Jejak Macam Apa yang Kita Tinggalkan?
Oleh: Nishfi Yanuar
Beberapa waktu lalu, salah satu teman Facebook saya dikabarkan meninggal dunia. Sakit. Entah sakit apa. Karena selama berteman pun dia tak pernah bercerita secara detail. Hanya sesekali saja mengabarkan bahwa sedang menjalani pengobatan. Terakhir—yang saya tak sangka ternyata menjadi postingan terakhirnya—dia meminta doa karena sedang dirawat di rumah sakit. Dan ternyata, kehendak Allah memang sungguh di luar kendali manusia. Salah seorang teman yang lain, mengabarkan berita duka tersebut: berita kematian.
Membaca setiap komentar, semua mengucap belasungkawa. Diselipkan kalimat istirja’ dan rasa kehilangan yang mendalam. Tak ketinggalan, doa-doa kebaikan untuknya. Semua bersaksi atas kebaikannya. Kebaikan dalam berteman, dalam bermuamalah (kebetulan almarhumah berjualan online), kebaikan dalam berbagi ilmu kepenulisan, bahkan sering memberi suport dan nasihat ketika ada yang sedang dilanda suatu masalah. Subhanallah! Semua jasa dan kebaikannya begitu terkenang dan membekas di hati banyak orang. Semoga menjadi amal kebaikan untuknya, Ya Allah ….
Saya pun beralih menuju profil Facebook miliknya. Saya scroll hingga ke bawah pada postingan-postingan jadul-nya. Dan isinya, kembali membuat saya salut. Sebagian besar isi postingannya adalah tentang yang baik-baik. Tak ada cibiran, tak ada keluhan yang aneh-aneh, tak ada provokasi untuk hal-hal yang kurang baik. Ada beberapa postingan gaje atau sekadar guyonan, tetapi sama sekali itu tak menyinggung siapa pun. Saya bahkan berani mengatakan bahwa dinding Facebook-nya “bersih”.
Dari sinilah, saya terpikir dengan berbagai profil/akun media sosial—pada list pertemanan—termasuk akun Facebook saya pribadi. Bagaimana jika suatu saat kita, sebagai pemilik akun tersebut mendapat giliran dipanggil oleh-Nya. Bagaimana jejak yang sudah terlanjur tertulis di dinding Facebook, atau bahkan di media sosial lainnya? Bagaimana jika yang kita tulis adalah jejak keburukan? Kata-kata kotor, cibiran, provokatif, adu domba, fitnah, share hoax, dan sebagainya yang sangat jauh dari kata bermanfaat. Tulisan itu tertinggal, masih terbaca, masih memberi jejak biarpun pemiliknya sudah tiada.
Juga interaksi kita dengan sesama teman. Apa yang pernah dituliskan dalam kolom komentar, bagaimana sikap kepada teman lainnya, seperti apa saat menanggapi komentar atau postingan, dan sebagainya. Tentu sedikit banyak nantinya juga akan terkenang meskipun itu adalah keburukan. Lalu jika banyak yang mengingat keburukan, adakah akan banyak yang mendoakan kebaikan untuk kita?
Ya, walaupun hanya dunia maya, tetapi harus diingat bahwa mereka yang ada di balik setiap akun tersebut adalah manusia. Manusia yang punya hati, akal, perasaan. Biarpun hanya sekadar tulisan, tetapi setiap apa yang tertulis itu juga menimbulkan efek sebagaimana berbicara, bukan? Entah itu efek baik atau buruk, senang atau tidak, disengaja atau tidak, bahkan dipahami atau mungkin menimbulkan gagal paham.
Untuk itu, alangkah bijaknya jika saat kita berinteraksi atau bergaul di media sosial dianggap sama halnya bergaul di dunia nyata. Komentar yang kita sampaikan sebisa mungkin kita jaga sebagaimana ketika berbicara langsung. Antara di media sosial atau di dunia nyata sama pentingnya bergaul dengan baik dan menjadi diri sendiri.
Lalu, dengan setiap postingan, setiap apa yang kita tuliskan. Entah di media sosial maupun di media cetak, buku, dsb. Apakah memberi jejak manfaat? Atau justru meninggalkan jejak keburukan yang menyesatkan bagi pembaca. Sebagaimana dhawuh seorang ustaz yang masih lekat di telinga saya, “Sama-sama berbicara, mengeluarkan energi untuk berucap, kenapa tidak berucap yang baik-baik saja?”
Saya qiyas-kan dengan, “Sama-sama menulis, kenapa tidak menulis yang baik-baik saja?”
Autocheck profil masing-masing.
Ngawi, 13 Ramadhan 1440
Nishfi Yanuar, penulis buku “Kepada Sebuah Nama” (kumpulan cerpen). Bisa dihubungi di akun Facebook Nishfi Yanuar, atau Instagram @nishfiyanuar
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata