PREDESTINATION (2014): Bisakah Kita Mengubah Aliran Waktu?
Oleh: Devin Elysia Dhywinanda
What come first? The chicken or the egg?
The roaster (first).
Joke di atas merupakan salah satu joke yang terdapat dalam film Predestination (2014) dan, tanpa disangka, merupakan tema besar dari film sci-fi thriller garapan Sony Pictures tersebut. Mengambil tema time traveler, Predestination tidak terikat pada alur “tokoh utama kembali ke masa lalu-menyelesaikan masalah pada waktu itu-kembali ke masa depan dengan cerita yang berbeda”. Spierig Brothers selaku penulis sekaligus direktor film berdurasi 97 menit ini mampu memberikan alur kompleks, yang tetap terasa “mahal” kendati menggunakan efek seminimalis mungkin.
Film mengambil tokoh seorang agen waktu—yang namanya tidak disebutkan hingga akhir film—yang bertugas mencegah pengeboman oleh Frizzle Bomber pada tahun 1975. Sempat gagal dalam percobaan pertama, si Agen Waktu diharuskan menjalani beberapa perawatan intensif sebelum akhirnya kembali ke tahun 1970, lima tahun sebelum peristiwa itu terjadi. Ia menyamar sebagai bartender dan bertemu dengan seorang penulis transgender bernama John (Sarah Snook).
John menceritakan kisah hidupnya pada Agen Waktu tentang ia yang tumbuh sebagai Jane di sebuah panti asuhan. Jane seseorang yang cerdas, tetapi asosial, dan keadaan tersebut mendorongnya untuk mengikuti program Space Corp. Dikeluarkan karena kondisi kesehatan aneh, Jane bertemu dengan Robertson yang berjanji akan membantunya meraih apa yang ia inginkan.
Sayangnya, terjadi hal tidak terduga: Jane mengandung anak seorang pria misterius yang pergi setelah kebersamaan mereka. Itu membawanya pada fakta bahwa ia memiliki kelamin ganda (intersex) dan mesti menjalani serangkaian operasi pergantian gender akibat kehamilan yang ia alami. Sayangnya, bayi yang ia lahirkan pun dicuri oleh seorang pria tidak dikenal dan sejak itu, Jane—yang berganti nama menjadi John—harus bertahan, menjalani hidup pahit sebagai laki-laki yang menginspirasinya menulis The Unmarried Mother.
Atas kisah pahit tersebut, sang Agen Waktu memberikan penawaran pada John untuk kembali pada masa sebelum ia bertemu dengan sang pria misterius dengan syarat John harus mau menjadi agen waktu, sepertinya. Sempat ragu, John menyanggupi tawaran tersebut dan kembali ke tahun 1963 untuk menyelamatkan dirinya. Namun, apa pun yang dilakukan John, nyatanya takdir takdir tidak berubah: Jane tetap hamil dan anaknya tetap hilang setelah dilahirkan.
Pertanyaannya, bagaimana bisa hal itu terjadi? Bukankah, secara tidak langsung, John adalah “pria yang sadar akan perjalanan waktu” dan berpotensi besar “mengubah masa depan”? Nah, itulah titik penting dari film ini.
Time. It catches up with us all. Even those in our line work. I guess you could say we’re gifted. God, Jesus, it sounds arrogant saying that out loud. All right. I’ll put it better way. I guess you could say we were born to this job.
Predestination mampu membawa penonton dalam film action yang dibalut romansa dan drama. Meskipun sedikit membingungkan mulai menit ke-80, alurnya terbukti cerdas. Ia memerangkap kita dalam twist sederhana sebelum sampai di twist utama. Setiap kejadian merupakan berhubungan, seperti efek aksi-reaksi, dan penonton dapat merangkai segala keterhubungan itu bersamaan dengan tersingkapnya rahasia besar sang tokoh utama: Mengapa Agen Waktu harus mencari John? Apakah si Agen Waktu mengalami demensia atau semacamnya? Dan, benarkah kondisi intersex Jane merupakan pondasi besar dari semua keterhubungan itu?
Secara keseluruhan, Predestination memberikan cakrawala baru terkait penjelajahan waktu. Ia tidak menelan mentah-mentah hakikat kekompleksan aliran waktu dan justru meramu berbagai permainan logika untuk menciptakan sebuah paradoks. Di sisi lain, Predestination tidak rumit—ia tidak menghadirkan serangkaian istilah ilmiah yang sukar dipahami penonton—dan justru membiarkan kita untuk menebak nasib serta hubungan setiap tokohnya: Siapa itu si Agen Waktu? Siapa itu Jane? Siapa itu John? Dan, mengapa mereka disebut sebagai boneka-boneka Robertson?
Akhirnya, Predestination merupakan film paling tepat buat kalian yang ingin menonton film time traveler atau sejenisnya dengan kemasan berbeda. Film ini juga “ramah” bagi kalian yang tidak menyukai penjelasan memutar dan rumit tentang suatu teknologi. Dan, buat para penggemar film mind-blowing semacam Inception (2010) atau Interstellar (2014), Predestination dapat menjadi deretan film bagus dalam koleksimu.
(So) can we change our futures?
I don’t know. The only thing that I know for sure is that you are the best thing that’s ever happened to me.
Devin Elysia Dhywinanda merupakan gadis AB hasil hibridisasi dunia Wibu dan Koriya yang lahir di Ponorogo, 10 Agustus 2001.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata