menatap pantulan tubuhnya dalam diam. Rasa bosan kembali menyelimuti. Allena mengangkat payung yang sejak tadi bertengger setia di atas pundak, memasukkan ke dalam air lalu memutar-mutarnya perlahan.
Percikan air itu sebagian mengenai wajah dan tubuhnya. Allena tidak peduli lagi.
“Kamu datang?”
Allena membatu sebentar, lalu menoleh ke belakang.
Dilihatnya seorang laki-laki jangkung dengan lesung pipi sedang tersenyum manis ke arahnya. Allena bergegas bangkit, lalu memeluknya.
“Radit ….”
“Maaf membuatmu menunggu lama. Apakah kamu di sini menunggu hujan?”
Allena mengeratkan pelukannya. Tidak peduli lagi dengan apa yang dikatakan laki-laki itu. Bagi Allena, Radit adalah hujan itu sendiri.
“Kamu menyebalkan!”
Allena bergumam pelan sambil meneteskan air mata, bersamaan dengan rintik-rintik hujan di bulan Juni yang datang menyapa. (*)
Purworejo, 20 Juni 2019
Erlyna, perempuan sederhana yang menyukai dunia anak-anak. Suka menulis dan menyaksikan anak-anak menciptakan keajaiban.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata