Jejak Kekasih

Jejak Kekasih

Jejak Kekasih
Oleh: Evamuzy

Sehari setelah hari pernikahan, kamu memilih mengajak istrimu berpindah. Sebuah kota yang teramat jauh dari tempat tinggal kalian sebelumnya.

“Hidup baru. Kita juga akan memulainya di tempat yang baru. Kamu tidak keberatan, ‘kan?” katamu saat istri berparas manis yang telah lama kamu impikan bertanya atas keputusanmu.

Dia hanya tersenyum manis, menyetujui apa saja yang menjadi pilihanmu. Karena kini, kamulah satu-satunya tempat penopang hidup yang dia miliki, setelah kematian sang ayah seminggu sebelum hari pernikahan.

Kamu memang pria beruntung. Memiliki istri yang tidak hanya berparas indah, tetapi juga sangat penurut. Meskipun kini dia sebatang kara, yatim piatu.

***

Sebuah rumah kecil dengan dua kamar tidur, ruang tamu dan dapur yang sederhana menjadi tempat tinggalmu bersama dia sekarang. Ada sepetak lahan kecil di depan rumah yang sengaja kamu siapkan untuk istrimu, untuk kegiatan favoritnya sejak lama, menaman tanaman hias. Terbukti, baru saja seminggu kalian pindah, tumbuh ranting-ranting kecil di batang-batang bunga mawar yang dia tanam di tanah halaman itu. Kamu semakin optimis, istrimu akan bahagia di tempat baru ini.

Begitu juga para tetangga sekitar rumah. Tampaknya, mereka menyambut hangat kedatangan kalian. Bubur kacang hijau dengan ketan hitam dikirim untuk kalian di hari pertama pindah. Tetangga tepat samping rumah yang mengantarkannya. Istrimu menjadi sangat bahagia. Apalagi saat beberapa dari mereka sengaja datang untuk sekadar memperkenalkan diri ataupun mengantar makanan hasil tangan sendiri.

“Mereka sangat baik. Aku senang tinggal di sini.” Binar indah di matanya membuatmu tidak tahan lagi untuk membelai lembut rambut legam itu. Kamu menjadi tidak khawatir lagi karena harus meninggalkannya sampai sore hari untuk bekerja di tempat kerja yang baru.

“Keluarlah. Sesekali kamu datangi juga rumah mereka. Aku mengizinkan. Supaya kamu tidak bosan seharian di rumah.” Tanganmu masih betah di pucuk kepalanya. “Buatlah makanan yang lezat, seperti keahlianmu selama ini. Buat juga mereka senang dengan mengirimkannya. Hitung-hitung ucapan terima kasih kita karena disambut dengan sangat baik di sini,” katamu lagi.

Dia mengangguk antusias. Keesokan harinya, istrimu berbelanja berbagai macam bahan makanan. Kamu hanya senyum-senyum melihatnya dari depan cermin dengan tangan sibuk mengancing kemeja kerja. Terlihat semangatnya menjadi sangat tinggi. Apalagi saat kamu kecup kening lalu berpindah ke bibir manisnya sekilas sebelum pamit pergi bekerja.

“Jaga diri baik-baik di rumah. Dan berbahagialah selalu, Sayang,” ucapmu sebelum benar-benar meninggalkan pintu rumah. Istrimu membalasnya dengan sebuah kecupan singkat di pipi. Kamu terkejut. Tidak biasa-biasanya dia berulah semanis ini. Namun jelas itu membuatmu bahagia.

***

Semua berjalan baik. Berjalan sesuai rencanamu. Kehidupan yang membahagiakan tergambar jelas di pikiran dan hatimu saat ini.

“Aku rindu Ayah. Kenapa kita pindah sangat jauh. Kenapa tidak tinggal di rumahku yang dulu, atau di rumahmu saja?” Malam ini, entah mengapa binar bahagia sedikit memudar di wajah cantik istrimu. “Atau kalaupun pindah, kenapa tidak di tempat yang dekat saja. Supaya aku tetap bisa mengobati rindu kepada Ayah dengan mendatangi makamnya atau rumah kami yang dulu,” lanjutnya semakin tertunduk.

“Sudah kubilang kita harus memulai hidup baru di tempat yang baru. Melupakan semuanya. Aku minta, kamu tidak membahas tentang ini lagi.” Entah kenapa, kamu tidak suka dengan topik pembicaraan ini.

Adegan malam ini berakhir dengan kamu yang meninggalkannya sendirian di meja makan. Lalu masuk ke dalam kamar. Menghela napas panjang di atas tempat tidur kemudian memejamkan mata secepat mungkin. Tidak lama, dia pun menyusul masuk. Berbaring di samping kananmu dan mulai terlelap setelah lamat-lamat tanpa kamu ketahui dia menelusuri setiap pahatan wajahmu dengan kedua matanya.

***

“Aku minta maaf atas semalam. Tapi aku harap kamu tidak lagi membahas itu.” Kamu menarik dia dengan lembut pagi ini. Membuat jarak kalian sangat dekat sebelum pergi meninggalkannya untuk bekerja. Kalian memang tidak akan pernah bertengkar lama karena akan mengganggu hati dan pikiran kalian seharian.

Istrimu membalasnya. Merasakan ketulusan dari kalimat dan sorot matamu. “Iya. Aku juga minta maaf. Dan janji, tidak akan lagi membahas tentang itu.”

Sebuah kecupan lembut dan lama kamu berikan di keningnya. Kemudian melenggang pergi setelah berjanji akan pulang cepat hari ini.

Selepas kamu pamit pergi bekerja, dia bergegas menyibukkan diri. Menunggu tukang sayur yang biasanya akan lewat di pukul delapan pagi, dia berniat membereskan lemari baju. Beberapa lipatan baju berantakan saat terakhir dia lihat.

Dibukanya pintu lemari kayu warna cokelat tua di samping ranjang. Tangannya dengan cekatan mengeluarkan isinya. Meletakkannya di atas kasur untuk sementara.

Saat di tumpukan terakhir baju-bajumu, dia terdiam. Tangannya menemukan sesuatu. Amplop cokelat muda terselip di bagian baju paling bawah. Penasaran, dia ambil benda itu, lalu pelan-pelan membukanya. Berharap ini bukan tindakan lancang jika nantinya kamu tahu bahwa dia membukanya tanpa seizinmu.

Dia membukanya perlahan, lalu membaca isinya dengan saksama.

Surat panggilan kepolisian. Atas nama Rayendra Atmaja yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus kecelakaan dengan korban meninggal dunia bernama Rahmat Hidayat.

Istrimu seketika membungkam mulut dalam-dalam dengan tangannya. Menahan sesak dada yang tiba-tiba menyerang bagai hantaman keras balok besar.

Dua nama itu. Namamu dan nama ayahnya. Yang meninggal dunia di tengah malam, saat perjalanan pulang dari mengojek, saat dengan resah dia tunggu kepulangannya. (*)

 

Evamuzy. Gadis yang tidak suka sandal basah dan makanan berprotein tinggi.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata